Cahya Jauhara Dinata - Jejak Kata di Tanah Riau

MAN Insan Cendekia Siak

Cahya Jauhara Dinata

Jejak Kata di Tanah Riau


Angin sore berhembus cukup kencang, menyapu daun-daun kering yang

berguguran di halaman belakang rumah. Di bawah pohon mangga yang

diperkirakan telah tumbuh sejak belasan tahun lalu, Rendra duduk di atas kursi

panjang yang tampak mulai rapuh dimakan usia.

Sudah cukup lama Rendra menatap layar laptop yang sudah menyala di

hadapannya. Ia tampak berpikir keras tentang apa yang hendak ia ketik. Dengan

jenuh, ia bangkit dari duduknya, berjalan mengelilingi pohon mangga, sesekali

menendangi dedaunan kering yang terdekat dari kakinya.

Setengah jam berlalu, ia masih saja berputar-putar di sekitar pohon, hingga

akhirnya sang nenek yang dari tadi mengamati gerak-geriknya dari kejauhan,

menghampiri. Nek Minah, begitulah ia dipanggil. Seorang wanita tua yang konon

usianya sekitar 71 tahun, “Sedang apa kamu, Ndra” tanyanya sembari duduk di

dipan. Rendra tersenyum lemah, lalu duduk di samping.

“Nek, aku lagi mengikuti perlombaan menulis cerpen. Temanya tentang

warisan budaya daerah, tapi aku bingung... Budaya kita luas tapi aku tidak tau

banyak tentang budaya itu” terang Rendra bernada curhat. Nek Minah tampak

tersenyum kecil, sambil menutup matanya seakan tengah menerawang jauh

lembaran masa lalu yang lama terkubur dalam ingatannya. “Budaya itu memang

banyak sekali, Ndra. Kadang tersembunyi, kadang juga tak kasat mata. Bisa dari

cara kita berbicara, makanan yang kita buat, atau juga pantun yang sering nenek

ucapkan dulu,” kata Nek Minah.

Rendra menoleh pada neneknya, sembari bertanya, “Pantun? Nenek bisa

pantun,” tanya Rendra penasaran. Nek Minah tertawa pelan, “Kamu ini

meremehkan nenek, ya? Kalau cuma berpantun nenek masih bisa. Tapi di kampung


kita ini, ada seseorang yang jauh lebih piawai, bahkan sampai sering jadi juri acara

budaya,” Ucap nenek, membuat mata Rendra berbinar makin penasaran, “Siapa,

Nek?”.

***

Keesokan harinya, Rendra pergi ke sebuah rumah tua yang selama ini hanya ia

lewati kala perjalanan pergi dan pulang sekolah. Rumah itu terlihat sederhana,

berdinding papan dan beratapkan seng yang sebagian besar sudah berkarat, dengan cat

yang telah mengelupas. Meski sering melewati rumah itu, ia tak pernah siapa yang

tinggal di dalamnya. Namun, setelah percakapan dengan Nek Minah kemarin sore,

rumah tua itu sepertinya bakal menjadi gerbang menuju dunia baru baginya.

“Assalamualaikum,” sapa Rendra sambil mengetuk pelan pintu kayu. Tidak ada

jawaban.

“Assalamualaikum,” ulangnya dengan intonasi lebih lantang. Tetap masih

sunyi, belum ada jawaban .

Pada salam yang ketiga, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah.

Seorang lelaki tua membuka pintu perlahan. Rambutnya yang sudah memutih

seluruhnya, wajahnya penuh keriput, namun sorot matanya tampak tajam dan

adanya kejelasan suara saat menjawab salam.

“Waalaikumussalam. Siapo namo kamu, Nak?” tanyanya dengan ramah.

“Saya Rendra, Kek. Cucu dari Nek Minah, yang tinggal di ujung jalan Seberang,”

jawab Rendra sambil menjabat tangan dan mencium punggung tangannya dengan

hormat. “Ooo...anak sih Udin lah ni, ye?” gumam sang datuk sembari menerka dan

menganggukkan kepala pelan seolah sedang berusaha mengingat sesuatu. Rendra

pun mengangguk cepat. “Iya, Datuk. Jadi begini, kehadiran saya kemari karena

saya sedang mengikuti lomba menulis cerita pendek. Temanya tentang warisan

budaya daerah. Kemarin, nenek bercerita, jika Datuk sering membuat dan

menyampaikan pantun dan hingga kini Datuk juga sering menjadi juri untuk acara

budaya. Apakah benar begitu?”


Sang datuk tersenyum tipis disertai tawa kecil. Lalu mempersilahkan

Rendra masuk ke dalam rumahnya dan duduk berhadapan di bangku sederhana

yang ada di ruang tamu. “Datuk ini biasa orang panggil Datuk Ismail. Kalau pasal

pantun, boleh lah sikit-sikit. Apa yang anak nak tau, insyaAllah Datuk bantu.”

Rendra membuka buku catatannya dan mulai mencatat dengan penuh semangat. Ini

pertama kalinya ia merasa benar-benar antusias sejak mengikuti lomba.

