Asal Nama Negeri Lubuk Bendahara-Rokan Hulu
Ninong Putri
Konon,
di sebuah kampung yang terletak di wilayah Rokan Hulu, sejak zaman dahulu ramai
didiami penduduk, terutama sewaktu kejayaan kerajaan Muara Takus. Pencaharian
rakyat pada waktu itu adalah bertani, mencari ikan, nelayan dan mencari hasil
hutan. Dan ada juga sebagai pedagang yang selalu berdagang ke negeri orang,
mereka hidup dalam suasana bersahaja, dan aman sentosa.
Pada
masa pemerintahan Melayu pada abad ke-16, seorang penghulu suku yang berperan
di masa itu bergelar Datuk Bandagho. Datuk Bandagho atau Datuk Bendahara
disegani dan dicintai oleh rakyatnya. Hal ini dsebabkan oleh kecakapan beliau
dalam memimpin, selain itu beliau juga sangat arif dan bijaksana.
Untuk
memudahkan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, di negeri ini sengaja
rakyatnya dibentuk berkelompok dan tempat tinggalnya tidak jauh dari pinggiran
sungai, hal ini terutama dapat memudahkan perhubungan, mencari ikan, kebutuhan
air untuk mandi, mencuci, tempat membuang hajat, dan lain-lain.
Konon
kabarnya, Datuk Bandagho mempunyai seorang anak perempuan yang baru berumur
lima tahun. Istri Datuk Bandagho tersebut bernama Gadi Dumbai. Kedua suami
istri ini sangat menyayangi anak mereka satu-satunya itu, kiranya peristiwa
yang terjadi atas anaknya inilah yang menjadi pangkal atau sebab musabab
mengapa negeri ini dinamakan Lubuk Bandagho.
Suatu
hari dengan tidak diduga-duga rakyat di negeri ini dikejutkan oleh suatu
peristiwa yang sangat aneh, yang kiranya menimpa rumah tangga Datuk Bandagho.
Saat itu istrinya, Gadi Dumbai. Ingin pergi ke sungai, sebagaimana biasanya ia
memberitahukan maksudnya itu kepada suaminya.
“Tuan!”
Tegur Gadi Dumbai pada suaminya.
“Saya
hendak ke sungai memandikan anak kita dan
mencuci pakaian,” lanjut Gadi Dumbai.
“Jangan…
Dumbai! Sekarang tengah hari, tak baik,” kata Datuk. “Apatalah lagi
tengah-tengah hari ini, pasti lengang,” sambung Datuk Bandagho.
“Apa
salahnya Tuan?” Kata Gadi Dumbai.
“Orang
tua-tua dulu perpesan, waktu tengah hari tak baik pergi ke sungai,” nasihat
Datuk Bandagho.
“Ah..
itukan dulu! Sekarangkan sudah berbeda!” Sanggah Gadi Dumbai.
“Husss…
jangan engkau bercakap seperti itu, tak baik!” Jawab Datuk Badagho.
“Tetapi….jikalau
pergi sore nanti, tentulah orang sudah ramai di sungai, apalagi kain yang
hendak dicuci sangatlah banyak!” Terang Gadi Dumbai.
“Suka-suka
engkaulah, aku sudah mengingatkan,” jawab Datuk Bandagho kesal.
Akhirnya,
Gadi Dumbai pergi juga ke sungai. Anaknya didukung di belakang punggungnya,
diikat dengan kain panjang. Sedangkan bakul berisi kain dijunjungnya.
Siang itu sangatlah cerah. Sinar matahari
tepat di atas kepala. Sepanjang jalan, ia tak menjumpai orang. Sebagian orang
kampung sedang pergi mencari nafkah, dan sebagiannya lagi tinggal di rumah.
Biasanya orang lebih nyaman di rumah dari pada di luar saat siang hari yang
terik ini.
Dalam
waktu sepetanak nasi, sampailah Gadi Dumbai di tepian sungai. Lalu diturunkanlah
anaknya dan diletakkannya di dalam keranjang di tempat yang teduk, tidak
seberapa jauh dari tempat ia menyuci kain.
“Nak!
Emak menyuci kain dahulu. Jangan kemana-mana ya Nak!” Kata Gadi Dumbai seraya
membawa bakul berisi kain ke tempat cucian. Ia pun mulai mencuci kain, setelah
selesai beberapa helai kain, ia melihat kearah
anaknya, anaknya masih di situ. Lalu Gadi Dumbai melanjutkan cuciannya.
Setelah hampir selesai ia mencuci, ia melihat ke arah anaknya lagi. Betapa
terkejutnya Gadi Dumbai, ternyata anaknya
tidak ada lagi di sana. Dilihatnya ke sebelah mudik, ke ulak tapi anaknya
tak juga terlihat.
