Raffa Nabila Tabina - SMAS Mutiara Harapan
Di tengah polusi yang menyengat, seorang pemuda bernama Reza asyik dengan media sosialnya. Saat sedang asyik Reza menerima telepon dari ayahnya yang menanyakan tentang pendaftaran ke universitas yang ditunjuk oleh ayahnya. Reza menjawab dengan gugup, “Sudah Papi… ta... tapi aku kan udah bilang kalau aku gak pengen kuliah di sana, aku pengen ke Universitas Riau, Pi. Jadi aku daftarnya ke ilmu komunikasi UR.”
Alis pria tersebut mengerut, gertakan gigi beserta geram terdengar sampai ke penjuru ruangan. Ayahnya dengan marah serta kecewa yang bersatu padu bagai bulan dan malam. Ayah Reza bertanya, “Kamu tahu kan kalau universitas itu sangat jauh? Bagaimana bisa kami memantau kamu nantinya?”
“Papi, aku ingin mencoba hal yang baru, aku gak mau kuliah di tempat yang sama dengan papi dan mami. Aku gak mau dibalik bayang-bayang Papi dan Mami.”
”Please, Papi. Kasih Reza kesempatan untuk memilih apa yang Reza mau.” Ucap Reza dengan lirih sambil menahan isak tangis.
“Terserah mu saja! Papi tidak mau tahu! Awas saja kalau kamu tidak bertanggung jawab pada pilihan yang kamu buat! Papi akan ikuti kemauan kamu kali ini,” balas ayah Reza yang sudah pasrah. Reza tersenyum lirih karena kata-kata papinya bagai sebilah pedang. Di satu sisi, dia senang karena ayahnya setuju. Namun, di sisi lain ia takut gagal dalam mengemban tanggung jawabnya.
Setelah sebulan menanti. Pengumuman UTBK keluar. Benar saja, Reza diterima di UR. Berbagai rencana mulai tumbuh seperti daun-daun, rasa ingin bebas dari keluarganya begitu menggebu-gebu.
Reza kini telah berada di Pekanbaru. Berjalan menyusuri bandara seperti burung keluar dari sangkarnya. Ia merasakan ikatan rantai-rantai peraturan orang tuanya terlepas di bandara, bebas sekali rasanya. Ia bahkan melihat-lihat pakaian Melayu Riau yang ada di bandara. Reza pun berseru, “Sumpah, ini keren banget!! Gak pernah gue ngerasa sebebas ini, padahal baru mendarat doang loh.
Sampai tibalah waktunya ia hendak ke kost yang sudah ia pesan jauh-jauh hari. Sesampainya di kost-an. Reza segera membuka packaging barangnya dan menyusunnya di lemari yang sudah tersedia. Dia benar-benar memilih tempat elite dengan fasilitas serba wow.
Alarm yang berasal dari handphone nya telah berbunyi puluhan kali, tetapi si empunya tak sekalipun menggubrisnya. Entah karena apa Reza pun tersadar.
“Huh…jam berapa ini?” gumam Reza sambil mengucek-ucek matanya. Ia lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Reza sangat terkejut, Ia segera tergesa-gesa mandi dan memakai pakaiannya asal jadi. Di perjalanan ke kampus, barulah ia merapikan pakaiannya yang amburadul. Reza berharap bahwa dirinya tak akan terkena masalah ketika sampai di kampus. Ia berlari sekencang mungkin untuk sampai di lapangan.
“Wah, anak baru aja sudah sombong yah. Berani-beraninya datang terlambat. Hmmmm. Macem mane nih, ketua?” Seru salah satu senior di kegiatan ospek tersebut kepada ketua panitia. Bukannya merasa bersalah, Reza malah menunjukkan wajah sok menantang. Merasa tidak terima akan reaksi Reza, mereka pun memberikan pelajaran kepada Reza dengan menyuruhnya membantu seluruh hal yang dibutuhkan panitia sampai dia benar-benar menyadari kesalahannya.
Begitulah hari-hari yang dilalui Reza. Kesulitan demi kesulitan bagai lebah yang menghinggapi nektar. Tiada hari tanpa masalah. Keterbatasan kosakata bahasa Indonesia pun menambah runyam hidupnya. Selama di kelas dia hanya bisa terdiam, gengsi yang terlalu tinggi membuatnya tidak mau berbaur dan meminta pertolongan dari temannya.
Suara ketukan terdengar di pintu depan. Pintunya pun dibuka oleh Reza. Badannya gemetar karena sangkin kagetnya. Orang tuanya sudah berdiri di luar kamar. Mereka pun masuk dan memeriksa seluruh isi kamar Reza. Ayahnya sangat kaget melihat bungkus rokok yang berserakan. Peralatan PS yang masih hidup namun entah kapan dia mainkan.
"Astaga, Nak! Sejak kapan kamu merokok?” Teriak ibunya lirih. Ibunya tidak dapat berkutik. Orang tuanya benar-benar frustasi. Mereka tidak habis pikir mengapa sampai sefatal ini. Reza benar-benar lepas dari pantauan, padahal orang tuanya rutin berkabar. Dengan tegas, orang tua Reza menyuruhnya untuk mempertanggungjawabkan pilihannya. Dia juga diberikan batas keuangan dan harus mencukupi kebutuhannya.
“Kenapa Mi? nanti Reza ga bisa bertahan hidup kalau dibatasin gitu!” Seru Reza dengan panik.
