Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

Asal Nama Negeri Lubuk Bendahara-Rokan Hulu

Ninong Putri

 

Konon, di sebuah kampung yang terletak di wilayah Rokan Hulu, sejak zaman dahulu ramai didiami penduduk, terutama sewaktu kejayaan kerajaan Muara Takus. Pencaharian rakyat pada waktu itu adalah bertani, mencari ikan, nelayan dan mencari hasil hutan. Dan ada juga sebagai pedagang yang selalu berdagang ke negeri orang, mereka hidup dalam suasana bersahaja, dan aman sentosa.

Pada masa pemerintahan Melayu pada abad ke-16, seorang penghulu suku yang berperan di masa itu bergelar Datuk Bandagho. Datuk Bandagho atau Datuk Bendahara disegani dan dicintai oleh rakyatnya. Hal ini dsebabkan oleh kecakapan beliau dalam memimpin, selain itu beliau juga sangat arif dan bijaksana.

Untuk memudahkan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, di negeri ini sengaja rakyatnya dibentuk berkelompok dan tempat tinggalnya tidak jauh dari pinggiran sungai, hal ini terutama dapat memudahkan perhubungan, mencari ikan, kebutuhan air untuk mandi, mencuci, tempat membuang hajat,  dan lain-lain.

Konon kabarnya, Datuk Bandagho mempunyai seorang anak perempuan yang baru berumur lima tahun. Istri Datuk Bandagho tersebut bernama Gadi Dumbai. Kedua suami istri ini sangat menyayangi anak mereka satu-satunya itu, kiranya peristiwa yang terjadi atas anaknya inilah yang menjadi pangkal atau sebab musabab mengapa negeri ini dinamakan Lubuk Banda­gho.

Suatu hari dengan tidak diduga-duga rakyat di negeri ini dikejutkan oleh suatu peristiwa yang sangat aneh, yang kiranya menimpa rumah tangga Datuk Bandagho. Saat itu istrinya, Gadi Dumbai. Ingin pergi ke sungai, sebagaimana biasanya ia memberitahukan maksudnya itu kepada suaminya.

“Tuan!” Tegur Gadi Dumbai pada suaminya.

“Saya hendak ke sungai memandikan anak kita dan  mencuci pakaian,” lanjut Gadi Dumbai.

“Jangan… Dumbai! Sekarang tengah hari, tak baik,” kata Datuk. “Apatalah lagi tengah-tengah hari ini, pasti lengang,” sambung Datuk Bandagho.

“Apa salahnya Tuan?” Kata Gadi Dumbai.

“Orang tua-tua dulu perpesan, waktu tengah hari tak baik pergi ke sungai,” nasihat Datuk Bandagho.

“Ah.. itukan dulu! Sekarangkan sudah berbeda!” Sanggah Gadi Dumbai.

“Husss… jangan engkau bercakap seperti itu, tak baik!” Jawab Datuk Badagho.

“Tetapi….jikalau pergi sore nanti, tentulah orang sudah ramai di sungai, apalagi kain yang hendak dicuci sangatlah banyak!” Terang Gadi Dumbai.

“Suka-suka engkaulah, aku sudah mengingatkan,” jawab Datuk Bandagho kesal.

Akhirnya, Gadi Dumbai pergi juga ke sungai. Anaknya didukung di belakang punggungnya, diikat dengan kain panjang. Sedangkan bakul berisi kain dijunjungnya.

 Siang itu sangatlah cerah. Sinar matahari tepat di atas kepala. Sepanjang jalan, ia tak menjumpai orang. Sebagian orang kampung sedang pergi mencari nafkah, dan sebagiannya lagi tinggal di rumah. Biasanya orang lebih nyaman di rumah dari pada di luar saat siang hari yang terik ini.

Dalam waktu sepetanak nasi, sampailah Gadi Dumbai di tepian sungai. Lalu diturunkanlah anaknya dan diletakkannya di dalam keranjang di tempat yang teduk, tidak seberapa jauh dari tempat ia menyuci kain.

“Nak! Emak menyuci kain dahulu. Jangan kemana-mana ya Nak!” Kata Gadi Dumbai seraya membawa bakul berisi kain ke tempat cucian. Ia pun mulai mencuci kain, setelah selesai beberapa helai kain, ia melihat kearah  anaknya, anaknya masih di situ. Lalu Gadi Dumbai melanjutkan cuciannya. Setelah hampir selesai ia mencuci, ia melihat ke arah anaknya lagi. Betapa terkejutnya Gadi Dumbai, ternyata anaknya  tidak ada lagi di sana. Dilihatnya ke sebelah mudik, ke ulak tapi anaknya tak juga terlihat.

Gadi Dumbai sangatlah cemas, panik dan takut bercampur aduk menjadi satu. Lalu untuk menghilangkan was-was dihabiskannya waktunya mencari anaknya berleguh-legah ke mudik dan ke ulak tepian. Naik tebing dan menyibak semak belukar yang ada sepanjang tepian itu, namun anak yang hilang tak kunjung ditemukan.

