1, 2, 3, Lompat! - Shella Julianah

 

1, 2, 3, Lompat!

Oleh: Shella Julianah


“Ayo, ayo!”

Kaki terangkat sebelah. Tangan merentang. Anak perempuan usia tujuh tahun itu melompat melewati kotak ketiga. Sayang, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke depan.

“Awas!”

Segera dua anak perempuan lainnya menghampiri anak itu.

“Kamu nggak apa-apa, Mar?” ucap anak berambut kepang dua.

“Berdarah! Darah!” Anak satu lagi berteriak keras.

Teriakan anak itu cukup menarik perhatian warga sekitar. Tak sedikit yang memperhatikan mereka. Namun, warga sudah terbiasa mendengar teriakan anak-anak perempuan itu. Kebanyakan hanya melihat sebentar, lalu kembali ke aktivitas masing-masing.

“Darah! Ada dar—”

Anak berambut ikal itu langsung dibungkam oleh Martia. Lia—anak yang rambutnya penuh jepitan—memanyunkan bibirnya, tanda ia merajuk pada Martia.

“Nggak sakit! Nggak usah lebay,” ucap Martia pada anak itu. Ia masih meraba-raba tanah, mencari kacamatanya yang tak terjangkau.

“Enggak mau diobatin, Mar?” Gadis berambut kepang menyerahkan kacamata Martia.

Martia menerimanya dan berkata, “Nggak usah, nggak apa-apa kok. Cuma perih dikit.”

Jatuhnya Martia hanya membuat lututnya sedikit lecet. Tapi bagi Martia, ini hal kecil. Tidak membahayakan sama sekali. Dua temannya itu hanya membesar-besarkan. Ia malah jadi malu karena dilihat warga.

“Karena Martia kalah, sekarang giliran aku ya!” Lia berteriak girang. Ia mengambil batu yang tadi dilempar Martia ke tanah bergaris kotak-kotak.

“Jangan! Jatuh nanti kamu nangis,” ucap Martia.

“Iya, Lia. Kamu belum pernah main engklek, kan?” sahut Rani. Anak itu mengulurkan tangannya pada Martia.

“Aku bisa, aku bisa!” Lia terlihat gigih ingin memainkan permainan lompat itu.

“Kalo jatuh terus sakit, jangan nangis ya!” Peringatan Martia hanya dianggap candaan oleh anak berjepit stroberi itu.

“Mar, kenapa dibiarin? Nanti kita kena marah sama mamanya Lia,” ucap Rani cemas.

“Aman, Ran. Percaya sama aku.” Tangannya menepuk dadanya dengan percaya diri.

Martia sangat optimis.

“Kalo nangis, tinggal kasih jajan pempek Ante Inah.” Alis Martia naik turun menggoda Rani.

“Terserah kamu aja, deh.” Gelengan malas didapatkan Martia dari Rani.

Rani mengambil tempat duduk di pinggir area bermain mereka. Martia mengikuti Rani dan duduk di sebelahnya.

“Tenang aja. Liat tuh,” ucap Martia sambil menunjuk Lia dengan dagunya.

Tak memperhatikan perdebatan teman-temannya, Lia sudah sampai di kotak ketiga. Tadi ia melihat sebentar bagaimana memainkan permainan yang kata temannya itu ‘engklek’. Ternyata ia lebih jago daripada kedua temannya, begitu pikirnya.

Biasanya, Lia hanya menonton dua anak perempuan itu bermain. Ia hanya duduk memperhatikan karena takut jatuh dan terluka. Ia terlalu takut mencoba, jadinya tidak bisa menikmati bermain bersama mereka. Tapi lihatlah sekarang—betapa lebarnya senyum Lia ketika berhasil menyelesaikan permainan. Ia tidak menyesal sama sekali. Kedua temannya pun beruntung tidak perlu mendengar tangis bayi.

“Aku bisa! Lihat, aku bisa!” Lia melompat-lompat kegirangan. Deretan gigi susunya terlihat kala ia tertawa.

Rani menghela napas lega. Ia sangat takut tadi. Jantungnya berdetak kencang melihat setiap lompatan Lia. Martia mengangkat dua jempolnya dan tersenyum bangga. Ia berhasil mengajari tuan putri bermain permainan yang katanya tidak asik itu.

“Keren, Lia!” Tepuk tangan Lia dapatkan dari Rani dan Martia.

