“DI BALIK PUISI AYAH” - Jania Ningsih




 “DI BALIK PUISI AYAH”


Sudah seminggu sejak kepergian Ayah, namun bayangannya masih menghiasi

setiap sudut rumah. Tawa Ayah yang selalu tulus, seolah masih bergema pelan diantara

dinding rumah. Ayah wafat mendadak karena serangan jantung. Malam ini aku berada

di kamarnya, diam termangu dalam kesendirian, bertemankan suara hujan yang

mengalir deras membasahi atap rumah tua peninggalannya, suaranya bertalu-talu,

bagai irama duka yang tidak pernah selesai. Sesekali kilatan cahaya putih turut

menyambar membentuk panorama merah memecah kegelapan malam. Pikiranku

berkelana mencerna kejadian dalam hidupku. Tanpa aku sadari, setitik air mata

mengalir, mengulang kembali kejadian enam belas tahun silam. Di usia enam tahun,

aku harus kehilangan Ibu, saat dia dibawa oleh orang-orang tidak dikenal.

“Sudah, Mas! aku mohon...hentikan semua ini. Aku tidak ingin keluarga kita

terancam dan orang-orang biadab itu datang menyeret kita, seperti yang mereka

lakukan ke Pak Darman minggu lalu!”

“Aku tidak bisa Tini. Diam itu artinya kita setuju. Kalau kita semua takut, kapan

ketidakadilan ini dapat diselesaikan?”

“Tapi bukan begini caranya! kamu menulis puisi, terang-terangan mengkritik

pemerintah, apa kamu pikir mereka bakal diam? Mas...ini bukan sekedar tulisan. Ini

semua bisa bikin nyawa kamu dan nyawa keluarga kita melayang!” air mata Ibu jatuh,

nadanya sedikit melemah.

Ayah terdiam, tak satu katapun terucap dari relung dadanya. Ia hanya menatap

lekat bola mata cokelat milik Ibu. Teduh, tetapi sendu. Seolah Ayah berusaha

meyakinkan tidak ada yang perlu ditakutkan selama kaki tetap berpijak di jalan yang

benar tuhan pasti meyelamatkan. Aku sadar tidaklah mudah menjadi dirinya apalagi

meninggalkan puisi yang sudah menjadi separuh hidupnya. Baginya karya sastra puisi

adalah pembangkit jiwa, membangun emosi. serta menjadi senjata saat suara tak dapat

lagi diserukan.

Sebagai anak, aku sering sekali melihat Ayah menulis sajak puisi. Ia begitu

terobesesi dengan karya sastra tersebut. Ayah menulis berbagai jenis puisi dengan tema

berbeda mulai dari cinta, kehidupan, rindu, kehilangan, alam, perjuangan dan banyak

lagi. Ia sering sekali menghabiskan waktu dengan tulisan itu bersama pena

kesayangannya.

Malam di saat kejadian berlangsung begitu mencekam. Aku melihat dari sudut

ruang makan, memandangi mereka berdua saling membatah keras. Namun, sebelum

denting harap sempat menyesap, sebuah ketukan menggema dari luar rumah. Ayah dan

Ibu tersentak. Mereka saling memandang. Secara tiba-tiba, dua orang dengan badan

kekar serta menggunakan penutup wajah hitam, masuk dengan memburu, lalu langsung

menyeret Ibu sekuat tenaga. Aku berlari memeluk kakinya, berusaha menahan dengan

badan mungilku. Ayah terus melawan, walau akhirnya dia kalah karena di hajar habis-

habisan. Sementara itu, aku di lempar ke sudut dinding dengan tubuh terhuyung.


“Raka!” pekik Ibu keras.

Aku menangis tersedu setelah melihat ayah tidak sadarkan diri. “Ibu,” Lirihku

pelan sambil menatap mata cokelat indahnya yang seakrang berubah menjadi

ketakutan.

“Nak, dengarkan Ibu. Tumbuh jadi anak yang baik, ya. Maafkan kalau Ibu

belum bisa memberikan yang terbaik untuk kamu. Ibu janji, meskipun nanti Ibu tidak

akan ada di samping Raka, ibu akan selalu ada di hati Raka.” Mendengar itu air mataku

semakin mengalir deras, apa yang bisa di mengerti anak seusiaku. Aku meringkuk di

samping Ayah. Melihat Ibu pergi dalam samar bayang gelap dan tak pernah kembali.


***


Suara petir kembali menggulung langit malam, memecah kesunyian menyayat

keheningan, memantulkan bayang-bayang yang menari resah di dinding tua rumah

Ayah. Sejak dulu suara petir selalu jadi penanda. Bukan hanya sekedar isyarat belaka,

tapi semacam sinyal dari langit, yang membangunkanku dari lamunan panjang — Kini

diam itu menjadi abadi. Ayah benar-benar pergi meninggalkan aku dalam sunyi. Aku

kembali menjadi anak kecil yang ditinggal. Tetapi, bedanya sekarang aku benar-benar

sendiri tanpa siapapun menemani.

