Sumbu Lilin si Lentera - Nailaturrahmah Insani

 

Sumbu Lilin si Lentera

Kicauan burung robin mengalun indah bersama siluet fajar yang

menelusup di sela-sela struktur kincir angin. Wangi khas spinus

bercampur dengan renyah nya harum roti yang baru selesai diangkat dari

oven, begitu menggugah setiap penciuman di sekitarnya. Telah terdengar suara-suara keluarga di banyak rumah. Namun, salah satu rumah beratap Jerami kering belum juga menunjukkan tanda- tanda akan memulai hari, dari jendela dapat dilihat kegelapan yang belum

juga usai walau siluet matahari telah mengetuk kaca itu dengan sapaan

hangat, sunyi dan senyap. Sampai terdengar dentingan bel pintu dari

seorang wanita berperawakan tinggi dengan rambut pirang dan mata biru

yang menjadi daya Tarik mencoloknya. Pintu dari kayu mahoni itu terbuka perlahan, berderit memecah

kesunyian rumah beratap jerami itu. Rambut panjang hitam dengan kulit

sawo matang dan mata hitam legam terlihat dari pintu yang setengah

terbuka, tanda sang pemilik enggan menerima tamu. Silvia. “Selamat pagi, silvia! Maaf mengganggu waktu pagimu. Aku hanya

ingin mengantarkan sebuah kotak yang kamu tinggalkan di luar kemarin. Aku kira kamu melupakannya” Wanita berambut itu tersenyum dengan

memegang sebuah kotak yang masih disegel. Perempuan muda itu

terdiam sejenak memandang kotak asing tanpa pesan apapun, dia

mengangguk berterima kasih pada tetangga nya lalu membawa kotak itu

masuk ke dalam rumah. Tangan lentik silvia menari di atas permukaan kaca lentera minyak

yang dia dapatkan bersamaan dengan foto serta surat dari dalam kotak

misterius itu. Alisnya saling bertaut berpikir keras, pikirannya menerawang

jauh ke masa lampau. Sebuah lentera minyak. Mata silvia terbelalak

melihat kilasan ingatan lama yang sudah dia kubur begitu dalam semenjak

dirinya menjejaki kakinya ke negeri kincir angin ini.


Mata silvia terpaku menatap sumbu dari lentera minyak itu. Tanpa

sadar, setangkai korek api telah dia nyalakan lalu membakar sumbunya

hingga mengeluarkan nyala kecil api. Kehangatan menguar, membawa

euforia ke dalam hati silvia. “ibu” gumaman terdengar di kesunyian rumah beratap Jerami itu. Lentera minyak milik ibunya, lentera penerang rumah kayu tua yang berdiri

diantara pohon-pohon kokoh. Sumber kehangatan seisi rumah dari

dinginnya malam yang bergelung di luar sana. Setitik air mata luruh ke

bening kaca yang berkilau di bawah lampu gantung. Sudah 10 tahum lebih silvia tidak mendengar berita tentang tanah

kelahirannya ataupun ibunya barang sedikitpun. Perantau di negeri orang, mengadu Nasib, atau lebih tepatnya kabur. Seorang anak Perempuan yang

pergi dari tanah kelahirannya akibat ulah keegoisan dirinya sendiri. Pandangan silvia beralih ke surat dengan bahasa tulisan yang

familiar dan cukup asing baginya. Gulir matanya bergerak mengikuti arah

huruf di kertas itu. Tangan yang semula kokoh menggenggam surat kini

telah goyah, gemetaran seperti membawa sesuatu yang begitu berat. Surat itu tidaklah berat, kertas itu tidaklah berat, namun untaian kata yang

terangkai indah sekaligus menyayat hati sang Perempuan muda itu

menjadi penyebabnya. Tangisan pilu menghancurkan kesunyian rumah beratap Jerami itu. Sesak, sakit, sangat sakit, tolong siapapun. Hatinya berteriak kesakitan, tubuhnya ambruk di bawah rasa sakit dan kenangan yang

menghantamnya dari untaian kata. Surat itu tak lagi berbentuk dalam pelukan tubuh silvia, kertas yang

telah remuk seperti keadaan hatinya sekarang. Sunyi dan sepi ikut

memeluk semua keresahan yang dia rasakan. Menelannya Bersama

semua kenangan yang telah dia kubur dalam.


Gundukan tanah dengan kayu yang terukir sebuah nama menjadi

tempat pertama silvia datangi setelah tiba di tanah kelahirannya, bumi ibu

pertiwi. Dia berlutut di depan gundukan itu dengan pandang kosong dan

pikirannya yang masih asik menerawang jauh. Tangannya terangkat

mengelus lembut permukaan kayu itu. “ibu, aku pulang” suaranya bergetar, tercekat seakan setiap kata

merupakan sebuah jarum yang menusuk mulutnya. Pundaknya bergetar

sembari menunduk dengan buliran air mata jatuh membasahi gundukan

tanah. Setelah itu, hanya kata maaf yang berangkai penyesalan terdengar

bersama semilir angin.

‘nduk, bagaimana kabar mu, nduk? Ibuk harap kamu selalu sehat

nduk, Ibuk disini baik-baik saja, hanya terkadang asam urat ibuk kambuh

karena badan ibuk sudah lapuk termakan usia. Apa lentera itu sudah kamu

lihat, nduk? Lentera yang dahulu kita pakai ketika malam hari, ketika kita

makan. Ketika kamu belajar, ketika kita berbincang-bincang di ruang

tengah. Apa kamu ingat lentera ini adalah hadiah dari ibuk dahulu ketika

kamu menang lomba tari jaipong? Ibuk sangat bahagia dan bangga

melihat mu pulang dengan senyuman sembari memegang piala bersama

teman-teman mu. Nduk, apa kamu masih marah pada ibumu ini? Ibu minta maaf nduk, maaf telah memaksa mu menjadi seorang penari nduk. Ibuk hanya takut

kamu akan tumbuh tanpa membawa jati diri dan terbawa arus nduk. Ibuk

takut. Ibuk takut kamu pergi meninggalkan ibuk dan warisan budaya kita, nduk. Maafkan keegoisan ibuk. Jika kamu ingin pulang, pulanglah nduk. Rumah akan selalu terbuka

untuk mu. Walaupun ibuk tak akan bisa menyambutmu, tapi ibuk akan

selalu mendoakan mu dari sini nduk. Ibuk pamit ya nduk. Sekali lagi, ibuk

minta maaf dan jaga Kesehatan mu’

Posting Komentar

0 Komentar