Nurul Fadhilah_MAN 3 Kota Pekanbaru
Tajoda
Malam itu gemintang bersinar lebih terang daripada malam sebelumnya,
menyambut hari suci umat Islam. Malam itu, seperti malam-malam takbiran tahun
sebelumnya, langit desa Buluh Kapas kembali jadi lautan cahaya. Namun kali ini,
bukan hanya langit yang berbinar, melainkan juga kenangan dan luka-luka yang
selama ini disimpan Aulia dalam diam.
Sementara itu, Di sudut desa rumah berdinding keemasan berdiri megah
tinggi menawan, Gadis lampai memandang dengan penuh sukacita dari balik kaca
jendela rumah berdinding keemasan, matanya berbinar-binar mengalahkan
kilauan bintang yang bersinar di langit. Ia sangat senang melihat banyak tajoda
yang tampak memukau menghiasi indahnya malam. Dari lantai dua, cahaya tajoda
dari setiap rumah bersinar terang menerangi jalanan sepanjang desa yang saat itu
belum memiliki akses penerangan sebaik kini.
Tajoda, begitu masyarakat Desa Buluh Kapas menyebutnya. Pelita
istimewa yang hanya menyala ketika malam takbiran. Bilamana malam itu tiba,
desa kecil itu seakan-akan berpindah ke langit, sejajar dengan gugusan bintang.
Cahaya-cahaya itu, memanjakan mata setiap insan yang melihatnya tak ubah
seperti kunang-kunang menghiasi malam.
Aulia, nama gadis berparas cantik itu, menempelkan wajahnya ke kaca
jendela. Binar matanya memantulkan sorot dari ribuan nyala tajoda yang
membentuk naga, kaligrafi dan masjid berkubah menjulang tinggi di tengah
lapangan desa. Itu semua karya tangan para pemuda kampung, yang sejak awal
bulan Ramadan sudah sibuk membangun panggung cahaya untuk malam istimewa
ini.
Di balik cahaya tajoda, angan Aulia tiba-tiba melangkah ke masa lalu
mengingat di jendela ini ibunya bercerita tentang filosofi tajoda yang bukan hanya
sebatas penerang jalan. Melainkan lebih daripada itu, tajoda juga simbol harapan
serta petunjuk bagi hati yang rindu akan rumah, beserta dengan kehangatan yang
terhimpun padanya. Katanya, dahulu lampu-lampu itu dinyalakan untuk
menunjukkan arah bagi para musafir yang pulang ke desa saat malam-malam
akhir bulan Ramadan.
Tanpa terasa bulir-bulir bening mengalir membasahi pipi Aulia, ia begitu
rindu akan kehangatan bidadari tak bersayap yang ia sebut sebagai Ibu, yang
tahun ini sudah genap empat tahun ia merayakan hari kemenangan tanpa seorang
Ibu. Tak dapat diceritakan bagaimana pedihnya kerinduan yang dirasakan Aulia
menusuk tulang-belulang di sekujur tubuhnya.
“Bu, Aulia sudah di sini, pulang ke rumah kita.” Kata Aulia terisak pelan,
berharap ada yang menjawabnya, tetapi mustahil. Ia hanya seorang seorang diri.
Pandangannya singgah pada foto keluarga kecil yang tergantung di dinding kamar.
Ia melihat senyum sosok lelaki yang juga dirindukannya, Ayah begitu Aulia
memanggilnya. Pikirannya makin berantakan, mengenangkan nasibnya yang
terasa begitu pilu.
“Apakah Ayah tak lagi mengenangku sebagai putrinya, apakah ia tak tau
keberadaanku di sini, mengapa ayah lama tak kembali kesini?” Tanyanya dalam
hati. Pikirannya berkecamuk dalam lingkaran tanya, pertanyaan itu mengitari
seluruh isi kepala Aulia, layaknya bumi yang berotasi.
Semakin malam, semakin berisik suara itu menggema di pikiran Aulia.
Aulia memutuskan untuk tidur, mengistirahatkan dirinya dari mendengar suara-
suara bising yang berperang di kepalanya.
Waktu menjelang subuh, Aulia mulai menyiapkan rumah dan dirinya
untuk hari raya. Tak dipungkiri, ia harus menerima kesendiriannya yang cukup
memilukan. Tetapi, lagi-lagi tak ada pilihan meskipun berharap ada keajaiban,
tetapi fakta tak bisa diingkari.
Ketika Aulia mencuci perkakas dapur, air dari kran wastafel terhenti.
Entah apa gerangan masalah yang membuat airnya tiba-tiba terhenti begitu. Hari
masih kelam, Aulia ke depan rumah, tempat pengaturan air, mencoba
memperbaikinya.
Dari kejauhan, derap langkah kaki terdengar, langkah yang tak terlalu
berat, tapi juga tak ringan. Seseorang tengah berjalan menyusuri jalan tanah desa.
Ransel besar di punggung, topi lusuh di kepalanya. Langkahnya mengarah ke
rumah Aulia. Aulia melihat sosok itu yang berjalan dalam terangnya cahaya
Tajoda.
Seketika suaranya tercekat saat mengucapkan satu kata yang selama ini
hanya terucap dalam doa “Ayah”. Laki-laki itu menatap Aulia dalam diam,
kemudian perlahan melepaskan topinya, menurunkan ransel dari bahu, dan
membuka kedua tangannya. Tubuh Aulia terbenam dalam pelukan yang dulu
meninggalkannya sejak Ibunya tiada.
