Aku duduk di sudut kamar asramaku, menatap langit-langit yang tinggi. Di sini, aku jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dan jauh dari segala hal yang dulu terasa akrab. Sekolah berasrama ini adalah impianku sejak lama, tapi sekarang, semuanya terasa begitu berbeda dari bayanganku. Ketika pertama kali aku melangkahkan kaki ke sekolah ini, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Aku membayangkan betapa menyenangkannya hidup di asrama, bertemu dengan teman-teman baru, belajar mandiri, dan mempersiapkan semua keperluan diri sendiri, aku bisa belajar dan bermain sesuka hatiku. Tidak ada paksaan, tidak ada tekanan dari siapa pun. Ini adalah pilihanku, keputusan yang kubuat dengan penuh keyakinan. Menurutku, ini adalah langkah awal untuk mencapai cita-citaku, untuk masuk ke kampus impianku.
Namun, ternyata semua itu tidak semudah yang kubayangkan. Ketika hari-hari pertama berlalu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Rasa rindu yang kuat tiba-tiba menyelimutiku. Rindu pada masakan ibu, rindu pada suara ayah yang membangunkanku setiap pagi, rindu dengan kenakalan adikku, rindu pada kamarku, rindu semuanya. Di sini, aku harus menghadapi semuanya sendiri. Harus bangun pagi tanpa suara lembut ibu dan ayah, harus menghadapi disiplin yang ketat, harus beradaptasi dengan teman-teman yang beragam, dengan tingkah dan polah mereka yang kadang sulit kupahami. Suasana asrama yang awalnya penuh harapan kini terasa asing dan menekan. Aku mulai merindukan rumah dengan cara yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Kadang, di malam hari, saat lampu-lampu kamar mulai redup dan suara-suara di lorong mulai menghilang, aku merasa sangat kesepian. Aku tahu, semua ini adalah bagian dari proses adaptasi, tapi tetap saja, rasanya sangat berat.
Ditambah lagi, masalah-masalah kecil seperti air yang kadang suka mati atau lampu yang tiba-tiba padam, membuatku semakin merasa tidak nyaman. Ini bukan hal yang besar, aku tahu, tapi di saat-saat seperti itu, hal kecil bisa menjadi beban yang berat. Membuat aku berfikir, akankah aku sanggup bertahan? Aku sering bertanya-tanya, kenapa ini semua terasa begitu sulit? Aku datang ke sekolah ini dengan penuh semangat, aku datang dengan harapan yang tinggi, tapi kenapa sekarang semuanya terasa berbalik? Aku merasa goyah, bahkan kadang aku berharap ayah dan ibu datang ke sekolah untuk menjemputku kembali, aku ingin sekolah di kotaku, diantar jemput oleh ayah setiap hari, dibawakan bekal masakan ibu, setiap hari dapat uang jajan dan tidak perlu tinggal di asrama. Aku mencoba mengingat kembali alasan-alasan kenapa aku memilih sekolah ini. Aku ingat betapa kuatnya keinginanku untuk belajar di sekolah yang terbaik, betapa aku ingin mandiri, betapa aku ingin mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Aku ingin kuliah diluar negeri, dan bersekolah diasrama adalah langkah awal aku untuk mandiri, bekal untuk merantau jauh melintas benua, kuliah di negara yang memiliki 4 musim. Tapi sekarang, di tengah semua kesulitan ini, aku merasa ragu. Apakah aku benar-benar siap untuk semua ini? Pikiran ini berputar-putar di kepalaku, membuatku merasa tertekan. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini.
Aku harus menemukan cara untuk berdamai dengan diriku sendiri, untuk kembali pada tujuan awal kenapa aku ada di sini. Malam itu, aku memutuskan untuk merenung, untuk mencoba memahami perasaanku yang sesungguhnya. Aku duduk sendirian di sudut kamar, mengingat semua mimpi dan harapan yang pernah kumiliki. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” ernah suatu malam, ketika aku terbangun karena rasa rindu yang tiba-tiba muncul, aku mendapati teman sekamarku, Abin, sedang duduk di tepi tempat tidurnya. Abin sedang menangis. Aku tidak tahu apa yang membuatnya sedih, tapi aku merasakan hal yang sama, seolah cerminan dari perasaanku sendiri. Kami ga bisa berkata apapun, aku mendekatinya, dan memeluknya.
