Langit kota hari itu seperti halaman kosong, putih, datar, tak ada awan, tapi juga tak
ada cahaya. Udara panas menggantung di sela-sela gedung dan trotoar yang retak. Di
sudut kecil perpustakaan daerah yang jarang dikunjungi, Arka duduk bersandar pada
rak buku, dengan buku catatan di pangkuan dan tatapan yang tak tahu arah.
Sena Arka, dua puluh tahun, mahasiswa sastra yang tak pernah benar-benar merasa
sastrawan. Ia mencintai kata-kata, tapi tak tahu untuk apa ia menuliskannya. Sejak
kecil, ibunya sering membacakan puisi Chairil Anwar atau sajak-sajak Sapardi sebelum
tidur. Tapi setelah ibunya meninggal tiga tahun lalu, dunia terasa lebih sunyi. Bahkan
puisi pun tak bisa mengisi kekosongan itu.
Di rumah kontrakan sempit yang ia tinggali sendiri, dindingnya penuh dengan
tempelan kertas berisi kutipan. Tapi kertas itu mulai menguning, dan semangatnya ikut
memudar.
Hari itu, ia datang ke perpustakaan bukan untuk mencari buku, melainkan untuk
melarikan diri. Tugas kuliah menumpuk, teman-teman sibuk dengan organisasi dan
ambisi masing-masing, dan Arka merasa seperti satu-satunya orang yang masih
mencoba mencari makna di antara halaman-halaman yang tak lagi dibaca.
"Masih suka nulis, Arka?"
Suara itu datang dari seorang pria tua berjanggut putih tipis, berdiri sambil membawa
buku puisi yang sampulnya sudah pudar. Pak Matur, penjaga perpustakaan sekaligus
penyair tua yang dulu pernah terkenal di kota kecil ini. Mereka pernah berbincang
beberapa kali, tapi tak pernah terlalu lama.
Arka tersenyum hambar. “Kadang, Pak. Tapi sekarang, rasanya percuma.”
Pak Matur duduk di sampingnya, menatap rak yang penuh debu. “Kau tahu, puisi itu
seperti sungai yang kering. Kadang tak mengalir, tapi bukan berarti ia mati.” Arka
menoleh, agak bingung.
“Sungai kering menyimpan air di dasar tanah. Begitu juga kata-kata, mereka tak pergi,
hanya menunggu waktunya dipanggil.”
Arka menunduk. Kata-kata itu terasa seperti tamparan halus, pelan, tapi membekas.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arka iseng membuka kotak lama di bawah tempat
tidurnya. Di dalamnya ada buku harian ibunya, satu-satunya peninggalan yang belum
pernah ia baca sejak kepergian sang ibu. Ia membuka halaman pertama, dan tercetak
tulisan tangan halus:
"Untuk Arka, jika suatu hari kau kehilangan arah, temukan aku di antara kata-kata."
Tangannya gemetar. Ia menutup buku itu lagi, tak sanggup melanjutkan malam itu.
Tapi sejak saat itu, hidupnya berubah sedikit, tidak dalam arti besar. Ia masih
mahasiswa pas-pasan, masih sendiri, masih bingung soal masa depan. Tapi ia mulai
menulis lagi.
Bukan untuk tugas. Bukan untuk dosen. Bukan untuk pengakuan. Tapi untuk menyapa
ibunya, dan dirinya sendiri, dalam kata.
---
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, tapi hati Arka mulai terasa tidak biasa. Ia
kembali ke perpustakaan setiap sore, menyusuri rak demi rak yang berdebu, seakan
setiap lembar adalah pintu menuju sesuatu yang terlupa. Ia menulis kembali di buku
kecilnya, bukan puisi yang rumit, hanya potongan kata yang tumbuh dari sepi.
“Aku tidak ingin dikenang,
Aku hanya ingin disimak sekali saja,
Seperti doa ibu yang tak pernah disadari,
Tapi menyelamatkan diam-diam.”
Ia tidak tahu kenapa menulis itu membuat dadanya lebih lapang. Tapi satu hal yang ia
sadari, menulis bukan tentang menjelaskan, tapi tentang menyentuh.
Suatu siang, dosen pengampu mata kuliah “Sastra dan Budaya Nusantara” membuka
kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajukan karya yang menggali jejak budaya
sebagai tugas akhir. Hampir semua temannya membuat proyek ambisius, film
dokumenter, riset naskah kuno, wawancara dengan tokoh adat. Namun, Arka hanya
mengumpulkan selembar proposal sederhana: "Merekam Ibu dalam Bahasa: Puisi
sebagai Cermin Jejak Kecil yang Terlupakan."
Ia tak berharap banyak. Tapi seminggu kemudian, dosennya memanggil secara khusus.
