BAYANG-BAYANG DI BERUGAK
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan sempit di depan kos-kosan Bima ketika
suara ribut pertama terdengar. Roda koper berderit di aspal basah, suara orang-
orang saling memanggil, tawa riang yang seharusnya biasa saja tapi bagi Bima
terdengar seperti palu godam yang menghantam tempurung kepalanya. Ia
mengerang kesakitan, tangannya yang kurus mencengkeram bingkai jendela kamar
kosnya yang lapuk, buku-buku di mejanya bergetar ketika ia membanting pintu
kamar dengan seluruh kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya yang lelah. "Tutup
mulut kalian!" teriaknya dalam hati, tapi tak seorang pun mendengar. Di dinding
kamarnya yang kusam, pigura foto bergoyang-goyang, foto dirinya yang masih
kecil dengan seragam SMP, berdiri kaku di samping Pak Yahya, guru
matematikanya yang tewas sepuluh tahun lalu dalam kecelakaan yang sampai
sekarang masih menjadi misteri.
Kopi di mejanya sudah dingin, tapi Bima tetap meneguknya dengan rakus,
berharap rasa pahitnya bisa mengusir rasa pahit lain yang mengendap di lidahnya
sejak mimpi buruk semalam. Mimpi yang sama yang terus mengunjunginya
sepanjang minggu ini tubuh Pak Yahya yang terpelanting seperti boneka kain, darah
yang menggenang membentuk kolam merah di aspal, dan suara deru mesin motor
yang menjauh, meninggalkan Bima kecil yang terpaku di tempat, mulutnya terbuka
lebar tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya sekarang gemetar memegang
mouse, menatap dokumen kosong di layar laptop yang seolah mengejeknya. "Tugas
debat budaya," bisiknya sambil menggosok pelipisnya yang berdenyut-denyut.
"Apa gunanya semua ini?"
Telepon Adam datang tepat ketika Bima hendak menyerah dan
membenamkan wajahnya ke bantal yang sudah bau keringat. "Ayo ke Desa Adat
Bayan, kita butuh bahan untuk tugas debat!" suara Adam bersemangat di seberang
telepon. Bima ingin menolak, ingin berteriak bahwa ia benci semua yang berbau
tradisi dan budaya, tapi sesuatu dalam nada suara Adam, atau mungkin dalam
dirinya sendiri - membuat lidahnya kelu. "Baiklah," akhirnya ia mengalah, suaranya
serak seperti orang yang baru menangis semalaman.
Pagi berikutnya, ketika mereka bersiap di mobil Adam yang butut, Bima
merasakan ada yang tidak beres. Udara pagi itu terlalu dingin untuk musim
kemarau, dan bayang-bayang di parkiran kosnya seolah bergerak-gerak sendiri.
"Kita berangkat sekarang juga," geramnya pada Adam yang masih asyik memeriksa
ranselnya. Tapi sebelum Adam sempat menjawab, suara lain menyela. "Boleh
ikut?"
Leo, tetangga baru di kamar sebelahnya, berdiri di belakang mereka dengan
senyum yang terlalu lebar untuk jam segini pagi. Ada sesuatu tentang cara orang ini
tersenyum terlalu sempurna, seperti topeng yang dipakai terlalu ketat. Bima ingin
menolak, tapi Adam sudah berseru girang, "Tentu saja! Makin ramai makin seru!"
Perjalanan enam jam ke Desa Adat Bayan terasa seperti enam tahun. Kabin
mobil yang sempit dipenuhi aroma aneh, campuran antara minyak wangi Leo yang
terlalu menyengat dan keringat dingin Bima sendiri. Setiap kali ia menutup mata,
bayangan Pak Yahya muncul lagi, tapi kali ini dengan detail yang lebih jelas ada
sesuatu di tangan gurunya itu, sebuah benda kecil yang berkilat.
"Kita sampai!" seru Adam tiba-tiba, menyadarkan Bima dari lamunannya.