“Ini adalah akibatnya, berani berbuat, berani bertanggung jawab. Kamu pikir mami tidak kecewa dengan sikap kamu?” lirih ibunya dengan tatapan sendu. Perasaan campur aduk muncul di dada Reza, dia mengigit bawah bibirnya. Mereka pun pergi hari itu juga, sebagai pelajaran bahwa ayah dan ibunya benar-benar kecewa terhadap Reza. Orang tua Reza juga mendaftarkannya ke kelas bahasa dan public speaking agar ia bisa beradaptasi dengan baik. Awalnya, Reza ragu untuk belajar, tetapi motivasi dari seorang senior di kelas bahasa, Anisa. Membuatnya bersemangat. Namun, Dia baru sadar bahwa bahasa Indonesia tidak semudah yang dia pikir. Dia harus belajar ekstra untuk bisa memahami dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Bener-bener susah banget, ga seindah apa yang dibayangkan…” Pikir Reza. Walaupun begitu, Reza akan tetap melakukannya.
“Wow…wow, ternyata ngambil kelas bahasa si ga beres,” ejek seseorang yang sombong. Itu adalah Dedi. Reza langsung terpaku melihat kehadiran Dedi. Habisnya, ia sangat iri dengan Dedi, akibat temannya ini adalah bintangnya kelas dan disukai para dosen. Ia pintar, cerdas, fasih berbahasa melayu dan ramah, kecuali terhadap Reza. Di belakang layar, Dedi sering kali mencemooh gaya bicara Reza yang suka memcampur dengan bahasa asing.
“Jadi udah bisa dong berkompetisi dengan ‘gue’, eh maksudnya aku, ya gak sih?” sindir Dedi, menekankan ucapannnya pada bagian ‘gue’. Segera Reza bangkit dari kursinya dan mencekram kerah Dedi. Reza berbisik, “Jaga omonganmu.”
Dedi tertawa melihat tingkah Reza. Ia hanya tersenyum miring, tetap terlihat santai walau kerahnya sudah dicengkram kuat oleh Reza. Dengan tingkah Dedi yang begitu santai malah membuat Reza menjadi ketakutan. Perlahan Reza melepaskan cengkramannya.
Sikap Dedi yang memandangnya sebelah mata mendorong Reza untuk membuktikan diri, namun dalam diam, ia takut kalah. Reza berpikir lama untuk memutuskan.
“Aku bisa bantu kamu kalau mau.” Ucap seseorang yang menepuk pundak Reza yang terasa begitu berat. Reza menoleh, dia mengenali lelaki ini. Lelaki tersebut adalah Fahrur, adiknya kak Anisa. Fahrur tersenyum hangat dan berkata, “Menurut aku, kamu udah keren. Sudah mau untuk memperbaiki diri.”
“Tinggal berusaha dan buktikan ke Dedi, kalau kamu itu bisa.” Seru Fahrur menyemangati Reza.
“Kalau begitu, mulai sekarang ajarin aku ya!” ucap Reza dengan semangat. Fahrur tersenyum sumriah melihat semangatnya Reza. Fahrur bergumam, “Ya…tenang saja.”
Delapan bulan lebih berlalu bagai angin berhembus, akhirnya dia mendapatkan sertifikat lulus ujian kompetensi bahasa Indonesia.
“Yo bro, sibuk ga?” Tanya Fahrur. Reza meng-iya singkat pertanyaan Fahrur.
“Ini ada lomba public speaking Rez, mau ikut ga?” Tawar Fahrur dengan semangat. Reza yang mendengarkan hal itu langsung lompat kegirangan seperti bocah mendapat permen. Dengan segera Reza menyuruh Fahrur untuk mengirim formulir lomba tersebut. Lalu, Reza menghubungi dosennya, meminta izin untuk membawa nama universitas ke lomba public speaking yang diselenggarakan oleh pemerintah.
“Apa? Kamu yakin? Sudah ada yang mewakili universitas kita,” ucap dosennya yang ragu akan potensi Reza. Reza sempat terbakar sementara waktu. Tetapi dia tetap memohon kepada dosennya agar diizinkan untuk mengikuti lomba. Dosennya pun akhirnya mengizinkan Reza untuk mengikuti lomba public speaking.
“Awas saja kau Dedi, akan ku buktikan bahwasanya diriku itu bisa.” Pikir Reza dengan kobaran apinya.
Sudah saatnya Reza mengikuti lomba. Debaran jantung yang begitu terasa di tubuh. Namun, dengan tekad yang kuat. Ia harus mengalahkan rasa ketakutannya itu. Reza melangkahkan kakinya ke atas panggung dan mulai berpidato, menceritakan bagaimana pentingnya tentang pelestarian bahasa dan kebudayaan di era globalisasi. Reza mengajukan pendapat bahwa bahasa Indonesia itu berpotensi menjadi bahasa yang mempertemukan lokal dan global, tradisional dan modern. Ia menyadarkan orang-orang yang berada disana betapa pentingnya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu, Berdiri tegak di dunia seperti macan, tanpa harus terkena goresan sekecil apapun. Seketika seisi ruangan bertepuk tangan, terharu akan pidato Reza. Semenjak mengikuti kelas bahasa, Reza banyak mengalami perubahan, baik dari segi sikap maupun tujuan hidup.
Empat tahun sudah Reza berada di Pekanbaru. Dia sudah bisa bahasa Melayu dan mengikuti banyak festival budaya serta lomba pidato ataupun debat. Hari ini dia berdiri di podium menerima penghargaan Summa Cumlaude. Air mata bahagia mengalir di wajah kedua orang tuanya. Reza juga sudah mempunyai rencana untuk masa depannya. Dia akan memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk membuka sekolah literasi bagi anak-anak yang kurang mampu dari segi ekonomi. Dia juga akan memanfaatkan ilmu dan kecakapan teknologinya untuk mencari investasi dari warga asing.
0 Komentar