“Sudah lama tak ada anak muda yang singgah kesini, yang minat dengan

pantun,” kata Datuk sambil bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Tak

lama, ia kembali membawa dua buku lusuh dan sebuah kotak kayu kecil “Apa ini,

Tuk?” tanyanya sambil melihat datuk membuka kotak itu. “Ini catatan lama Datuk,

isinya pantun-pantun dan dokumentasi acara budaya. Dulu, setiap acara dari

sunatan, kenduri kahwin, sampai pertemuan kampung, selalu ada sesi berbalas


pantun. Tapi sekarang? Bunyi pantun tu, macam dah makin tenggelam...jarang-

jarang terdengar lagi” ucap Datuk sembari menyerahkan salah satu buku kepada


Rendra. Lalu Rendra pun membuka buku itu dengan hati-hati, lalu membaca:

Bunga mawar di atas papan,

Harum semerbak di pagi hari.

Kalau adat sudah dilupakan,

Akar budaya pun bisa mati.


Sekilas sederhana, tapi begitu dalam maknanya. Rendra pun menelan ludah,

seperti ada sesuatu yang menamparnya. “Boleh saya pinjam buku ini, Tuk?” tanyanya

dengan suara lirih. “Boleh, tapi ingat jangan hanya sekedar dibaca. Rasakan, pahami,

dan pelajari. Pantun itu ibaratkan tanah. Kalau dirawat, ia akan subur. Sedangkan

jikalau ditinggal, ia menjadi gersang.” Rendra mengangguk pertanda mengerti.

Hari-hari berikutnya, Rendra rutin dating ke rumah Datuk Ismail. Ia tidak hanya

mencatat pantun, tapi mulai belajar membuatnya sendiri. Awalnya canggung. Baris

pertama sudah ada, tapi baris kedua terasa kaku. Datuk Ismail membimbingnya

perlahan. “Andai anak berniat menulis tentang pohon, elok direnung dahulu apa rasa


yang ingin disampaikan, apa pesan yang mahu dititipkan lewat bayang pohon itu” ujar

Datuk.

Misalnya, saat Rendra menulis:

Daun kelapa melambai-lambai,

Datuk Ismail membimbingnya menyusun kelanjutannya:

Tersapu angin di pagi hari.

Jangan malu belajar budaya,

Itulah akar jati diri.

Setiap pantun dibahas bersama, dikoreksi, dan dimaknai. Rendra mulai paham

bahwa pantun bukan sekadar rima, tapi mengandung sebuah nasihat, nilai, bahkan

kritik social yang halus. Datuk Ismail juga memberinya tantangan membuat

pantun sebelum pulang. Suatu hari, dengan percaya diri Rendra menyuarakan:

Pohon duku bercabang dua,

Ditanam di kebun Pak Haji.

Budaya kita boleh berbeda,

Namun NKRI harga mati.

Datuk Ismail tersenyum puas, “Kamu sudah mulai menemukan suaranya.”

***

Malam sudahlah datang menjelang, Rendra pun kembali duduk di bawah pohon

mangga. Laptopnya terbuka, menyala cerah, jari jemarinya terus menari di atas

keyboard. Tapi kini, ia menulis tentang perbincangan dengan Nek Minah, tentang

sosok Datuk Ismail, rumah tua yang penuh cerita, buku-buku pantun, dan warisan

budaya yang nyaris dilupakan. Ia menulis tentang kesadaran baru:bahwa pantun adalah

bahasa yang merekam jejak identitas bangsa.

Senyum tipis terukir di wajah Rendra, saat ia sudah berhasil menyelesaikan

cerpennya dan menekan tombol “simpan”. Ia juga merasa bahwa dirinya bukan pelajar


biasa, tapi bagian dari cerita panjang tentang bahasa dan budaya yang diwariskan

kepadanya. Di balik jendela, Nek Minah mengintip cucunya sambil tersenyum bangga,

“Nenek yakin, kamu akan tumbuh menjadi penulis hebat dan akan selalu menjaga

warisan budaya.” gumamnya.

Kini, setiap hari Rendra mampu menuliskan di buku catatannya. Halaman demi

halaman dipenuhi tinta yang bukan sekadar tinta biasa, tapi tinta warisan yang

menorehkan jejak budaya sekaligus jati diri. Dari keraguan, kini tumbuh keyakinan. Ia

juga berhasil memenangkan lomba menulis cerpen, tapi bukan hanya sekedar

memenangkan sebuah perlombaan. Tapi ia juga menemukan sesuatu yang lebih

mendalam: kesadaran untuk menjaga dan melestarikan budaya, serta pemahaman akan

siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Kemenangannya juga bukan semata karena

cerita yang indah, tetapi karena ia menulis dengan hati, mewakili suara tradisi yang

nyaris terlupakan, dan menyalakan kembali semangat anak muda untuk mencintai

budayanya sendiri.

Elok betul si bunga kenanga,

Tumbuh rimbun di ujung laman.

Kalau budaya dijaga bersama,

Takkan hilang ditelan zaman.

Posting Komentar

0 Komentar