Desa Adat Bayan menyambut mereka dengan sunyi yang mencurigakan.
Udara di sini terasa berbeda berat, basah, seperti bernafas di dalam gua yang
lembab. Pepohonan tua menjulang tinggi di sekeliling desa, dahan-dahannya saling
bersilangan membentuk kanopi yang menghalangi matahari. "Hutan adat ini
sakral," kata pemandu mereka, seorang lelaki tua dengan mata yang terlalu tajam
untuk usianya. Matanya yang hitam legam itu menatap langsung ke dalam jiwa
Bima, seolah bisa melihat semua rahasia yang ia sembunyikan. "Di sini, roh leluhur
masih hidup. Mereka mendengar setiap bisikan, melihat setiap tindakan."
Bima merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia ingin lari,
tapi kakinya seperti tertanam kuat di tanah. Di kejauhan, di antara pepohonan, ia
bisa bersumpah melihat bayangan manusia bergerak terlalu cepat untuk bisa
dikenali, tapi terlalu lambat untuk sekadar ilusi.
Berugak, bangunan tradisional tempat menerima tamu, menjadi tempat
mereka dijamu. Saat Bima duduk di lantai kayu yang sudah lapuk, matanya tertarik
pada sebuah foto lama yang tergantung miring di dinding. Jantungnya berhenti
berdetak.
Itu adalah foto Pak Yahya muda, berdiri persis di tempat yang sama seperti
mereka sekarang.
"Tidak mungkin..." bisik Bima, tangannya gemetar menjauh dari foto itu
seperti tersengat listrik.
Leo tiba-tiba muncul di sampingnya, napasnya hangat di telinga Bima. "Kau
kenal orang ini?" suaranya berbisik, tapi setiap kata terasa seperti pukulan palu.
"Dia tidak mati karena kecelakaan, Bima. Itu pembunuhan."
Malam itu, ketika Adam sudah terlelap dengan ngorok yang keras, Bima
terjaga. Suara motor di kejauhan membuat seluruh tubuhnya kaku. Suara itu persis
seperti yang ia dengar malam Pak Yahya tewas. Dadanya sesak ketika ingatan yang
terpendam selama sepuluh tahun akhirnya muncul dengan jelas: ia melihat sendiri
mobil yang menabrak gurunya. Dan pengemudinya...
Dengan gerakan lambat, Bima memutar tubuhnya. Leo berdiri di depan
jendela, siluet tubuhnya diterangi cahaya bulan yang pucat. "Kau ingat sekarang,
ya?" suaranya tidak seperti biasanya lebih dalam, lebih... tua.
Kembali di kampus seminggu kemudian, kemenangan mereka dalam debat
budaya terasa hampa. Leo telah menghilang tanpa jejak, kamarnya kosong seperti
tak pernah dihuni. Di kamar kosnya yang sunyi, Bima menatap foto Pak Yahya
sekali lagi, air matanya akhirnya tumpah setelah sepuluh tahun dipendam.
"Maafkan aku, Pak," bisiknya pada foto yang sudah kusam itu.
Di luar, angin berbisik melalui daun-daun kering, membawa suara yang
hampir seperti tawa atau mungkin tangisan. Dan di sudut kamar yang paling gelap,
bayangan itu masih menunggu, bersabar untuk saatnya mengungkap semua
kebenaran yang masih tersembunyi.
Bima menggenggam erat foto lama Pak Yahya di Berugak itu, jemarinya
bergetar membentuk lipatan-lipatan di kertas yang sudah menguning. Leo masih
berdiri di depan jendela, matanya, yang tiba-tiba terlihat lebih tua dari seharusnya,
menatapnya dengan pandangan yang membuat Bima merasa seperti serangga yang
tertusuk jarum.
"Kau tahu, bukan?" bisik Leo, suaranya tiba-tiba berubah, menjadi parau
seperti suara lelaki tua. "Malam itu, kau bukan hanya melihat.
Kau mengikuti kami."
