Ibu dan Pamali - Adya Islami Putri


IBU DAN PAMALI
Adya Islami Putri - SMAN 1 Bangkinang


Matahari pagi tidaklah begitu bercahaya kuat, tetapi biasnya cukup memberi kehangatan pada rerumputan, pepohonan, dan beberapa ekor burung yang saling melompat di dahan kecil pohon Tanjung. Cahaya yang tidak begitu kuat itu pun sesekali membelai wajah pelari pagi yang masih berkeringat. Sambil mengatur napas lalu berhenti karena lelah, di depan sebuah rumah sederhana milik seorang ibu dan anak perempuan. Anak perempuan itu bernama Mentari.


Mentari adalah seorang gadis yang berpikiran modern dan teguh pada pendirian. Ia tinggal hanya berdua bersama ibunya yang merupakan seorang janda. Sebagai anak semata wayang, Mentari tentulah sangat disayangi oleh ibunya. Namun, ibunya masih memercayai mitos-mitos atau yang biasa disebut dengan pamali sesuai dengan apa yang diajarkan oleh nenek moyangnya dahulu. Bagi Mentari, pemikiran itu terasa begitu kolot di zaman modern seperti sekarang.


Pagi itu sama seperti pagi-pagi biasanya, Mentari sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Diambilnya sepatu yang tersembunyi di belakang pintu kamar lalu duduk di pintu masuk depan rumah. Sebuah kain lap lusuh dari baju bekas disambar dari lantai, yang kemudian digunakannya untuk membersihkan sepasang sepatu itu.

“Hhmm... Berdebu lagi sepatuku,” ucap Mentari sambil menggosok perlahan sepatunya.


Tiba-tiba ibunya menghampiri, wanita itu tampak kaget melihat Mentari yang sedang duduk di ambang pintu.


“Hei, Tari. Anak gadis tidak boleh duduk di pintu. Itu pamali, Nak. Bisa-bisa kamu tidak akan bertemu jodoh kalau begitu,” ucapnya sambil memberikan sarapan yang telah disiapkan di atas piring kaca.

Suara ibu yang agak keras hanya ditanggapi secara biasa oleh Mentari, seolah hal itu sudah sering didengarnya. Mentari menyambut piring sarapannya dengan sebelah tangan, sementara tangannya sebelah lagi masih tetap sibuk mengelap sepatu.


“Ah, Ibu ini ada-ada saja. Mana ada anak gadis yang duduk di depan pintu rumah lalu tidak dapat jodoh. Buktinya banyak juga kok gadis-gadis lain yang sering duduk di depan rumah tapi mereka tetap dapat jodoh. Hhmm... Ibu... Ibu... Zaman sekarang sudah modern, enggak ada tuh yang namanya pamali-pamali gitu.”


Mentari melemparkan lap sepatu ke atas meja yang ada di teras kemudian bergegas menyuap sarapan ke mulutnya. Tangan kirinya dengan cepat memasang sepatu. Belum selesai mulutnya mengunyah, sesendok makanan sudah kembali disuapkan ke mulut. Mentari memasang sepatu dan menyuap sarapan secara bergantian seolah sedang dikejar waktu.


“Udah ya, Bu. Tari berangkat dulu,” ucap Mentari yang menyudahi suapan terakhir bertepatan dengan sepatunya yang selesai terpasang. Ibunya hanya menggeleng perlahan sambil berjalan mengambil piring bekas sarapan gadis itu.

“Kebiasaan, makan selalu terburu-buru dan tidak dibereskan,“ gumamnya sambil membawa piring bekas sarapan tadi ke dalam rumah.



***


Mentari berjalan agak santai ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah tidak begitu jauh, hanya butuh beberapa menit baginya untuk sampai ke sana. Di langit, matahari sudah terlihat garang, tapi terik sinar yang terhalang rimbun pepohonan seolah sedang berpihak pada Mentari. Bayangan pepohonan dengan gagah melindungi, membuat tubuhnya tidak begitu mengeluarkan keringat. Namun, ucapan ibunya tadi masih terngiang. Bukan sekali dua kali wanita itu menyebut- nyebut tentang pamali kepadanya. Dulu ibu pernah menengurnya hanya karena ia mengembangkan payung di dalam rumah, melarang memotong kuku pada malam hari, bahkan mengatakan nasi akan menangis jika tidak dihabiskan. Di mata Mentari, ibunya adalah Si Paling Pamali.


“Menapa, sih, Ibu selalu banyak aturan? Tidak boleh ini lah, tidak boleh itu lah, pamali lah, macam-macam, deh. Zaman sekarang kan sudah modern, mana ada hal-hal seperti itu lagi.” Mentari bergumam pelan saat memasuki gerbang sekolah bertepatan dengan pandangan matanya yang tertuju pada Bulan, sahabatnya yang sudah lebih dulu sampai. Setelah saling menyapa, mereka berjalan beriringan menuju kelas.


Sesaat sesudah meletakkan tas di atas meja, Bulan berceletuk, “Tumben mukamu masam begitu? Coba lihat, keningmu berkerut seperti jeruk purut. Memangnya kamu kenapa? Cerita dong, mana tahu aku bisa bantu.”


