Impian di Balik Kata
M.Rafi Arsya-IP ICBS RIAU
Pada hari itu, semilir angin menyapa dedaunan yang menganggur dari pohon-pohon di halaman sekolah. Di sebuah kursi kayu yang mulai lapuk oleh waktu, duduklah seorang gadis remaja dengan buku catatan kecil di pangkuannya,
Namanya Caca. Sejak kecil, ia sudah jatuh cinta pada kata-kata. Bagi Caca, kata- kata bukanlah sekedar rangkaian huruf yang tersusun menjadi sebuah kalimat,melainkan jembatan menuju impiannya yang ia idamkan semenjak di bangku sekolah dasar. Ia ingin menciptakan sebuah harapan untuk bangsanya di tengah derasnya arus globalisasi. Caca bertekad ingin mewujudkan impiannya itu dengan setiap kata-kata yang selalu Ia rangkai di buku catatan kecil, ceritanya terasa seperti hidup. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Ia selalu menulis cerita-cerita pendek yang memiliki makna tersurat maupun tersirat, terkadang teman-teman sebangkunya pun juga suka membaca karyanya tersebut. Bukan sekedar cerita tentang kehidupan sehari-hari. Tetapi, cerita tentang kebudayaan, warisan nenek moyang, dan mimpi- mimpi anak muda Indonesia.
“Apa yang kamu tulis, Ca?” tanya Dini, sahabatnya yang baru saja datang dan duduk di sebelahnya. Caca tersenyum tipis, menunjukkan catatan kecil yang ia tulis daritadi yang berisi tulisan tangan rapi. “Aku menulis tentang sebuah perkampungan yang memiliki kearifan lokal, tapi sekarang mulai hilang ditelan zaman. “Aku takut Dini, Aku takut kalau suatu hari nanti kita tidak dapat mewariskan budaya nenek moyang yang telah diukir, tidak dapat dikenali oleh anak dan cucu kita nanti, karena terlalu sibuk meniru dari luar.” Caca pun melengos. “Din, gimana ini Aku gelisah banget, Aku harus berbuat apa untuk bangsaku.” Caca khawatir akan masa depan bangsanya.
Dini mengerutkan keningnya, menatap setiap lembaran-lembaran tulisan Caca dengan rasa kagum. “Kamu pasti bisa ca, Aku yakin dengan tekadmu yang kuat, kamu akan selalu punya cara untuk menghidupkan hal-hal yang mungkin terlupakan oleh banyak orang.” Caca menutup bukunya perlahan, memandang jauh ke arah langit biru yang mulai ditutupi awan-awan tipis. “Aku hanya ingin menjaga apa yang telah kita miliki, Din. Semua itu tercantum dalam memoriku, Aku melihat perjuangan nenek moyangku dalam membela bahasa dan budaya mereka, Aku tidak ingin menghilangkan jati diri kita... itu semuanya penting. Di era globalisasi ini banya hal yang begitu cepat berubah.” Ujar Caca yang begitu khawatir. Dini meneteskan air mata, melihat sahabatnya yang memiliki impian yang besar untuk membela bangsanya. Dini mengangguk pelan. “Tapi, bagaimana caranya, Ca? Dunia terus berjalan seiring waktu tanpa kita sadari sekarang dunia telah dipenuhi oleh teknologi-teknologi canggih yang dengan mudah menggantikan posisi budaya kita dan sering kali harus merasa ikut dalam alur itu.” Caca termenung sejenak mendengar perkataan sahabatnya barusan. “Kita tidak bisa di sini-sini saja, Din. Dengan mengikuti era globalisasi seperti air mengalir, Kita harus bersaing di era globalisasi. Kalau tidak kita akan termakan oleh arusnya dan usaha kita untuk menjaganya sia-sia, kalau bukan dari kita sendiri siapa lagi yang ingin menjaga bangsa ini? Kalau kita bisa membawa semuanya itu ke dalam dunia yang baru, Aku yakin kita tidak akan kehilangan apa-apa. Justru kita bisa menambah sesuatu yang unik untuk dunia.” Dini terdiam. Kata-kata Caca menjalar ke dalam pikirannya. Betapa sering ia merasa bangga dengan temannya