Goresan Tinta Di Atas Kain Ibu - Nuraisha Azzahra

 


Nuraisha Azzahra_Goresan Tinta di Atas Kain Ibu_ SMAS Plus Taruna Andalan


Goresan Tinta Di Atas Kain Ibu


Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Marapi, Sumatra Barat, hiduplah

seorang gadis remaja bernama Raras. Ia duduk di bangku kelas dua SMA dan

bercita-cita menjadi penulis. Bukan penulis biasa, melainkan penulis yang

mengangkat kisah-kisah budaya dan sejarah leluhur yang hampir dilupakan

zaman.

Setiap sore, Raras duduk di bawah pohon jambu yang rindang, membawa

buku catatan tua peninggalan kakeknya. Buku itu berisi cerita rakyat, mantra

kuno, lagu-lagu daerah, bahkan catatan tangan tentang cara menenun songket dan

membuat rendang secara tradisional. Baginya, buku itu adalah harta karun.


Namun, tidak semua orang di desanya memedulikan hal-hal seperti itu. Anak-

anak sebayanya lebih tertarik pada gawai dan media sosial. Mereka menganggap


kisah masa lalu itu membosankan dan tidak penting. Tapi Raras berbeda.

“Ibu, apakah benar kita dulu punya upacara Tabuik yang hanya dilakukan

setahun sekali?” tanya Raras suatu sore.

Ibunya mengangguk sambil melipat kain songket. “Benar. Dulu, nenekmu

bahkan pernah menjadi penari utama dalam perayaan itu. Tapi sekarang sudah

jarang dilakukan.”

Raras menunduk, menatap halaman kosong di buku catatannya. Ia merasa

seperti sedang menyaksikan helai demi helai identitas bangsanya lepas tertiup

angin zaman.

Suatu hari, sekolah Raras mengadakan lomba menulis cerpen tingkat

provinsi. Temanya: “Ekspresi Identitas Budaya Bangsamu.” Raras tahu ini

kesempatan emas. Ia akan menuliskan kisah tentang budaya-budaya yang telah

lama hidup dalam diam di desanya.

Selama seminggu penuh, Raras mewawancarai para tetua, mendengarkan

kisah mereka tentang randai, tentang cerita Malin Kundang yang bukan sekadar

dongeng.


tentang simbol-simbol yang tersimpan dalam ukiran rumah gadang. Ia

mencatat semuanya. Bahkan ia menggambar kembali pola-pola pada kain batik

dan songket warisan keluarganya.

Cerpen yang ia tulis diberi judul “Goresan Tinta di Atas Kain Ibu.” Ceritanya

tentang seorang gadis yang menemukan kembali jati dirinya melalui warisan

budaya yang tergambar pada kain tenun ibunya. Setiap motif dalam kain itu

menjadi pintu menuju satu cerita: tentang perjuangan, cinta, kehilangan, dan

harapan. Ia menggabungkan fakta dan fiksi, menjahitnya dengan bahasa yang

indah.

Ketika hasil lomba diumumkan, cerpen Raras meraih juara pertama. Tapi

lebih dari itu, cerpennya dimuat di majalah sastra nasional dan dibacakan di

festival budaya di Jakarta.

Di festival itu, Raras mengenakan baju kurung Minang dengan selendang

songket yang diwarisi dari ibunya. Di panggung, ia membaca cerpennya dengan

suara lantang. Di hadapan ratusan orang dari berbagai daerah di Indonesia, Raras

menuliskan kembali jejak budaya yang nyaris tenggelam.

Setelah membacakan cerpennya, banyak orang datang menghampirinya.

Seorang perempuan dari Toraja memberikan pelukan hangat sambil berkata,

“Cerita kamu mengingatkan saya pada tenun mamasa yang hampir punah.”

Ada pula seorang bapak dari Kalimantan yang bercerita tentang tarian Hudoq

yang juga mulai dilupakan.

Saat itu, Raras sadar, bahwa goresan tinta bukan sekadar bentuk ekspresi, tapi

juga perlawanan terhadap lupa. Sastra bisa menjadi jembatan antargenerasi,

penghubung antara masa lalu dan masa kini.

Kepulangannya ke desa disambut hangat. Tapi ada yang berbeda. Anak-anak

muda mulai penasaran. Mereka bertanya tentang cerita rakyat, meminta diajarkan

menulis, bahkan meminta izin membaca buku catatan tua kakeknya.

Raras lalu membentuk sebuah komunitas bernama “Tinta Leluhur.”

Anggotanya adalah remaja-remaja desa yang ingin belajar menulis sambil

menggali budaya lokal. Mereka mulai menulis ulang cerita-cerita rakyat, membuat


pertunjukan randai mini, dan mendokumentasikan kehidupan para penenun dan

pengrajin.

Setiap minggu, mereka mempublikasikan karya mereka di media sosial

dengan narasi yang menarik dan visual yang memikat. Sedikit demi sedikit,

budaya yang sempat redup mulai kembali bersinar.

Tahun demi tahun berlalu. Raras tumbuh menjadi penulis dan budayawan

muda yang dikenal luas. Ia diundang ke berbagai tempat, mengisi seminar, dan

menjadi narasumber di forum-forum sastra. Namun, satu hal tak pernah berubah:

ia masih selalu menulis dengan pena tua milik kakeknya, dan setiap karya yang ia

hasilkan, ia dedikasikan untuk tanah kelahirannya.

Baginya, setiap kata yang ditulis adalah bentuk penghormatan. Setiap cerita

yang dihidupkan kembali adalah cara menjaga warisan bangsa. Karena ia percaya,

bahwa di tengah gempuran modernitas, identitas bangsa hanya bisa bertahan jika

dijaga dengan cinta—dan dituangkan dalam goresan tinta sastra.

Posting Komentar

0 Komentar