Akhirnya Gadi Dumbai pulang dengan perasaan was-was, takut di murka suaminya bila mengetahui kabar buruk tersebut.

Dengan suara gementar, Gadi Dumbai memberitahukan suaminya. Mendengar pengakuan istrinya tersebut, bak mendengar petir tunggal tengah hari, Datuk Bandagho amat terkejut dan marah, sampai-sampai memukul istrinya.

“Makanya… bukankah tadi sudah saya ingatkan tak baik mencuci di siang hari, tapi engkau tak mau dinasihati,” hardik Datuk Bandagho dengan marahnya.

Mendengar caci maki Datuk Bandagho yang sedang marah itu, Gadi Dumbai pun menangis sejadi-jadinya.

Mendengar suasana yang gaduh itu, berdatanganlah tetangga-tetangga rumah. Lalu menanyakan hal apa yang terjadi. Datuk Bandagho menceritakan kemalangan yang telah menimpa keluarganya, seraya diperintahkannya hulubalang untuk segera memukul tabuh larangan.

Setelah mendengar bunyi tabuhan, orang-orang kampung berdatangan dan berkumpul di rumah Datuk Bandagho. Mereka mau mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.

“Encik-encik, puan-puan, orang pandai, para pawang, dan semua yang telah datang dan berkumpul di sini, sebagian dari kalian pasti sudah tahu bahwa keluarga saya baru saja kehilangan anak di sungai,” jelas Datuk Bandagho.

“Saya sangat berharap kepada kalian agar dapat membantu mencari anak kami   itu!” Ujar Datuk kemudian.

“Baiklah Datuk, kami pasti akan membantu, kitakan satu kampung, jika satu yang mendapat musibah yang lain juga merasakan, ke ulak sama beranyut, ke mudik sama berenang,” jawab salah seorang penduduk kampung.

“Baik Datuk! Ayo kawan-kawan kita ke sungai mencari anak Datuk yang hilang,” suhut yang lain.

Orang-orang kampung pun berduyun-duyun pergi ke sungai, ke tempat anak datuk hilang. Semua ikut mencari, mencebur ke sungai. Ada yang menyebar jala. Para pawang telah bersemedi, dan sebagian ada juga yang berani menyelam ke lubuk yang paling dalam. Lubuk yang sangat angker. Mereka mengerahkan segala kepandaiannya, bentar-bentar timbul, bentar-bentar menyelam lagi. Setelah sekian lama mencari di lubuk itu, orang-orang kampung yang ada di tepian sangat terheran-heran, sebab para pawang itu serentak pergi ke tepi seolah-olah ada yang mengejar meraka

Datuk menghapiri mereka. Ingin mengetahui apa yang telah terjadi.

“Ada apa gerangan di lubuk tu?” Tanya Datuk kepada pawang yang ikut menyelam.

“Di lubuk tu, kami melihat anak Datuk dilingkari ular yang bukan main besarnya. Ketika kami mau mendekat untuk mengambil anak tu, ular itu mengejar kami. Makanya kami berenang ke tepi.” Terang salah seorang pawang dengan wajah tegang.

“Berarti anak kami masih hidupkan?” Tanya datuk kemudian.

“Betul Tuk!” Jawab pawang tadi.

Mendengar penjelasan pawang tadi, datuk sedikit lega dan bercampur lemas, bagaimana cara menyelamatkan anaknya. Akhirnya pencarian itu, untuk sementara dihentikan. Orang-orang kampung pun pulang ke rumah masing-masing. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing tentang peristiwa yang baru saja terjadi, meraka tak habis pikir, bagaimana anak datuk bisa hilang, dan ternyata dicuri oleh ular yang sangat besar.

Pada senja harinya sang Datuk berserta isterinya berdoa supaya anaknya selamat. Pada malam berikutnya datuk bermimpi tentang bagaimana cara menyelamatkan anaknya. Besok paginya sang Datuk menceritakan mimpinya di depan para pawang dan orang pandai, serta orang-orang kampung.

“Saudara-saudara, orang pandai serta para pawang yang saya hormati. Tadi malam saya bermimpi, dalam mimpi tersebut saya didatangi oleh seseorang yang mengatakan kepada saya, apabila hendak menyelamatkan anak saya, harus disembelihkan seekor kerbau putih, darahnya ditampung lalu tumpahkan di atas lubuk di mana ular besar tersebut sedang melilit anak perempuan saya.” Mendengar ucapan Datuk Bandagho itu, salah seorang pawang yang tertua menganjurkan agar kerbau putih dapat ditemukan dalam waktu dekat ini. Banyak para hadirin yang menggeleng-gelengkan kepala menyatakan amat sulit untuk menemukannya.