Aku memandang penuh luka di mata, menatap tumpukan buku, kertas-kertas

lama dan pena kesayangannya. Jemariku gemetar saat menyentuh tulisan miliknya

yang menjadi kegemarannya. Puisi bukan sekedar seni. puisi adalah cara Ayah

berbicara dengan dunia, dengan dirinya, dengan Aku, dan dengan Ibu yang telah lama

pergi. Kemudian Aku beralih kesebuah laci kecil diseberang meja. Dari dulu aku selalu

penasaran isi didalamnya, entah mengapa ini selalu di kunci.

“Ayolah, di mana ayah menyimpan kuncinya?” Aku mengeladah seluruh

ruangan dan akhirnya berhasil menemukan kunci tersebut.

“Nah, ini dia.” Dengan cepat aku membukanya. Untuk sejenak hanya diam

yang menjadi kata. Banyak sekali puisi lama yang usang dan memudar.

“Apa lagi ini? Sepertinya ini sudah sangat lama,” gumamku pelan sambil

mengeluarkan kertas-kertas tersebut ke atas meja. Aku melihat dengan seksama dan

teralihkan pada sebuah sajak.

“Untukmu yang kelak membaca, jika jejakku tak lagi kau temukan di tanah ini,

bacalah aku dalam bait-bait sunyi”. Salah satu tulisan Ayah pada judul puisinya

“Suara yang Kau Kubur Tak Akan Mati.”

Aku mengerutkan dahi. “Sejak kapan Ayah menulis ini? Lalu mengapa harus

disembunyikan? Apa ini ada hubungannya dengan Ibu.”

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” ucapku pelan dan berlalu.


***


Pagi harinya, aku segera berkemas mengejar keberangkatan kereta api pagi.

Tergesa-gesa aku menyiapkan semuanya. Saat matahari baru saja menyapa, aku berada

di dalam kereta. Melaju pelan meninggalkan kota, menuju Desa Sumber Indah, tempat

di mana semua jawaban yang Aku cari selama ini berada.

Saat matahari mulai naik akhirnya aku berhasil menjejakkan kaki di desa. Desa

ini masih sama seperti enam belas tahun lalu — wangi tanah dan dedaunan kering

seakan menyapa penuh rindu. Aku berhenti di depan rumah kayu tua di ujung desa.

Aku berdiri di depannya, tanganku terangkat dan mengetuknya beberapa kali. Seketika

pintu itu berderit pelan, disusul dengan seorang pria tua yang renta.

“Iyaa...inilah Pak Darman, teman lama Ayah,” ungkapku di hati. Dia

memandangiku dengan seksama. Seolah bagai gelombang panas yang menjalar, tiba-

tiba saja matanya berbinar.

“Pak, ini Raka, anak Pak Wiryo.” aku mengambil dan mencium punggung

tangan tua itu. Ia memelukku erat dan mengajak ku masuk. Kami berada di ruang tamu.

Tanpa aba-aba, aku memberitahu bahwa ayah wafat seminggu yang lalu.

“Pak, apa Raka boleh tahu semua kisah masa lalu ayah? tadi malam Raka

menemukan puisi ini di meja kerja Ayah,?” aku mengulurkan semua puisi lama itu

kepadanya. Ia mengambil. Memandang penuh harap bagai kisah lama yang belum usai.

Aku diam menuggu. Berharap Ia menjawab.

“Baiklah, Nak. Sudah saatnya kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”

Lelaki tua dihadapanku itu menghela napas berat. Aku diam dan menunggu.


“Bapak dan ayahmu dulunya tergabung dalam gerakan bawah tanah bernama

Wirasana. Kami berdua menyuarakan kebebasan, saat semua rakyat dibungkam. Kami

tidak mengangkat senjata. Kami memillih perjuangan yang berbeda, karena kami

percaya, kata-kata bisa lebih tajam dari pedang seorang panglima. Kata bisa

menggugah hati membunyikan pikiran dan menggerakkan keberanian. Maka dari itu

kami berani menentang ketidakadilan yag terjadi pada masa Orde Baru.

Tetapi, perjuangan kami tidaklah bertahan lama. Sampai pada suatu hari kami

tidak bisa lari dari kematian. Gerakan kami terendus, pemerintah mulai melacak kami,

sehingga akhirnya kami benar-benar menyerah. Tetapi harga yang kami bayar tidaklah

murah. Kami harus kehilangan keluarga yang kami sayang.

Mereka datang mengambilnya dalam waktu kelam. Aku kehilangan putraku

satu-satunya. Dan ayahmu kehilangan Tini — istri yang menjadi sumber kekuatannya.

Dari situ aku mempelajari satu hal, Nak. Bahwa kata bisa menyelamatkan sekaligus

membunuh. Semoga kau bisa mengerti apa arti perjuangan ini.”

Seakan dunia runtuh begitu saja di depan mataku. Jadi, ini jawaban dari

kematian Ibu yang selalu Ayah sembunyikan dariku.

Pak Darman memandangku dalam. “Sudahlah,Nak. semua telah terjadi tidak

ada yang perlu disesali.”

Sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela, menandakan senja

sudah tiba. Aku memutuskan untuk segera beranjak pulang. Berpamitan lalu berterima

kasih. menaiki kereta yang sama, di tengah hempasan malam yang syahdu, aku duduk

di ujung memandangi jendela sambil megeluarkan sebuah buku kecil dan pena. Aku

goreskan tinta pertama itu pada sebuah kata “Di Balik Puisi Ayah.


“TAMAT”

Posting Komentar

0 Komentar