Gadi
Dumbai sangatlah cemas, panik dan takut bercampur aduk menjadi satu. Lalu untuk
menghilangkan was-was dihabiskannya waktunya mencari anaknya berleguh-legah ke
mudik dan ke ulak tepian. Naik tebing dan menyibak semak belukar yang ada
sepanjang tepian itu, namun anak yang hilang tak kunjung ditemukan.
Akhirnya
Gadi Dumbai pulang dengan perasaan was-was, takut di murka suaminya bila
mengetahui kabar buruk tersebut.
Dengan
suara gementar, Gadi Dumbai memberitahukan suaminya. Mendengar pengakuan
istrinya tersebut, bak mendengar petir tunggal tengah hari, Datuk Bandagho amat
terkejut dan marah, sampai-sampai memukul istrinya.
“Makanya…
bukankah tadi sudah saya ingatkan tak baik mencuci di siang hari, tapi engkau
tak mau dinasihati,” hardik Datuk Bandagho dengan marahnya.
Mendengar
caci maki Datuk Bandagho yang sedang marah itu, Gadi Dumbai pun menangis
sejadi-jadinya.
Mendengar
suasana yang gaduh itu, berdatanganlah tetangga-tetangga rumah. Lalu menanyakan
hal apa yang terjadi. Datuk Bandagho menceritakan kemalangan yang telah menimpa
keluarganya, seraya diperintahkannya hulubalang untuk segera memukul tabuh
larangan.
Setelah
mendengar bunyi tabuhan, orang-orang kampung berdatangan dan berkumpul di rumah
Datuk Bandagho. Mereka mau mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
“Encik-encik,
puan-puan, orang pandai, para pawang, dan semua yang telah datang dan berkumpul
di sini, sebagian dari kalian pasti sudah tahu bahwa keluarga saya baru saja
kehilangan anak di sungai,” jelas Datuk Bandagho.
“Saya
sangat berharap kepada kalian agar dapat membantu mencari anak kami itu!” Ujar Datuk kemudian.
“Baiklah
Datuk, kami pasti akan membantu, kitakan satu kampung, jika satu yang mendapat
musibah yang lain juga merasakan, ke ulak sama beranyut, ke mudik sama
berenang,” jawab salah seorang penduduk kampung.
“Baik
Datuk! Ayo kawan-kawan kita ke sungai mencari anak Datuk yang hilang,” suhut
yang lain.
Orang-orang
kampung pun berduyun-duyun pergi ke sungai, ke tempat anak datuk hilang. Semua
ikut mencari, mencebur ke sungai. Ada yang menyebar jala. Para pawang telah
bersemedi, dan sebagian ada juga yang berani menyelam ke lubuk yang paling
dalam. Lubuk yang sangat angker. Mereka mengerahkan segala kepandaiannya,
bentar-bentar timbul, bentar-bentar menyelam lagi. Setelah sekian lama mencari
di lubuk itu, orang-orang kampung yang ada di tepian sangat terheran-heran,
sebab para pawang itu serentak pergi ke tepi seolah-olah ada yang mengejar
meraka
Datuk
menghapiri mereka. Ingin mengetahui apa yang telah terjadi.
“Ada
apa gerangan di lubuk tu?” Tanya Datuk kepada pawang yang ikut menyelam.
“Di
lubuk tu, kami melihat anak Datuk dilingkari ular yang bukan main besarnya.
Ketika kami mau mendekat untuk mengambil anak tu, ular itu mengejar kami.
Makanya kami berenang ke tepi.” Terang salah seorang pawang dengan wajah
tegang.
“Berarti
anak kami masih hidupkan?” Tanya datuk kemudian.
“Betul
Tuk!” Jawab pawang tadi.
Mendengar
penjelasan pawang tadi, datuk sedikit lega dan bercampur lemas, bagaimana cara
menyelamatkan anaknya. Akhirnya pencarian itu, untuk sementara dihentikan.
Orang-orang kampung pun pulang ke rumah masing-masing. Semua sibuk dengan
pikiran masing-masing tentang peristiwa yang baru saja terjadi, meraka tak
habis pikir, bagaimana anak datuk bisa hilang, dan ternyata dicuri oleh ular
yang sangat besar.
Pada
senja harinya sang Datuk berserta isterinya berdoa supaya anaknya selamat. Pada
malam berikutnya datuk bermimpi tentang bagaimana cara menyelamatkan anaknya.
Besok paginya sang Datuk menceritakan mimpinya di depan para pawang dan orang
pandai, serta orang-orang kampung.
“Saudara-saudara,
orang pandai serta para pawang yang saya hormati. Tadi malam saya bermimpi,
dalam mimpi tersebut saya didatangi oleh seseorang yang mengatakan kepada saya,
apabila hendak menyelamatkan anak saya, harus disembelihkan seekor kerbau
putih, darahnya ditampung lalu tumpahkan di atas lubuk di mana ular besar
tersebut sedang melilit anak perempuan saya.” Mendengar ucapan Datuk Bandagho
itu, salah seorang pawang yang tertua menganjurkan agar kerbau putih dapat
ditemukan dalam waktu dekat ini. Banyak para hadirin yang menggeleng-gelengkan
kepala menyatakan amat sulit untuk menemukannya.