tersebut, apalagi saat membaca karya-karya Caca yang memotret kehidupan di perkampungan, tentang orang-orang yang menjaga adat istiadat dan tradisi, atau tentang anak-anak yang berusaha memahami sejarang bangsa di tengah gempuran teknologi yang berkembang pesat. “Ca, berhubung kamu ingin mewujudkan impian tersebut, mengapa tidak kamu coba saja mempublikasikan karya tersebut di media atau majalah, pasti akan lebih banyak lagi yang membaca karyamu. Bukan hanya teman-temanmu saja yang dapat membaca, bahkan seluruh penjuru negri dapat menikmati tulisanmu dengan mempublikasikannya di internet.” Saran Dini. “Boleh juga itu, Din. Kita bisa memanfaatkan teknologi sebagai wadah untuk menampilkan karya-karya anak bangsa, dengan itu kita dapat bersaing di era globalisasi.” Caca mulai bersemangat. Caca menatap bebatuan di sebelahnya yang telah ditutupi oleh lumut-lumut dan hiduplah sepucuk bunga yang indah dari lumut tersebut. “Aku ingin seperti bunga indah itu, walaupun ia diterpa angin yang kuat, hujan, badai. Namun, ia dapat tumbuh dengan sempurna menghiasi bebatuan itu, dan tiba-tiba mata Caca berbinar. Menerbitkan tulisannya memang selalu menjadi mimpinya. Ia selalu membayangkan bukunya dapat dibaca oleh orang-orang dari berbagai penjuru negeri. Mereka mungkin bisa melihat dari tulisannya, bahwa di balik modernitas yang melingkupi, ada akar budaya yang harus dijaga.
Malam itu, di kamar kecilnya yang dipenuhi buku-buku dan kertas-kertas catatan. Caca mulai menulis dengan lebih tekun. Ia menulis tentang Impian, tentang cita-cita, tentang masa depan yang ingin ia wujudkan melalui cerita-ceritanya. Ia semakin rajin membaca buku-buku sastra dan mengikuti berbagai workshop menulis. Caca juga aktif berdiskusi dengan teman-teman sesama penulis pemuda. Mereka saling bertukar ide dan masukan, termasuk saling menyemangati satu sama lain.
“Karya-karyamu sangat inspiratif, Caca. Aku yakin pasti akan banyak orang yang terhibur dan termotivasi dengan cerita-ceritamu.” Kata Dini. “Masih banyak yang harus aku pelajari.” Gumam Caca.
Dalam ceritanya, Caca menggambarkan tokoh-tokoh perjuangan yang kuat menghadapi perubahan zaman tanpa melupakan akar budaya mereka. Ia menulis tentang seorang anak muda yang bersekolah di luar negri namun tetap membawa cerita-cerita dari kampungnya, atau tentang nenek yang mengajarkan bahasa daerah kepada cucunya di tengah kemajuan teknologi. Bayangkan begitu banyak tokoh- tokoh yang berjuang dalam menjaga budaya yang telah turun-temurun dari nenek moyang kita hingga generasi kita saat ini. Semua itu masih kuat dalam kepalan kita, tugas kita hanya menjaga dan tidak mengabaikannya. Tulisan Caca menjadi hidup, ia tidak henti-hentinya menulis di buku catatannya.
Pada suatu ketika, karyanya ingin ia publikasikan di internet. Tak lama dari pemublikasian itu, begitu banyak peminat pembaca, apalagi dari kalangan kampung mereka sangat mendukung Caca agar terus mengembangkan karyanya. Banyak orang yang ikut andil dalam karya Caca, seperti mendonasi, menyumbang ide, dsb. Dunia pun berubah, orang yang dulu hanya mementingkan tren, sekarang mereka sekaligus mementingkan budayanya. Dunia semakin unik, tidak hanya musik modern yang dapat mengiring lagu-lagu pop. Tetapi, alat musik tradisional juga dapat ikut serta dalam mengiringi lagu-lagu di zaman era globalisasi. Mereka saling merangkul satu sama lain dan tidak saling meninggalkan. “Jadikanlah mencintai tanah air sebagai suatu tradisi.”
Tamat
0 Komentar