“Ayo main, teman-teman!” sahut Lia.

Kedua temannya kemudian mendekat ke tanah bergaris kotak. Rani mengambil ranting di dekat mereka dan menggambar ulang garis-garis kotak yang sudah agak pudar. Setelah selesai, dilemparnya ranting itu agak jauh.

Rani mendapat giliran pertama. Permainan ini sebenarnya cukup sulit. Dibutuhkan keberanian, fokus, dan koordinasi tubuh yang bagus. Bagi Rani, permainan engklek cukup menantang. Ia yang jarang bergerak beberapa kali salah arah ketika melompat dan keluar dari garis. Ia berhenti ketika merasa lelah.

Selanjutnya, giliran anak berbadan besar di antara teman-temannya: Martia. Baginya, ini permainan mudah. Tinggal melompat sesuai jalur dan jangan keluar atau menginjak garis. Tapi koordinasi tubuhnya tidak cukup baik. Entah karena ia jatuh tadi atau karena diperhatikan oleh Lia. Ia kalah karena meletakkan dua kaki pada satu kotak, padahal tersisa tiga kotak lagi.

“Tidak!” teriak Martia dan Rani bersamaan.

“Ini pempeknya, anak-anak.” Wanita usia 30-an itu menghidangkan sepiring pempek pada tiga anak perempuan.

“Terima kasih, Ante,” ucap Rani.

“Udah, ini pempeknya. Jangan nangis lagi,” bujuk Martia pada anak berjepit stroberi.

Rani dan Martia saling pandang karena Lia tidak mau berhenti menangis.

“Kamu sih tadi,” ucap Rani pada Martia. Anak itu sibuk mengelus punggung Lia.

Martia hanya menggeleng dan berkata, “Mana aku tahu dia bakal jatuh?”

“Masih sakit, ya?” Lia menunjukkan tangannya yang merah dan sedikit lecet—hanya sedikit—pada Rani. Anak itu sudah siap menangis dan berteriak lagi.

“Gapapa itu, besok juga hilang,” ucap Martia enteng. Ia memotong pempek dan memakannya. Mendengar ucapan itu, Lia hampir menangis lagi.

“Martia, diam, nggak?” ucap Rani sembari memukul pelan punggung anak berkacamata itu. “Bentar lagi juga hilang kok sakitnya.”

“Sekarang makan dulu yuk. Percaya sama aku, nanti pasti hilang,” Rani mengambil sendok lain, memotong pempek, dan menyuapkan ke Lia. Lia diam dan memakannya dengan tenang.

“Eh Lia, gimana main tadi? Seru, kan?” tanya Martia dengan antusias.

Lia mengangguk dan berkata, “Seru! Tapi sakit!”

“Besok kalo udah bisa, nggak bakal jatuh lagi, kok. Aku juga sering jatuh. Iya, kan Ran?” ucap Martia.

Setelah memakan potongan terakhir pempeknya, Rani pun menjawab, “Iya. Bahkan Martia lebih sering jatuh daripada aku.”

“Tapi lihat sekarang, aku lebih hebat dari Rani!” Dengan setengah berdiri, Martia mengepalkan tangannya di dada dengan bangga.

“Iya deh, iya. Lebih hebat dari aku... Tapi tadi kamu juga jatuh,” kata Lia.

Ucapannya mengundang tawa Ante Inah dan pelanggannya. Ketiga anak itu pun segera beranjak. Mereka berdiri di depan Ante Inah dengan beberapa lembar uang. Mereka membeli pempek secara patungan, meskipun Rani membayar lebih banyak dari kedua temannya. Tapi Rani tidak masalah. Selagi temannya senang, ia juga ikut senang.

“Makasih, Ante!” ucap ketiganya serempak.

“Iya, mainnya hati-hati ya,” balas wanita yang disapa Ante Inah sambil melambaikan tangan.

“Yuk, buat garisnya dulu,” ajak Rani.

Rani mengajari Lia menggarisi tanah berpasir dengan ranting, sedangkan Martia mencari batu yang akan jadi ‘buah’ mereka. Setelah kotak bermain jadi dan batu mereka temukan, ketiganya melakukan hompimpa.

Kali ini, Lia mendapat giliran pertama, disusul Martia, lalu Rani. Lia melempar batu ke kotak pertama. Ia bersiap melompat.

“Satu, dua, tiga, lompat!”


TAMAT

Posting Komentar

0 Komentar