“Maaf, Ayah lama sekali mengabaikanmu ya Nak?” Suara itu berat namun hangat,
hangat teringat seperti suara Ibunya dulu saat membangunkannya sahur atau saat
menyuapkan kolak pisang ke mulutnya yang malas terbuka. Air mata Aulia tak
henti mengalir, namun kali ini bukan karena sedih melainkan karena kelegaan
yang perlahan menyapu bersih sesal yang selama ini bersemayam di sudut
hatinya. Ada cinta yang mengalir dari mata, dari detak jantung, dari desah napas
yang akhirnya kembali berdampingan. Mereka berdiri lama dalam pelukan yang
hening, hanya diiringi suara takbir yang menggema dari masjid di ujung desa.
Setelah beberapa saat, Aulia menggandeng tangan Sang Ayah masuk ke
dalam rumah. Ia membuatkan teh hangat, dan mereka duduk berdua di ruang tamu
yang masih menyimpan aroma kenangan masa kecil.
“Ayah lihat tadi dari ujung jalan saat kamu di jendela. Wajahmu seperti wajah
Ibumu waktu muda” Ucap sang Ayah, matanya memandang ke arah foto Ibunya.
Aulia hanya tersenyum, mengusap pipinya yang masih basah. “Ibu selalu
cerita, katanya kalau malam takbiran, tajoda itu jadi pelita yang membimbing
orang-orang pulang. Mungkin malam ini tajoda juga yang menuntun Ayah pulang
ke rumah.”
Sang Ayah mengangguk pelan, mengangkat cangkir teh ke bibirnya.
“Dulu, Ibu yang paling semangat membuat tajoda. Waktu kamu masih kecil, Ibu
rela tidak tidur semalaman demi menyusun batang bambu, mengecat kaleng,
mengisi minyak. Semua agar kalian bisa melihat desa kita bersinar saat malam
takbiran.”
Aulia tersenyum pilu. “Aku ingat, Ibu selalu bilang, malam takbiran
adalah malam yang kononnya langit paling dekat dengan bumi dan doa-doa yang
terucap akan segera dikabulkan”
Pagi harinya, gema takbir masih terdengar lirih dari surau. Desa Buluh
Kapas mulai ramai oleh anak-anak yang mengenakan baju baru, membawa
kantong plastik kecil berisi ketupat dan opor yang hendak dibagi ke tetangga. Bau
masakan lebaran tercium dari setiap sudut, mengalir bersama angin pagi yang
lembut.
Aulia mengenakan kebaya putih sederhana milik ibunya. Ia berdiri di
depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Di sampingnya, sang ayah menatap
sebuah foto tua, potret keluarga mereka saat Aulia berumur lima tahun, ibunya
masih muda, tersenyum lebar dengan mata yang penuh cinta.
“Ayah, mari kita ke makam Ibu!” Ujar Aulia lembut. Ayah Aulia mengangguk.
Mereka berjalan bersama, menyusuri jalan desa yang masih dihiasi sisa-
sisa cahaya tajoda yang belum padam. Di makam, Aulia meletakkan seikat bunga
sedap malam, lalu duduk di samping pusara. Doa-doa mengalir, dan untuk
pertama kalinya dalam empat tahun, ia merasa damai.
“Ibu, Aulia sudah pulang. Ayah juga sudah di rumah. Tajoda semalam sangat
indah, Bu. Seperti yang Ibu ceritakan dulu”
Beberapa hari setelah lebaran, desa Buluh Kapas kembali sunyi. Para
perantau perlahan-lahan kembali ke kota. Tajoda mulai disimpan kembali,
menunggu Ramadan tahun depan.
Namun, ada yang berubah dari rumah berdinding keemasan itu. Di balkon
lantai dua, bunga-bunga kembali bermekaran. Tirai jendela dibuka setiap pagi.
dari dapur, bau kue basah dan gorengan kembali menguar, seperti masa-masa
sebelum Ibu tiada.
Aulia memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa. Ia belum siap kembali
ke hiruk-pikuk kota yang selama ini justru membuatnya merasa jauh dari diri
sendiri. Setiap pagi, ia menyapu halaman. Setiap sore, ia duduk di bangku kayu
depan di rumah, menuliskan kembali kenangan-kenangan indah masa kecilnya. Ia
bahkan mulai mengajar anak-anak desa membaca dan menulis di surau lama yang
sudah lama tak terpakai.
Sang Ayah juga perlahan mulai menata kembali hidupnya. Ia memperbaiki
pagar rumah yang berkarat, merapikan kebun di belakang rumah, dan sesekali ikut
membantu para tetangga membuat kerajinan tangan dari bambu.
Suatu malam, beberapa minggu setelah lebaran, Aulia kembali duduk di
jendela yang sama. Langit masih dipenuhi bintang, meski tak sebanyak malam
takbiran. Tapi bagi Aulia, hatinya kini telah lebih terang dari malam-malam
manapun.
Ia menulis di bukunya “Aku belajar, bahwa rumah bukan sekadar
bangunan. Rumah adalah tempat harapan dinyalakan, seperti tajoda-tajoda kecil
yang memandu langkah kita pulang. Aku belajar, bahwa kehilangan bukan akhir
dari cerita, melainkan awal dari perjalanan untuk menemukan kembali apa yang
benar-benar penting. Dan malam itu, saat Tajoda menyala di seluruh desa, aku
menemukan kembali cintaku pada rumah, pada Ibu, pada Ayah, dan pada diriku
sendiri.”

0 Komentar