Suara di Ujung Pena
Chairunnisa-SMA N 3 MANDAU
"Pendirian Arka tetap kokoh demi menemukan jati diri dan makna Bahasa Indonesia. Sahabatnya Kiran, meragukan pentingnya bahasa mereka, sedangkan Arka terjebak dalam konflik batin: apakah mempertahankan Bahasa Indonesia masih relevan?. Dalam pencarian jawaban, ia menyadari bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan yang menghubungkan goresan tinta sejarah dan cita-cita bangsa. Kini, ia harus berani bersuara, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan bangsanya."
Di sudut kelas yang sederhana, Arka menatap sebuah kertas putih dengan hampa. Pena di tangannya terasa berat, sementara pikirannya melayang jauh. Dalam benaknya, ia melihat dirinya dan teman-temannya menjadi pemimpin bangsa ini, membangun negeri di tengah arus globalisasi. Namun, kini ia hanya merasakan kebingungan, dikejar waktu untuk menyelesaikan esai tentang Bahasa Indonesia dan cita-cita bangsa.
"Mengapa sulit sekali menulis esai ini?" keluh Arka, sambil menggoyangkan kursi. Kiran, sahabatnya, tersenyum tipis. "Menulis tentang bahasa dan cita-cita bangsa memang bukan perkara mudah. Apalagi di era globalisasi ini. Ini bukan sekadar tentang bahasa, melainkan tentang siapa kita sebagai bangsa," Tegas Kiran.
Arka mengangguk pelan, meskipun pikirannya tetap berkecamuk. Bahasa Indonesia perlahan mulai kehilangan tempat dimana seharusnya ia berada. Arka sering melihat teman-temannya lebih sering menggunakan bahasa asing dalam percakapan, baik di media sosial maupun dalam keseharian. Pertanyaan besar muncul seketika, apakah Bahasa Indonesia masih relevan di tengah arus global yang begitu kuat?.
Ketukan pintu membawa lamunannya tersentak seketika. Wajah serius yang tak asing lagi, muncul menghampiri mereka. Ia adalah Pak Arif, guru Bahasa Indonesia. "Arka, Kiran, sudahkah kalian menyelesaikan esainya?" tanyanya tegas. Arka tergagap dan menatap kertas kosongnya. "Belum, Pak. Masih dalam proses,"jawabnya dengan ragu. Pak Arif menghela napas panjang. "Arka, ini bukan sekadar tugas sekolah. Ini tentang jati diri kita sebagai bangsa. Jangan anggap remeh." Arka menunduk,
merasa malu. Ketegangan mulai menyelimuti hatinya. Setelah Pak Arif pergi, Kiran kembali memecah keheningan.
"Tahukah kamu, Arka, aku mendengar bahwa teman kita pernah mengatakan Bahasa Indonesia sudah tidak terlalu penting. Bahkan mereka mengatakan Bahasa Indonesia hanya metamorfase belaka. Mereka berpendapat bahwa menguasai bahasa asing lebih berguna, terutama untuk bersaing di tingkat internasional," kata Kiran sambil memandang ke luar jendela. Arka merasa darahnya mendidih. "Kamu percaya pada pendapat mereka, Kiran?.” Kiran terdiam sejenak. "Aku tidak sepenuhnya yakin Arka. Mungkin ada benarnya. Lihat saja, orang-orang lebih dihargai jika mereka fasih berbahasa asing. Terkadang, aku juga meragukan, apakah Bahasa Indonesia masih mampu bersaing?" Arka tersentak mendengar jawaban sahabatnya. Konflik batin mulai berkecamuk dalam dirinya. Bagaimana mungkin sahabat terdekatnya sendiri meragukan pentingnya Bahasa Indonesia? Namun, ia tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa bahasa asing semakin mendominasi, terutama di kalangan anak muda. Polemik batin semakin membatu, berdiam dalam benaknya.
