Suara dari Ujung Dunia : Cerita di Ujung Jari - Uzli Fatul Jannah


Suara dari Ujung Dunia : Cerita di Ujung Jari
Uzli Fatul Jannah - SMA IT AL-ITTIHAD PEKANBARU

Di tepi laut Kampung Pelayaran, kehidupan mengalir layaknya ombak yang menyapu pasir. Rumah-rumah kayu yang dibangun sederhana berdiri berderet, seolah saling mendukung dalam menghadapi ombak kehidupan. Masyarakat di kampung ini memilih bertahan dengan cara hidup tradisonal, menolak segala
tawanan modernisasi dari pemerintah. Mereka percaya, laut dan tradisi nenek moyang adalah warisan yang tak ternilai.

Setiap pagi, saat fajar menyingsing dan mentari memancarkan sinarnya yang lembut, para nelayan bersiap-siap. Suara riuh kapal-kapal kecil yang terikat di dermaga menyatu dengan derai tawa anak-anak yang berlari di sepanjang Pantai. Jala, perahu, dan kayu menjadi simbol ketahanan yang dijaga dengan penuh rasa hormat.

“Jali, hayu anak, gugah, tulungan bapa nangkep ikan di laut.” suara lembut Pak Ibay menyapu halus telinga anaknya, Jali. Ia membangunkan Jali untuk menolongnya menangkap ikan di laut. Karena memang setiap pagi ia dan anaknya akan pergi berlayar ke laut untuk mencari beberapa ekor ikan untuk dijual. Sudah menjadi kebiasaan bagi Jali untuk menemani Si Bapak dalam berlayar.

“Iya pak, Jali sudah selesai” dengan cepat ia meraih tas kecilnya yang berisi alat belajar. Karena siang ini adalah jadwal Jali untuk belajar bersama Teteh Aria di pondok Pelangi. Pak Ibay dan Jali berdiri di samping perahu kecil mereka, siap untuk berlayar. Mentari mulai menanjak, memancarkan sinar keemasan yang memantulkan keindahan laut. Dengan cekatan, Pak Ibay mengikatkan jala di sisi perahu, sementara Jali duduk di ujung, merasakan gelombang yang lembut mengayunkan perahu.

“Engke rek diajar jeung teh Aria, nya?”tanya Bapak karena melihat Jali memangku tas kecilnya selama berada di kapal. Jali takut tas-nya basah terkena percikan air di laut, karena hari ini ombak lumayan tinggi.

“iya, pak. Nanti Jali belajar bareng teh Aria di pondok” mendengar itu, Pak Ibay tersenyum kecil. Ia bangga jika anaknya semangat belajar seperti ini. Karena dirinya selalu berharap supaya Jali bisa menjadi lebih hebat dibanding dirinya. Bapak dan Jali selalu berkomunikasi menggunakan 2 bahasa seperti ini. Jali
dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Indonesia sejak ia belajar bersama teh Aria di pondok. Sementara bapak, tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali.

Tetapi, bapak paham jika ada yang menggunakan Bahasa Indonesia kepadanya. Hari sudah siang ketika Pak Ibay dan Jali kembali ke tepi laut setelah beberapa jam berlayar. Mereka berhasil menangkap beberapa ikan segar, berkilau di bawah sinar matahari. Suara gemericik air dan kicauan burung menambah suasana damai di sekitar mereka. Setelah selesai membantu bapak memindahkan ikan, Jali mengganti pakaiannya dengan yang baru. Ia tak ingin saat belajar nanti akan ada bau amis ikan yang menganggu suasana belajar di pondok nanti.

“Pak, Jali berangkat ke pondok dulu ya?” izin Jali cepat karena ia sudah telat datang ke pondok.

“Enya, rajin diajar, ulah bangor kamu teh, Bapa ngadamel tuangeun, tong hilap tuangna” seru Sang Bapak mengingatkan Jali untuk jangan lupa memakan bekal yang telah ia siapkan tadi pagi.

“Assalamualaikum, Pak” Sahut Jali, sambil menyalimi tangan Si Bapak. 

Jali berlalu dengan cepat, Ia tak ingin tertinggal Pelajaran bersama teh Aria hari ini. Jali selalu senang belajar bersama teh Aria, selain materi yang disampaikan mudah dipahami, Jali dan teman-temannya juga sangat menyukai teh Aria, karena teh Aria sangat baik hati. Pernah sekali Bapak lupa membawakan bekal
untuknya, teh Aria memberikannya makan siang, karena tampak Jali tak fokus selama pembelajaran karena sedang kelaparan.

Setelah berlari selama 3 menit, akhirnya Jali tiba di Pondok Pelangi. Tampak teman-temannya sudah duduk rapi mendengarkan Teh Aria menjelaskan materi. Dengan bergegas Jali menyusun rapi sandalnya, dan naik ke atas Pondok.

“Assalamualaikum teh, maaf teh, tadi Jali membantu Bapak di laut. Karena itu Jali telat datang.” Jali datang dengan permintaan maafnya untuk teh Aria, karena ia telat untuk pembelajaran hari ini.

“Iya Jali, Tidak apa-apa. Kamu hanya telat beberapa menit. Jadi, sekarang kamu boleh duduk dan langsung membuka buku, ya. Nanti, teteh berikan beberapa latihan untuk dikerjakan” kata teh Aria sambil tersenyum ke arahnya. Jali tampak lega mendengar jawaban teh Aria, ia langsung mengambil tempat di samping

Surya yang sedang tersenyum kepadanya. Selama pembelajaran berlangsung, anak-anak tampak sangat bahagia. Karena selama pembelajaran di pondok, mereka diajarkan dan diharuskan menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Jali dan teman-temannya menyadari bahwa ada Bahasa lain yang harus mereka kuasai selain Bahasa Sunda. Teteh aria mengatakan bahwa, Bahasa Indonesia ini akan mereka gunakan selalu ketika mereka keluar dari Kampung Pelayaran, karena tak semua orang di luar kampung akan mengerti Bahasa yang mereka gunakan selama berada di dalam kampung. Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan 15.30 WIB. Ini berarti pembelajaran hari ini telah usai, dan anak-anak sudah diperbolehkan kembali ke rumah mereka.

