Langit Jakarta membentang biru ketika Aruna memasuki gedung universitas tempatnya menuntut ilmu. Suara bising kendaraan dan aroma khas pedagang kaki lima mengitarinya, menambah kesibukan kota yang tak pernah tidur ini. Ia, seorang mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat kebanggaan dan kerinduan akan bahasa dan budaya yang melimpah di tanah airnya. Namun, ia juga tahu bahwa dunia kini semakin mengglobal, dan tantangan untuk mempertahankan identitas semakin besar. Hari itu, Aruna memiliki tugas kelompok untuk menyusun sebuah presentasi yang menggambarkan keragaman bahasa di Indonesia. Bersemangat, ia mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe kecil di dekat kampus. Teman-temannya datang, membawakan beragam latar belakang dan budaya. Dipta yang berasal dari Aceh, Lina yang lahir dan besar di Bali, serta Rangga yang orang tuanya merupakan imigran dari Madura. “Dari mana kita mulai?” tanya Lina sambil memesan teh tarik, minuman favoritnya. “Bagaimana kalau kita mulai dengan berbagi kisah masing-masing tentang bahasa daerah kita?” saran Aruna. “Dari situ, kita bisa melihat betapa kayanya budaya kita dan bagaimana kita bisa menciptakan kesatuan dalam keberagaman.”
Teman-temannya mulai bercerita. Dipta menceritakan tentang gampong di Aceh, tempat di mana bahasa Aceh bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mencakup sejarah dan budaya. Ia mengenang bagaimana orang tuanya mendongeng menggunakan bahasa tersebut saat sore menjelang, mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui kisah-kisah lokal. “Bahasa Aceh memiliki banyak ungkapan yang dapat menggambarkan rasa syukur dan cinta,” jelas Dipta, wajahnya berseri-seri. “Misalnya, ada ungkapan, „Teutemang pemuda, joloe doen, trolling rak paa!’ yang artinya menghormati pemuda, mendukung mereka, dan tidak membiarkan mereka terjerumus.”
Lina kemudian berbagi cerita. “Di Bali, bahasa Bali memainkan peran besar dalam upacara adat. Setiap kata yang diucapkan dalam doa memiliki makna yang mendalam. Ketika kita melakukannya, kita tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga menjembatani hubungan kita dengan alam luhur.” Rangga, yang terkenal kritis, angkat bicara. “Memang menarik, tapi kita juga harus melihat bagaimana bahasa bisa menjadi penghalang. Banyak orang di daerah saya mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini membuat mereka tidak bisa mengejar pendidikan yang lebih baik. Aruna mendengarkan dengan penuh perhatian, memahami keberagaman dalam pandangan mereka. Ketika perdebatan berakhir, gagasan besar mulai muncul dalam pikirannya. Ia menekankan pentingnya bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. “Kita harus menunjukkan bahwa keragaman bahasa dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan,” katanya. “Di era globalisasi ini, kita dapat menggunakan teknologi untuk melestarikan bahasa daerah dan memperkenalkan keindahan budaya kita ke dunia Internasional.”
Setelah beberapa jam berdiskusi, mereka pun sepakat untuk membuat video kreatif yang menampilkan keragaman bahasa. Dengan semangat, meraka menulis naskah yang mencakup pengenalan singkat tentang masing-masing bahasa yang mereka bawa, serta beberapa ungkapan khas. Mereka juga berencana untuk memasukkan unsur seni, seperti tarian dan musik dari daerah masing-masing. Dipta menunjukkan semangatnya untuk merekam ungkapan bahasa Aceh, sementara Lina berinisiatif menari dan membawakan gending Bali. Rangga, yang merasa tidak pandai dalam menari, malah mengambil alih tugas sebagai sutradara. Aruna ditunjuk sebagai pengarah naskah. Hari demi hari berlalu, mereka bekerja keras untuk menyelesaikan proyek ini. Di tengah kesibukan kuliah dan kegiatan lain, mereka meluangkan waktu untuk berlatih, merekam, dan memutar video. Pada suatu malam, ketika rekaman sudah hampir selesai, Aruna mengusulkan satu ide terakhir. “Bagaimana kalau kita menambahkan pesan tentang persatuan? Kita bisa mengajak orang-orang dari berbagai daerah untuk ikut berpartisipasi. Misalnya, dengan mendokumentasikan percakapan dalam bahasa daerah mereka.” Dipta, Lina, dan Rangga menyetujui ide tersebut, dan proyek mereka semakin meluas. Mereka yang awalnya hanya berempat, akhirnya melibatkan teman-teman lain, hingga seperti sebuah gerakan kecil di dalam kampus.
Beberapa minggu kemudian, proyek mereka selesai. Video itu telah siap untuk ditayangkan di festival budaya universitas. Pada hari itu, semua orang berkumpul, dan suasana penuh kegembiraan menghangatkan hati Aruna. Ketika video itu diputar, mereka melihat gambaran indah keragaman bahasa dan budaya Indonesia, lengkap dengan senyuman, tarian, dan ungkapan-ungkapan yang menggugah semangat. Di akhir tayangan, muncul pesan yang ditulis Aruna, “Dalam keragaman, terdapat kekuatan. Mari kita jaga dan lestarikan bahasa dan budaya kita agar tetap hidup serta menjadi jembatan yang menyatukan di era globalisasi.” Saat ruangan itu dipenuhi tepuk tangan, Aruna merasakan getaran di hatinya. Ia melihat teman-temannya, dan menyadari bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar presentasi. Mereka telah merangkai sebuah cerita tentang cinta pada budaya bangsa dan juga harapan akan masa depan yang bersatu. Setelah acara berakhir, Aruna dan teman-temannya berdiri di luar gedung, memandang langit malam yang dihiasi dengan bintang-bintang bertebaran. Dalam hening, mereka merasakan ikatan yang semakin kuat, jalinan bahasa yang beragam, namun terjalin dalan satu tujuan yang sama. Mewujudkan cita-cita bangsa demi kesatuan di era globalisasi. Merefleksikan semua itu, Aruna tersenyum, mengetahui bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
0 Komentar