Sumbu Lilin si Lentera
Kicauan burung robin mengalun indah bersama siluet fajar yangmenelusup di sela-sela struktur kincir angin. Wangi khas spinus
bercampur dengan renyah nya harum roti yang baru selesai diangkat dari
oven, begitu menggugah setiap penciuman di sekitarnya. Telah terdengar suara-suara keluarga di banyak rumah. Namun, salah satu rumah beratap Jerami kering belum juga menunjukkan tanda- tanda akan memulai hari, dari jendela dapat dilihat kegelapan yang belum
juga usai walau siluet matahari telah mengetuk kaca itu dengan sapaan
hangat, sunyi dan senyap. Sampai terdengar dentingan bel pintu dari
seorang wanita berperawakan tinggi dengan rambut pirang dan mata biru
yang menjadi daya Tarik mencoloknya. Pintu dari kayu mahoni itu terbuka perlahan, berderit memecah
kesunyian rumah beratap jerami itu. Rambut panjang hitam dengan kulit
sawo matang dan mata hitam legam terlihat dari pintu yang setengah
terbuka, tanda sang pemilik enggan menerima tamu. Silvia. “Selamat pagi, silvia! Maaf mengganggu waktu pagimu. Aku hanya
ingin mengantarkan sebuah kotak yang kamu tinggalkan di luar kemarin. Aku kira kamu melupakannya” Wanita berambut itu tersenyum dengan
memegang sebuah kotak yang masih disegel. Perempuan muda itu
terdiam sejenak memandang kotak asing tanpa pesan apapun, dia
mengangguk berterima kasih pada tetangga nya lalu membawa kotak itu
masuk ke dalam rumah. Tangan lentik silvia menari di atas permukaan kaca lentera minyak
yang dia dapatkan bersamaan dengan foto serta surat dari dalam kotak
misterius itu. Alisnya saling bertaut berpikir keras, pikirannya menerawang
jauh ke masa lampau. Sebuah lentera minyak. Mata silvia terbelalak
melihat kilasan ingatan lama yang sudah dia kubur begitu dalam semenjak
dirinya menjejaki kakinya ke negeri kincir angin ini.
Mata silvia terpaku menatap sumbu dari lentera minyak itu. Tanpa
sadar, setangkai korek api telah dia nyalakan lalu membakar sumbunya
hingga mengeluarkan nyala kecil api. Kehangatan menguar, membawa
euforia ke dalam hati silvia. “ibu” gumaman terdengar di kesunyian rumah beratap Jerami itu. Lentera minyak milik ibunya, lentera penerang rumah kayu tua yang berdiri
diantara pohon-pohon kokoh. Sumber kehangatan seisi rumah dari
dinginnya malam yang bergelung di luar sana. Setitik air mata luruh ke
bening kaca yang berkilau di bawah lampu gantung. Sudah 10 tahum lebih silvia tidak mendengar berita tentang tanah
kelahirannya ataupun ibunya barang sedikitpun. Perantau di negeri orang, mengadu Nasib, atau lebih tepatnya kabur. Seorang anak Perempuan yang
pergi dari tanah kelahirannya akibat ulah keegoisan dirinya sendiri. Pandangan silvia beralih ke surat dengan bahasa tulisan yang
familiar dan cukup asing baginya. Gulir matanya bergerak mengikuti arah
huruf di kertas itu. Tangan yang semula kokoh menggenggam surat kini
telah goyah, gemetaran seperti membawa sesuatu yang begitu berat. Surat itu tidaklah berat, kertas itu tidaklah berat, namun untaian kata yang
terangkai indah sekaligus menyayat hati sang Perempuan muda itu
menjadi penyebabnya. Tangisan pilu menghancurkan kesunyian rumah beratap Jerami itu. Sesak, sakit, sangat sakit, tolong siapapun. Hatinya berteriak kesakitan, tubuhnya ambruk di bawah rasa sakit dan kenangan yang
menghantamnya dari untaian kata. Surat itu tak lagi berbentuk dalam pelukan tubuh silvia, kertas yang
telah remuk seperti keadaan hatinya sekarang. Sunyi dan sepi ikut
memeluk semua keresahan yang dia rasakan. Menelannya Bersama
semua kenangan yang telah dia kubur dalam.
Gundukan tanah dengan kayu yang terukir sebuah nama menjadi
tempat pertama silvia datangi setelah tiba di tanah kelahirannya, bumi ibu
pertiwi. Dia berlutut di depan gundukan itu dengan pandang kosong dan
pikirannya yang masih asik menerawang jauh. Tangannya terangkat
mengelus lembut permukaan kayu itu. “ibu, aku pulang” suaranya bergetar, tercekat seakan setiap kata
merupakan sebuah jarum yang menusuk mulutnya. Pundaknya bergetar
sembari menunduk dengan buliran air mata jatuh membasahi gundukan
tanah. Setelah itu, hanya kata maaf yang berangkai penyesalan terdengar
bersama semilir angin.
‘nduk, bagaimana kabar mu, nduk? Ibuk harap kamu selalu sehat
nduk, Ibuk disini baik-baik saja, hanya terkadang asam urat ibuk kambuh
karena badan ibuk sudah lapuk termakan usia. Apa lentera itu sudah kamu
lihat, nduk? Lentera yang dahulu kita pakai ketika malam hari, ketika kita
makan. Ketika kamu belajar, ketika kita berbincang-bincang di ruang
tengah. Apa kamu ingat lentera ini adalah hadiah dari ibuk dahulu ketika
kamu menang lomba tari jaipong? Ibuk sangat bahagia dan bangga
melihat mu pulang dengan senyuman sembari memegang piala bersama
teman-teman mu. Nduk, apa kamu masih marah pada ibumu ini? Ibu minta maaf nduk, maaf telah memaksa mu menjadi seorang penari nduk. Ibuk hanya takut
kamu akan tumbuh tanpa membawa jati diri dan terbawa arus nduk. Ibuk
takut. Ibuk takut kamu pergi meninggalkan ibuk dan warisan budaya kita, nduk. Maafkan keegoisan ibuk. Jika kamu ingin pulang, pulanglah nduk. Rumah akan selalu terbuka
untuk mu. Walaupun ibuk tak akan bisa menyambutmu, tapi ibuk akan
selalu mendoakan mu dari sini nduk. Ibuk pamit ya nduk. Sekali lagi, ibuk
minta maaf dan jaga Kesehatan mu’
0 Komentar