Malam itu, Arka duduk manis di meja belajar, sambil merenungi perkataan Kiran. Kertas di hadapannya pun masih kosong. Bagaimana bisa ia membela Bahasa Indonesia jika teman-temannya sendiri meragukannya? pikiran Arka melayang ke percakapan dengan ayahnya beberapa malam lalu. "Arka, bahasa adalah jiwa bangsa. Kita boleh menguasai bahasa asing, tetapi jangan pernah meninggalkan bahasa kita sendiri," kata ayahnya waktu itu. "Yakini bahwa kita harus ikut andil dan menjadi bagian dari kemajuan global, tetapi jangan sampai meninggalkan akar budaya kita." Namun, suara keraguan Kiran masih menggema di benaknya. “Apa benar? apa aku terlalu idealis?” batin Arka. Ia merasakan tekanan besar untuk menyelesaikan esai tersebut, tetapi kebimbangan semakin melingkupinya. Ia membuka ponsel dan melihat percakapan teman-temannya di grup kelas. Mereka bercanda dalam Bahasa Inggris, bahkan ada yang menggunakan Bahasa Korea dan Mandarin. Arka semakin merasa terasing. Hatinya bergolak, namun pikirannya terus bertanya, "Apakah mempertahankan Bahasa Indonesia masih relevan di dunia yang berubah cepat ini?"
Keesokan harinya, Kiran mendekati Arka sebelum kelas dimulai. "Maafkan aku tentang kemarin Arka. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Aku hanya merasa bingung..., niatku ingin memposisikan diri kita untuk menjunjung tinggi Bahasa Indonesia. Di satu sisi, aku tahu kita harus bangga pada bahasa kita, tetapi di sisi lain, aku juga ingin bisa bersaing secara global."
Arka tersenyum tipis. "Aku tidak marah Kiran. Aku hanya merasa kecewa. Namun, apa yang kamu katakan juga ada benarnya. Seiring perubahan dunia, kita harus tetap bisa beradaptasi. Tetapi itu tidak berarti kita harus mengorbankan bahasa kita." Saat jam pelajaran dimulai, Pak Arif mengumumkan bahwa esai akan dilombakan keesokan harinya. Serta merta Arka merasakan kepanikan. Konflik batin belum usai, namun waktu semakin mendesak. Malam itu, dengan hati yang masih bimbang, ia mulai menulis esainya. Pena di tangannya mulai menari di atas kertas, mencurahkan perasaan dan pikiran tentang pentingnya bahasa sebagai jembatan untuk menyampaikan mimpi-mimpi bangsa. Ia menulis bahwa Bahasa Indonesia bukanlah penghalang di era globalisasi, tetapi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. "Bahasa Indonesia adalah bukti bahwa kita ada. Tanpa bahasa, kita hanyalah
bayang-bayang di tengah arus global."
Hari lomba tiba. Arka berdiri di depan para juri, perutnya terasa mulas, keringat dingin terasa mengguyur tubuhnya. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyampaikan keyakinannya. Konflik batin yang ia alami memberinya kekuatan baru. Ia mulai membacakan esainya dengan suara lantang, tidak satu kata pun terucap gugup dari lidahnya, ia menekankan bahwa di tengah globalisasi, Bahasa Indonesia harus tetap dipertahankan sebagai pilar jati diri bangsa. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir dengan penuh keyakinan, hasil dari pergulatannya dengan keraguan dan keyakinan diri. Ia menyadari bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana memperjuangkan identitas bangsa.
"Bahasa Indonesia bukan sekadar alat bicara," ucapnya di akhir esainya, "tetapi jembatan yang menyatukan kita sebagai bangsa, di tengah dunia yang terus berubah. Hanya dengan menjaga bahasa kita sendiri, kita bisa meraih cita-cita yang lebih besar."
Setelah kalimat terakhirnya diucapkan, ruangan dipenuhi tepuk tangan. Arka menatap ke arah Kiran di antara para penonton. Kiran tersenyum dan mengangguk penuh kebanggaan. Kini, ia tahu bahwa Arka benar, Bahasa Indonesia akan selalu menjadi bagian dari jati diri mereka, apapun tantangan yang dihadapi. Dia mengakui bahwasanya dengan bahasa dapat mewujudkan mimpi-mimpi besar.
0 Komentar