“Puisi itu bukan hanya ekspresi, Arka. Dalam puisi ibumu yang kau temukan, ada jejak
keseharian perempuan Nusantara. Ini penting. Tapi pertanyaannya, apa kau siap
membawa kata-kata itu ke hadapan dunia yang sering kali tidak peduli?”
Pertanyaan itu menghantam keras. Arka pulang malam itu dengan berat hati. Dunia
modern cepat, berisik, dan sering kali sinis pada hal yang dianggap “terlalu
melankolis.” Siapa yang peduli pada puisi harian seorang ibu dari kota kecil?
Tapi malam itu, ia membuka halaman tengah buku ibunya. Di sana tertulis:
"Kepada anakku,
Jika dunia menertawakan puisimu,
Jangan biarkan mereka memadamkannya.
Karena tidak semua orang bisa mengingat
Tapi kau bisa mengikat ingatan itu dalam kata."
Ia menutup buku itu dengan air mata mengalir diam-diam. Bukan karena sedih, tapi
karena merasa seakan ibunya masih bicara dari jauh, dari dalam huruf-huruf yang ia
tinggalkan.
Beberapa hari kemudian, Arka tampil membacakan puisinya dalam kelas presentasi
akhir. Suaranya pelan, agak bergetar, tapi jelas. Ia tidak menjelaskan teknis. Ia hanya
membaca.
“Aku mendengar suara dari dapur
Bukan gemerincing piring, tapi baris-baris larik
Tentang cinta yang tak bersuara
Tentang perempuan yang menulis tanpa tahu
Bahwa kelak, tulisannya akan jadi pelita
Bagi seorang anak yang mencari ibunya
Dalam kata.”
Ruangan hening. Tak ada tepuk tangan meriah, tapi beberapa mata berkaca. Bahkan
dosennya hanya mengangguk dan berkata pelan, “Terima kasih, Arka.”
Setelah presentasi itu, tidak ada perubahan besar. Ia tidak viral. Tidak tiba-tiba ditawari
beasiswa. Ia masih naik motor tuanya yang mogok setiap tiga hari sekali. Tapi ada satu
perubahan kecil yang berarti: ia mulai diundang membaca puisi di sekolah-sekolah
sekitar. Bukan karena terkenal, tapi karena salah satu guru membaca blog kecilnya dan
tersentuh.
---
Waktu berjalan pelan, seperti musim yang tak tergesa. Arka tak berubah jadi siapa-
siapa, tapi perlahan ia menjadi seseorang bagi dirinya sendiri, dan bagi segelintir orang
yang datang diam-diam setelah pembacaan puisinya.
Suatu hari, ia diundang ke sebuah SMA negeri di pinggiran kota, untuk mengisi kelas
menulis kreatif. Ia tak punya slide presentasi, tak membawa gelar panjang. Ia hanya
membawa buku kecil berisi catatan ibunya dan puisinya sendiri.
Di depan puluhan siswa yang lebih akrab dengan tren dan gawai, ia mulai bicara pelan,
"Aku datang bukan untuk mengajarkan menulis. Tapi aku ingin kalian tahu, menulis
bisa menyelamatkan sesuatu. Kadang, yang kita selamatkan bukan dunia, tapi diri
sendiri."
Ia membaca puisi singkat, lalu bertanya, “Siapa yang pernah kehilangan sesuatu?”
beberapa tangan terangkat. Seorang gadis berkata kehilangan neneknya yang suka
membacakan dongeng. Seorang siswa lain pelan berkata, “Saya kehilangan ayah, tapi
belum pernah bisa cerita ke siapa-siapa.”
Arka mendekat, lalu berkata, “Kalau begitu, biarkan kertas yang mendengarkan.
Kadang, tulisan adalah rumah ketika dunia terlalu berisik.”
Sejak itu, ia rutin mengisi kelas kecil. Tak ada bayaran, hanya sebungkus nasi, atau
sekadar ucapan terima kasih. Tapi di setiap kelas, ia merasa seperti ibunya hadir
Kembali dalam cerita yang dibagikan, dalam tangis yang tertahan, dalam kata yang tak
pernah pergi.
Malam itu, di kamar kontrakannya yang lampunya remang dan kipasnya berderit, Arka
membuka laptopnya. Ia mengetik pelan, "Sastra tak akan mengubah nasibku secara
tiba-tiba. Tapi ia memberiku bahasa untuk mencintai hidup yang sederhana, untuk
mengingat yang nyaris dilupakan, dan untuk bicara dengan dunia meski dengan suara
pelan."
Ia tersenyum. Buku kecil ibunya terletak di sebelahnya, terbuka di halaman terakhir,
kosong.
Ia menuliskan satu baris, dengan tangan sendiri:
"Ibu, kata-katamu belum selesai. Aku akan melanjutkannya dengan caraku sendiri."
TAMAT
0 Komentar