Kami berdua menangis bersama, tanpa mengatakan isi hati kami masing-masing, semua tumpah bersama air mata kami. Salah satu kegiatan baru yang aku lakukan sejak di asrama, setiap malam, sebelum tidur, aku menulis surat. Surat yang penuh dengan perasaan, surat yang kutulis untuk memberi ketenagan dihati, meluahkan semua perasaanku, dikertas putih ini. Selama 40 hari pertama di sekolah ini, aku dan teman-teman lainnya tidak diizinkan untuk menghubungi keluarga kami. Tidak ada telepon, tidak ada kunjungan. Hari-hari terasa begitu lambat, dan setiap malam sebelum tidur, aku menulis surat untuk orang tuaku, untuk adikku, teman-temanku di SMP yang lama, bahkan kadang aku menulis sura untuk diriku sendiri.
Surat-surat itu kutulis dengan tangan. Isinya bukan hanya tentang kejadian sehari-hari di asrama, kesedihanku, keraguanku, dan juga semua masalah yang aku hadapi di sekolahku yang baru ini, tapi juga tentang perasaanku yang terdalam, tentang bagaimana aku berusaha bertahan, tentang bagaimana aku mencoba memahami segala hal yang baru dan terasa berat ini, bagaimana perjuanganku untuk bisa disiplin bangun pagi, antri untuk mandi, tidur dikamar tanpa kipas angin apalagi AC, tentang bagaimana aku selalu berusaha bangun dari keterpurukanku, bagaimana aku bisa menyeka airmataku sendiri, dan berusaha menguatkan diri ini. Surat-surat yang tidak pernah kukirimkan, hanya kusimpan di dalam kotak kecil di bawah tempat tidurku. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir, tapi aku juga tidak ingin menahan perasaan ini sendirian.
Kehidupan di sekolah berasrama ini memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk bisa aku nikmati. Aku mulai berpikir, mungkin masalahnya bukan pada tempat ini atau orang-orang di sekitarku, tapi pada caraku melihat semuanya. Aku terlalu fokus pada hal-hal yang membuatku tidak nyaman, hingga lupa bahwa di sini juga ada banyak hal baik yang bisa kupelajari. Aku lupa bahwa setiap kesulitan ini adalah bagian dari proses pembentukan diriku, pembentukan karakterku, bagian dari perjalanan menuju cita-citaku. Aku lupa bahwa semua temanku disini, mengalami hal yang sama dengan ku, semua merasakan sedih dan sakitnya berpisah. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku memutuskan untuk berubah. Bukan berubah menjadi orang lain, tapi merubah cara pandangku.
Aku mulai mencari kegiatan yang bisa menyibukkan pikiranku, mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah, mulai membuka diri untuk berteman dengan lebih banyak orang. Walau aku tahu, pastinya tidak akan langsung menghilangkan semua rasa rindu yang kurasakan, tapi setidaknya, aku tidak lagi membiarkan perasaan itu menguasai diriku. Hari demi hari berlalu, dan perlahan-lahan, aku mulai terbiasa dengan kehidupan di sini. Disiplin yang ketat, bangun pagi, shalat berjamaah di masjid, semua itu mulai terasa lebih mudah. Aku mulai menemukan ritme hidupku sendiri di tempat ini. Kamar asrama yang dulu terasa asing kini mulai terasa seperti rumah kedua. Teman-teman yang awalnya sulit kupahami kini menjadi orang-orang yang selalu ada untukku, yang berbagi tawa dan cerita, yang membuat hari-hariku lebih berwarna.