Salah
seorang penduduk kampung memberikan usul.
“Saya
rasa sangatlah sulit mendapatkan kerbau putih, untuk itu ada baiknya kita ganti
darah kerbau putih itu dengan getah kayu ubar, yang warnanya tampak sama.”
Orang-orang
kampung yang datang, dan juga para pawang menyetujui dan menunjuk beberapa
orang untuk mencari kulit ubar serta menumbuk dan membawa getah ubar tersebut
ke pinggir sungai. Setelah tiba di tepian, pawang yang membawa getah ubar tadi
memasuki sampan lalu berkayuh menuju lubuk di mana anak Datuk Bandagho dililit
ular. Tiba di atas lubuk itu sampan lalu dikaramkan sehingga air yang berpusar
itu kelihatan memerah darah. Kira-kira tiga jam kemudian nampaklah air di lubuk
itu meluap ke arah tepi. Dari luapan gelegak-gelegak air itu sekonyong-konyong
muncul sebuah benda kuning berkilau ditimpa cahaya matahari siang.
Semua
yang hadir berkerumun di tepi air untuk menyaksikan benda aneh itu. Kiranya
benda itu tak lain dari sebuah takar emas yang besar. Salah seorang dari
pawang menuju takar emas sambil membaca mantera, seraya menangkap benda
tersebut dengan sigap. Tanpa pikir panjang lagi takar emas itu dibawa ke rumah
Datuk Bandagho diiringi oleh sebagian penduduk yang hadir. Sedangkan yang
sebagian lagi tak hendak beranjak dari tepian itu karena mereka masih berharap
kemunculan anak perempuan Datuk Bandagho.
Akan
halnya Datuk Bandagho dan istri, meskipun anaknya yang hilang tak kunjung
didapat, namun dengan diperolehnya takar emas itu kesedihan mereka dapat
semakin berkurang juga.
Karena
hari telah mulai senja dan orang di rumah Datuk Bandagho selalu ramai, apalagi
menurut kepercayaan orang tua-tua, bahwa takar emas semacam itu sewaktu-waktu
dapat berubah-rubah dan hilang, maka Datuk Bandagho memerintahkan agar takar
emas itu diikat dengan rantai dan menambatkannya di tiang tengah rumah.
Selanjutnya
Datuk Bandagho berkata kepada pemuka masyarakat yang ada.
“Barangkali
yang kita berikan hanya getah ubar, maka yang dimunculkan kepada kita takar
emas. Tapi kalau kita lakukan sesuai dengan apa yang diminta tentu anak kami
akan dikembalikan”.
Rupanya
makhluk halus penunggu takar emas itu mendengar tipu musligat yang telah
dilakukan oleh pihak Datuk Bandagho, terhadap pihaknya. Ia merentak sambil
menarik dan melarikan takar emas itu, takar emas nampak terangkat-angkat dan
terhambur-hambur, sedangkan setannya tidak nampak, tak lama rantai pengikatnya
putus, lalu bergoleklah takar emas tersebut dengan derunya menuju tepian tempat
ia ditemukan tadi.
Banyak
orang mengejar sambil memekik minta tolong. Penduduk jadi gempar dan ingin tahu
apa yang sedang terjadi. Secara kebetulan tak jauh dari jalan yang akan dilalui
takar itu ada beberapa perempuan yang sedang menumbuk padi. Mereka terkejut
melihat orang berlarian ke arah mereka sambil berteriak.
“Pukul,
tangkap takar itu,” ujar salah serang penduduk yang mengejar.
“Tendang…”
sahut penduduk yang lain.
“Awas
hati-hati… takar itu bisa membunuh kita,” teriak yang lain lagi.
Takkala
takar itu hendak lewat dekat mereka, salah seorang dari perempuan penumbuk padi memukul takar itu dengan alu,
takar itu berhenti sejenak dan terlihat
cekung. Sangkaan mereka, setan penunggu takar emas itu tidak suka dengan
takar yang rusak.Tapi kiranya tidak, takar itu terus bergolek dengan kencangnya
menuju tempat semula.
Mengalami
akan hal demikian, penduduk negeri merasa kecewa, terutama Datuk Bandagho
beserta istrinya, karena selain kehilangan anak perempuan yang disayanginya,
juga kehilangan takar emas yang amat berharga.
Karena
anak dan takar emas itu merupakan benda/perbendaharaan bagi Datuk Bandagho
beserta penduduk negeri itu, dan walaupun tidak lagi bersama mereka namun masih
terletak dalam kawasan negeri Datuk Bandagho, maka mereka menamai negeri negeri
tersebut dengan Lubuk Bandagho, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Lubuk
Bendahara***
0 Komentar