Bima tercekat. Ingatan yang selama ini terpendam pecah seperti banjir
bandang.
***
Bima kecil bersembunyi di balik pohon, jantungnya berdegup kencang. Ia
mengikuti Pak Yahya diam-diam setelah melihat gurunya itu menyelinap keluar
sekolah dengan tas yang mencurigakan. Di tepi hutan, Pak Yahya bertemu dengan
dua lelaki, salah satunya adalah kepala desa Bayan. Mereka bertengkar, suara
mereka melengking dalam bahasa daerah yang tidak Bima pahami.
"Kau mencuri kris pusaka dari hutan larangan!" hardik kepala desa.
Pak Yahya tertawa dingin. "Ini bukan milikmu. Ini warisan keluargaku."
Tiba-tiba, salah satu lelaki itu menarik pisau. Pak Yahya terhuyung, tapi
sebelum pisau itu mengenai tubuhnya, ia melemparkan tas kecil ke arah
Semak,tepat ke tempat Bima bersembunyi.
"LARI, BIMA!" teriak Pak Yahya.
Tapi Bima terlalu panik. Ia hanya terduduk, menyaksikan mobil hitam
melesat dan menabrak gurunya dengan sengaja. Darah menggenang di aspal.
Salah satu lelaki itu menoleh ke arahnya. Wajah kepala desa.
Dan Bima... lari.
***
Leo, atau siapa pun dia, melangkah mendekat. "Aku adalah penjaga hutan adat,"
katanya, suaranya berubah menjadi suara yang Bima kenal, suara kepala desa tua
di foto itu. "Pak Yahya mencuri pusaka leluhur kami. Tapi sebelum dia mati, dia
memberikannya pada kamu."
Bima menggigil. Tas kecil itu. Ia teringat ia menyimpannya di bawah tempat
tidur kosnya, tak pernah berani membukanya.
"Kau membawa kami ke desa ini," lanjut Leo dengan senyum yang
membuat bulu kuduk Bima berdiri. "Karena kau membawa pusaka itu kembali."
Tiba-tiba, Bima menyadari sesuatu yang mengerikan: Adam tidak
bangun. Tubuhnya terkulai lemas di kasur, dada tak bergerak.
"Adam...?"
Leo menggeleng. "Bukan Adam yang kami inginkan." Tangannya
menggapai ke arah Bima. "Kau yang menyaksikan semuanya. Kau yang membawa
pusaka itu. Dan sekarang, kau yang akan menggantikan Pak Yahya... sebagai
tumbal."
Sebelum Leo bisa menyentuhnya, Bima menarik benda dari sakunya, kris
pusaka yang selama sepuluh tahun ia sembunyikan. Pisau itu berpendar dengan
cahaya kehijauan, dan untuk pertama kalinya, Bima melihat wajah asli Leo: wajah
kepala desa yang sudah mati puluhan tahun lalu.
"Kau pikir kami tidak tahu?" Bima mendesah, suaranya tiba-tiba berubah,
lebih dalam, lebih tua. "Aku cucu Pak Yahya. Dan kris ini... ditakdirkan kembali ke
tanganku."
Dengan gerakan cepat, ia menancapkan kris ke lantai Berugak. Kayu-kayu
berderak, dan suara jeritan memenuhi udara, jeritan Leo dan roh-roh penjaga hutan.
Ketika Bima membuka matanya, ia sendirian. Adam terbangun dengan bingung,
Leo sudah hilang, dan di tangannya, kris pusaka itu telah berubah menjadi abu.
Dua minggu kemudian, Bima berdiri di depan makam Pak Yahya. Ia
meletakkan bunga dan selembar foto-foto dirinya di Berugak, bersama bayangan
samar seorang lelaki tua di belakangnya.
"Sudah selesai, Kakek," bisiknya.
Angin berbisik di antara pepohonan, membawa suara yang hampir seperti
jawaban:
"Selamat datang di keluarga penjaga, Bima."
0 Komentar