“Aku kesal sekali dengan Ibu. Hampir setiap saat dia bilang pamali. Tidak boleh begini lah, tidak boleh begitu lah. Sebenarnya apa sih pamali itu?” Mentari berkata dengan suara tinggi. “Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, lagi-lagi Ibu bilang pamali hanya karena aku duduk di depan pintu sambil sarapan. Katanya anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu, karena nantinya jodoh akan enggan menghampiri. Tak lupa Ibu menambahkan kata pamali.” Lanjut Mentari. Jelas sekali ada kekesalan tercermin diwajahnya saat bercerita.


Bulan tersenyum simpul sebelum akhirnya berkomentar. “Ooo begitu ternyata. Gimana kalau nanti di jam istirahat kamu ikut aku ke suatu tempat? Dijamin, deh, tempat yang kita datangi nanti bakalan bisa menjawab semua pertanyaan dan menjelaskan alasan yang logis tentang pamali.”


“Wah, sepertinya tempat itu asik. Boleh juga, nih, untuk menghilangkan penasaranku tentang pamali-pamali begitu. Memangnya kita mau kemana?”


Bulan tersenyum lalu menjawab, “Kita mau ke perpustakaan Shaleh Djasit. Perpustakaan modern di sekolah kita. Nanti kita bisa cari-cari informasi tentang pamali bukan cuma lewat buku, tapi juga bisa memanfaatkan e-book dan fasilitas internet yang sudah disediakan di sana.”


Mereka berdua lalu membahas kapan waktu yang tepat untuk bisa pergi ke perpustakaan. Mentari terlihat sangat bersemangat karena dia ingin mencari tahu bagaimana mitos dan pamali bisa berkembang dalam masyarakat. Dia juga ingin tahu apakah semua mitos dan pamali yang selalu disebutkan oleh ibunya bisa dijelaskan secara logika atau justru hanya cerita yang dibuat- buat oleh orang-orang pada masa lalu saja.


***


Bel istirahat pertama baru saja berbunyi, Mentari dan Bulan langsung bergegas membereskan buku dan peralatan belajar mereka. Rencananya sebelum ke kantin, mereka akan ke perpustakaan terlebih dahulu. Rasa penasaran sudah menggantung di benak Mentari sejak tadi, dia menjadi sedikit tidak sabar. Setelah sampai dan bertanya pada petugas perpustakaan, gadis itu mendapatkan beberapa buku yang diperlukannya, sementara Bulan sudah duduk di depan salah satu komputer yang bisa mereka gunakan untuk mencari data tentang pamali melalui internet.


Selama beberapa menit mereka sibuk mencari informasi. Mulai dari pengertian pamali, bagaimana pamali bisa berkembang dalam masyarakat, dan juga mereka menemukan contoh- contoh pamali yang sering disebutkan oleh ibu Mentari. Rasa penasaran Mentari akhirnya terjawab setelah mereka membaca sebuah buku yang membahas tentang fakta dibalik mitos dan pamali yang dipercaya oleh masyarakat.

“Tari, coba deh lihat itu,” ucap Bulan sambil mengarahkan tangannya ke layar komputer.


Mentari mulai membaca apa yang tertulis di sana. “Duduk di depan pintu masuk rumah dipercaya bisa membuat susah mendapatkan jodoh. Padahal alasan yang logis adalah, supaya orang yang ingin masuk ke rumah tidak terhalang oleh kita yang duduk di depan rumah.”


Sebuah senyuman terbit dari wajah Mentari setelah membacanya. Gadis itu lalu meneruskan mencari tahu tentang pamali-pamali apa saja yang biasa disebutkan oleh ibunya. Diantaranya tentang memotong kuku di malam hari, ternyata alasan logisnya adalah karena pada malam hari lebih gelap, jadi bisa saja salah gunting sehingga tangan jadi luka.


“Nah, sekarang kamu sudah tahu, kan, alasan logis dari kegiatan-kegiatan yang selalu kamu lakukan tetapi dianggap pamali oleh ibumu? Sebenarnya setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, tetapi cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Bisa jadi ibumu begitu karena faktor lingkungan dan pengajaran dari nenek moyang terdahulu. Begitu juga larangan-larangan tentang hal-hal lain. Bisa jadi alasannya kurang logis menurut kita, tapi apa salahnya menuruti perkataan orang tua selagi tujuannya untuk kebaikan. Jangan hanya karena berbeda cara pandang, kamu jadi melawan, jengkel, dan membentak ibumu. Hargai dan sayangilah ibumu selagi dia masih bersama kita.”


“Ya, Bulan. Sekarang aku sadar bahwa selama ini sudah egois. Aku selalu menganggap ibuku kolot dan kampungan setiap melarang, padahal aku pun tidak pernah mau bertanya apa alasan Ibu bersikap seperti itu. Namun sekarang aku menyesali perbuatan dan perkataanku pada Ibu,” ucap Mentari yang kini sudah memahami maksud baik dari ibunya.


Setelah merasa cukup mendapatkan informasi, Mentari dan Bulan lalu pergi ke kantin. Sambil menunggu bel masuk berbunyi, mereka memesan makanan dan minuman.


“Aduh, kenyang sekali perutku. Rasanya nggak sanggup, deh, buat menghabiskan makanan ini,” ujar Bulan sambil melihat makanan dalam piringnya yang masih banyak.


“Eh... Eh, jangan begitu. Ingat lho, itu pamali! Nanti makanannya menangis. Hahaha...,” celetuk Mentari menggoda Bulan. Mereka berdua lalu tertawa bersamaan dan berusaha perlahan menghabiskan makanan hingga tak tersisa.


Posting Komentar

0 Komentar