Ketika aku melihat ke belakang, aku menyadari betapa jauhnya aku telah melangkah. Dari seseorang yang penuh keraguan, kini aku mulai menemukan kekuatan dalam diriku sendiri. Sekarang, ketika aku merindukan rumah, aku tidak lagi merasa sedih atau kesepian. Aku tahu, rindu itu adalah tanda bahwa aku masih memiliki tempat yang hangat di hatiku, tempat yang selalu bisa kukunjungi kapan pun aku butuhkan. Tapi di saat yang sama, aku juga tahu bahwa aku harus tetap fokus pada tujuan awal kenapa aku ada di sini. Aku harus terus maju, terus belajar, dan terus berkembang, karena inilah jalanku menuju masa depan yang selalu kuimpikan. Hari demi hari berlalu, dan akhirnya, 40 hari pertama di sekolah ini pun terlewati. Pada hari ke-41, orang tua kami diizinkan untuk mengunjungi kami di asrama. Pagi itu, jantungku berdegup kencang saat menunggu mereka tiba.
Ketika akhirnya melihat sosok ayah dan ibu berjalan memasuki halaman asrama, rasa haru dan lega yang tak terlukiskan membanjiri hatiku. Aku memberikan surat-surat yang selama ini kusimpan kepada mereka. Mereka membacanya dengan hati-hati, halaman demi halaman, dan aku melihat air mata mengalir di wajah ibu dan ayahku. Tapi kali ini, bukan hanya air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia dan haru. Haru karena mereka tahu betapa kerasnya aku berjuang untuk melewati semua ini, dan bahagia karena mereka tahu aku tidak sendirian dalam perjuangan ini. Aku tersenyum kecil pada diriku sendiri, merasa lebih tenang dan lebih kuat dari sebelumnya. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di bangku sekolah berasrama yang dulu terasa asing, tapi kini telah menjadi tempat yang mengajarkanku banyak hal tentang hidup. Aku belajar bahwa rindu bukanlah musuh yang harus kutaklukkan, tapi teman yang mengingatkanku akan rumah dan kasih sayang yang selalu ada untukku.
Aku masih merindukan rumah, tentu saja. Rasa rindu itu tidak pernah benar-benar hilang. Tapi sekarang, aku merasakan ada kekuatan baru dalam diriku. Kekuatan yang datang dari keyakinan bahwa aku bisa melewati ini semua, bahwa aku bisa mencapai semua impianku, meski harus melewati jalan yang sulit dan penuh liku. Aku belajar bahwa ketidaknyamanan dan kesulitan adalah bagian dari perjalanan yang harus kulewati untuk mencapai impianku. Aku belajar bahwa di balik setiap tantangan, selalu ada peluang untuk tumbuh dan menjadi lebih kuat. Aku tidak akan membiarkan rasa takut atau rindu menghentikanku. Aku tahu, setiap langkah yang kuambil di sini, seberapa pun sulitnya, akan membawaku lebih dekat pada cita-citaku.
Aku mungkin masih remaja, tapi aku tahu bahwa hidup ini adalah tentang belajar. Belajar untuk bertahan, belajar untuk beradaptasi, dan belajar untuk menemukan keseimbangan di tengah segala perubahan. Di sekolah ini, aku belajar untuk lebih mandiri, lebih tangguh, dan lebih mengenal diriku sendiri. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa kesehatan mental adalah hal yang sangat penting untuk dijaga, terutama di saat-saat seperti ini. Senandika ini kututup dengan keyakinan bahwa aku bisa melewati semuanya, bahwa aku bisa mengatasi segala tantangan yang ada di depanku. Aku akan terus berjalan, dengan hati yang lebih ringan dan pikiran yang lebih tenang. Aku akan terus mengejar mimpiku, karena aku tahu, di ujung perjalanan ini, ada masa depan yang cerah menantiku. Dan di saat itu tiba, aku akan melihat kembali ke masa ini, dan tersenyum, karena aku telah berhasil melewati semua ini dengan baik.
0 Komentar