Tetapi yang tersisa hanyalah Jali dan teh Aria. Sebenarnya ada hal yang ingin Jali tanyakan kepada teh Aria terkait sesuatu.

“Teh, apakah Jali boleh bertanya sesuatu?” tanya Jali dengan nada sopan.

“Tentu, apa yang ingin Jali tanyakan?” jawab Teh Aria.

“Sebenarnya, Jali hanya memiliki sedikit usulan, teh. Tadi Jali ada membaca sebuah buku yang judulnya, Indahnya Negeriku. Di dalam buku itu Jali lihat, ada suatu pentas drama yang semua orang berbahasa menggunakan Bahasa daerahnya masing-masing. Suasana tampak ricuh karena tidak ada yang mengerti satu sama lain. Tetapi ketika ada yang mulai berbahasa Indonesia semuanya paham. Dan mulai bergotong-royong membangun desa bersama. Bagaimana jika kita lakukan sama seperti yang ada di buku, teh?” jelas Jali dengan penuh semangat. 

Teh Aria tampak terkejut, pasalnya ia memang pernah membaca buku itu sebelumnya. Tetapi tak pernah terlintas untuk melakukan hal yang sama. Selaku anak Kades, teh aria pasti mudah untuk mendapatkan izin Bapak dalam menyongsong proyek ‘besar’ ini. Karena beberapa hari lalu pak kades ingin sekali membuat awalan baru bagi Kampung Pelayaran, untuk segala kemudahan akses ke pusat kota. Mungkin inilah jawaban dari segala doa!

“Jali, kamu memang anak yang cerdas. Baiklah! Teteh akan langsung bahas ini dengan Pak Kades, ya?” sahut teh aria, tak kalah semangat dan langsung beranjak pergi menemui Si Bapak. Jali tingal dengan senyuman dan semangat di wajahnya.

Obrolan teh Aria dan Pak Kades tampak serius. bagi Pak Kades, bukanlah hal yang mudah untuk menjalankan usulan dari anaknya ini. Itu sebabnya ia tak pernah berani mengambil langkah untuk perubahan kampung. Tetapi benar yang dikatakan teh Aria tadi. Jika tidak sekarang, akan sampai kapan penduduk Kampung Pelayaran terus berada di bawah angka kemakmuran?

“Pak, coba bapak andaikan Bahasa Indonesia itu adalah sebuah jembatan pemikiran. Jika kita saja tidak menguasai betul ‘jembatan’ itu, bagaimana suara kita akan terdengar? Bagaimana pusat kota bisa menjangkau kita jika kita selalu menolak akses? Ayolah Pak, kita jadikan pentas seni itu sebagai awalan dari perubahan kita bersama” teh Aria, anggap itu adalah permohonan terakhir
darinya.

“Baiklah, Aria. Bapak akan rampungkan pentas seni itu. Tugas kamu dan para anak yang ada di Pondok Pelangi adalah untuk mengisi rangkaian acara yang ada di pentas seni, paham?”

Hari yang dinanti Jali dan teman-temannya akhirnya tiba. Suasana ramai oleh penduduk kampung, karena ini adalah pentas seni pertama yang diselenggarakan oleh Pak Kades di Kampung Pelayaran. Berikutnya, adalah rangkaian acara terakhir yang ada di pentas seni. Yaitu, pementasan drama dari anak-anak Pondok
Pelangi.

Selama pementasan, penduduk kampung tampak terpukau oleh drama yang di tunjukkan. Mereka terharu dan bangga oleh anak generasi muda kampung pelayaran. Karena akhirnya, mulai terlihat perubahan dan keyakinan dalam kampung untuk bergerak maju.

“Aria, kamu berhasil. Kamu berhasil membawa arus ombak yang baik untuk kita bersama” Pak Kades ucapkan dengan penuh bangga dan haru. Karena pentas seni yang ia gagas bersama anaknya itu berhasil. Dapat disimpulkan dari reaksi warga yang bertepuk tangan dan tangis haru. Bagi mereka inilah awal permulaan dari segala kebijakan baru tanpa menghilangkan jejak lama dari pendahulu mereka. Sama seperti yang Jali dan teman-temannya pentaskan tadi.

“...ada banyak cara untuk mencapai kemakmuran, dan ada banyak pula cara untuk menjaga segala macam peradatan. Jangan takut menemui perubahan dan kemajuan, karena perubahan itu hadir dari segala bentuk arah. Merdeka bagi seluruh rakyat Indonesia, Merdeka!” sepenggal dialog yang penuh makna dan mengubah segala pandangan penduduk kampung.

Pak Kades segera memberikan selamat kepada anak anak Pondok Pelangi. Wajah yang sumringah terdapat di semua wajah anak anak, pentas seni kali ini berhasil dilaksanakan bersama.

“Bapak bangga, generasi muda seperti kalian berani untuk menunjukkan apa yang selama ini telah kalian pelajari. Sebagai bentuk imbalannya, kalian mau apa?” tanya Pak Kades.

“Kami sudah memikirkan ini dari 2 hari yang lalu pak, kami hanya ingin semua warga kampung dapat diajarkan berbahasa Indonesia seperti kami, itu saja” mendengar itu, Pak Kades hanya bilang “Siap, laksanakan!”


 

Posting Komentar

0 Komentar