Bait Terakhir di Sungai Deli - Natasya Putri Aulia



Bait Terakhir di Sungai Deli

Oleh: Natasya Putri Aulia


Sore semakin menua di tepian Sungai Deli. Udara yang lembap membawa

aroma tanah basah dan kenangan yang tak mudah dibungkus kata-kata. Di bangku

kayu reyot yang menghadap ke sungai, seorang gadis bernama Asya duduk,

memeluk sebuah buku catatan tua. Buku itu, meskipun lusuh oleh waktu, tetap

hangat oleh kenangan. Warisan dari kakeknya, seorang pemantun tua yang pernah

menjaga suara Melayu di jantung Kota Medan.

Di halaman-halaman buku itu, pantun-pantun tergores dengan tinta yang

hampir pudar. Namun, maknanya tak pernah lapuk.

“Kalau ke hulu membawa sampan,

Jangan lupa membawa tali,

Kalau pantun ditinggal zaman,

Akan hilanglah jati diri.”

Sejak kecil, Asya hidup di tengah bait-bait bersajak. Ia tumbuh dengan

irama Melayu yang tak hanya didendangkan, tapi juga ditanamkan. Di setiap

hajatan, dari sunatan hingga pernikahan, sang kakek selalu membuka acara dengan

pantun. Bait demi bait mengalir seperti doa, menari di antara tepuk tangan dan tawa.

Namun kini, rumah tua tempat pantun dulu bersuara telah senyap. Kakeknya

telah berpulang, dan kota ini tak lagi ramah pada suara lirih tradisi. Medan, yang

dulu bersahaja, kini telah menjelma menjadi rimba beton. Suara pantun tenggelam

di bawah klakson, dan rima sastra tergantikan oleh suara notifikasi.


Asya merasa asing di kota kelahirannya sendiri. Di kampus, teman-

temannya lebih tertarik membahas tren digital dan budaya pop. Saat ia mencoba


membacakan pantun dalam presentasi kelas, hanya gelak tawa yang ia dapatkan.


“Asya masih hidup di zaman batu ya?”

“Pantun tuh cuma buat lucu-lucuan orang tua!”

Asya menunduk. Namun, malam itu, di kamar yang sunyi, hanya diterangi

lampu meja, ia membuka kembali buku warisan kakeknya. Setiap bait menyala

dalam kepalanya, bukan sekadar rima, tapi cermin masa lalu. Bukan sekadar

hiburan, tapi suara yang menyimpan nilai, petuah, dan makna hidup.

“Bunga melati mekar berseri,

Tumbuh rapi di taman sepi,

Pantun ini suara hati,

Warisan jiwa negeri sendiri.”

Mata Asya sembap, tetapi hatinya mulai terisi kembali. Ia sadar, ia tak bisa

memaksa orang untuk mencintai warisan, tapi ia bisa membuat mereka

merasakannya. Mungkin, di era yang serba cepat ini, yang dibutuhkan bukan

sekadar ajakan, tapi jembatan-jembatan antara masa lalu dan masa kini. Maka, ia

memulai sebuah proyek kecil yang kelak akan mengubah segalanya: Pantun Deli

Terakhir.

Ia menggabungkan pantun-pantun kakeknya dengan video kampung yang

ia ambil sendiri: anak-anak bermain di pematang, nenek menampi beras, langit

jingga di atas masjid tua. Semua itu ia padukan dengan narasi lembut dan musik

tradisional. Lalu ia unggah di media sosial dengan nama anonim.

Tak disangka, video itu meledak!

Komentar demi komentar membanjiri akun baru Asya. Banyak yang

tersentuh, bahkan ada yang menitikkan air mata. Beberapa mengaku teringat akan

orang tua dan kampung halaman. Seorang dosen sastra dari universitas ternama

menghubunginya, mengundangnya untuk tampil dalam Pekan Budaya Nusantara.

Hari itu, Asya berdiri di atas panggung sederhana, di hadapan ratusan

pasang mata. Ia membawa buku kakeknya, dan selembar pantun yang ia tulis


sendiri. Ia tidak gugup, karena hari itu bukan tentang dirinya, tapi tentang jejak yang

harus digali dan kata yang harus dirangkai.

“Deli mengalir tak henti-henti,

Membawa kisah dalam alunan sepi,

Pantun bukan hanya bunyi-bunyi,

Tapi jiwa dari akar negeri.”

Ruangan hening, seolah waktu terhenti. Asya memandang satu per satu

wajah yang kini tak lagi mencibir. Di sana, ia melihat mata yang tergetar. Sastra

yang dulu dianggap kuno, kini kembali hidup dalam pertemuan kata dan rasa.

Sejak saat itu, nama Pantun Deli Terakhir tak lagi asing. Asya diundang ke

berbagai acara budaya. Ia membuka kelas kecil di rumah neneknya, mengundang

anak-anak muda untuk belajar menulis dan membacakan pantun.

Awalnya mereka canggung.

“Kak, pantun itu susah.”

“Mana bisa pantun viral di zaman sekarang?”

Asya hanya tersenyum. Ia tahu, mengenalkan warisan budaya bukan soal

mengajarkan, tapi membangkitkan rasa memiliki. Ia percaya, sastra tak hanya hidup

di buku tapi juga di wajah, suara, dan semangat yang mau menggali akar budaya

sendiri.

Suatu malam, ia menggelar acara di pelataran rumah tua di pinggir Sungai

Deli. Lampu temaram, tikar digelar, dan di hadapan para tetamu, anak-anak muda

mulai melantunkan pantun mereka sendiri. Canggung berubah jadi bangga.

“Di Sungai Deli yang berkilau,

Angin berbisik lembut sekali,

Pantun ini datang mengalir,

Mengingatkan kita akan identitas diri.”


Asya tersenyum mendengar suara mereka. Hari itu, ia tahu satu hal:

“Pantun tidak mati, hanya tertidur. Dan tugas generasi sepertinya adalah

membangunkannya kembali.”

Pantun bukan sekadar susunan kata berima. Ia adalah sastra yang lahir dari

jiwa bangsa, merekam kebijaksanaan, menegur dengan halus, menyampaikan cinta

dengan santun. Dalam diamnya, ia berbicara tentang siapa kita, dari mana kita

berasal, dan ke mana kita ingin kembali berpijak.

Bagi Asya, pantun bukan masa lalu. Ia adalah masa depan yang tahu dari

mana ia berasal. Dalam bait yang sederhana, tersimpan cermin budaya dan identitas

bangsa yang tak boleh dibiarkan retak oleh zaman.

Kini, Asya terus berjalan. Di setiap langkah, ia membawa warisan, bukan

sebagai beban, tetapi sebagai cahaya. Karena selama masih ada yang menggali jejak

dan merangkai kata, budaya akan tetap hidup bukan sebagai nostalgia, tetapi

sebagai arah dan akar masa depan.

“Kalau budaya tinggal cerita,

Apa yang akan kita wariskan nanti?

Biar pantun tetap bercerita,

Bahwa kita pernah punya jati diri.”

Posting Komentar

0 Komentar