Salah seorang penduduk kampung memberikan usul.

“Saya rasa sangatlah sulit mendapatkan kerbau putih, untuk itu ada baiknya kita ganti darah kerbau putih itu dengan getah kayu ubar, yang warnanya tampak sama.”

Orang-orang kampung yang datang, dan juga para pawang menyetujui dan menunjuk beberapa orang untuk mencari kulit ubar serta menumbuk dan membawa getah ubar tersebut ke pinggir sungai. Setelah tiba di tepian, pawang yang membawa getah ubar tadi memasuki sampan lalu berkayuh menuju lu­buk di mana anak Datuk Bandagho dililit ular. Tiba di atas lubuk itu sampan lalu dikaramkan sehingga air yang berpusar itu kelihatan memerah darah. Kira-kira tiga jam kemudian nampaklah air di lubuk itu meluap ke arah tepi. Dari luapan gelegak-gelegak air itu sekonyong-konyong muncul sebuah benda kuning berkilau ditimpa cahaya matahari siang.

Semua yang hadir berkerumun di tepi air untuk menyaksikan benda aneh itu. Kiranya benda itu tak lain dari se­buah takar emas yang besar. Salah seorang dari pawang menuju takar emas sambil membaca mantera, seraya menangkap benda tersebut dengan sigap. Tanpa pikir panjang lagi takar emas itu dibawa ke rumah Datuk Bandagho diiringi oleh sebagian penduduk yang hadir. Sedangkan yang sebagian lagi tak hendak beranjak dari tepian itu karena mereka masih berharap kemunculan anak perempuan Datuk Bandagho.

Akan halnya Datuk Bandagho dan istri, meskipun anaknya yang hilang tak kunjung didapat, namun dengan diperolehnya takar emas itu kesedihan mereka dapat semakin berkurang juga.

Karena hari telah mulai senja dan orang di rumah Datuk Bandagho selalu ramai, apalagi menurut kepercayaan orang tua-tua, bahwa takar emas semacam itu sewaktu-waktu dapat berubah-rubah dan hilang, maka Datuk Bandagho memerintahkan agar takar emas itu diikat dengan rantai dan menambatkannya di tiang tengah rumah.

Selanjutnya Datuk Bandagho berkata kepada pemuka masyarakat yang ada.

“Barangkali yang kita berikan hanya getah ubar, maka yang dimunculkan kepada kita takar emas. Tapi kalau kita lakukan sesuai dengan apa yang diminta tentu anak kami akan dikembalikan”.

Rupanya makhluk halus penunggu takar emas itu mendengar tipu musligat yang telah dilakukan oleh pihak Datuk Bandagho, terhadap pihaknya. Ia merentak sambil menarik dan melarikan takar emas itu, takar emas nampak terangkat-angkat dan terhambur-hambur, sedangkan setannya tidak nampak, tak lama rantai pengikatnya putus, lalu bergoleklah takar emas tersebut dengan derunya menuju tepian tempat ia ditemukan tadi.

Banyak orang mengejar sambil memekik minta tolong. Penduduk jadi gempar dan ingin tahu apa yang sedang terjadi. Secara kebetulan tak jauh dari jalan yang akan dilalui takar itu ada beberapa perempuan yang sedang menumbuk padi. Mereka terkejut melihat orang berlarian ke arah mereka sambil berteriak.

“Pukul, tangkap takar itu,” ujar salah serang penduduk yang mengejar.

“Tendang…” sahut penduduk yang lain.

“Awas hati-hati… takar itu bisa membunuh kita,” teriak yang lain lagi.

Takkala takar itu hendak lewat dekat mereka, salah seorang dari perempuan  penumbuk padi memukul takar itu dengan alu, takar itu berhenti sejenak dan terlihat  cekung. Sangkaan mereka, setan penunggu takar emas itu tidak suka dengan takar yang rusak.Tapi kiranya tidak, takar itu terus bergolek dengan kencangnya menuju tempat semula.

Mengalami akan hal demikian, penduduk negeri merasa kecewa, terutama Datuk Bandagho beserta istrinya, karena selain kehilangan anak perempuan yang disayanginya, juga kehilangan takar emas yang amat berharga.

Karena anak dan takar emas itu merupakan benda/perbendaharaan bagi Datuk Bandagho beserta penduduk negeri itu, dan walaupun tidak lagi bersama mereka namun masih terletak dalam kawasan negeri Datuk Bandagho, maka mereka menamai negeri negeri tersebut dengan Lubuk Bandagho, yang dalam bahasa Indone­sia berarti ‘Lubuk Bendahara***


Profil Singkat


Ninong Putri. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra dan Indonesia Universitas Riau. Ninong berkuliah di Universitas Riau pada tahun 2021. Kini Ninong sudah semester 2 dan berada di kelas 2021A.

 



Posting Komentar

0 Komentar