KHANDARA CAHAYA JIWA - Anisa Julianti



 KHANDARA CAHAYA JIWA


Kadang, perjalanan bukan tentang apa yang bisa kita bawa pulang,


tapi tentang apa yang harus dijaga,

agar tidak hanyut bersama waktu yang terus berubah.

“Saya ingin meneliti aksara yang tidak banyak orang tahu dan masih penuh

misteri, Pak.”

“Jika kamu memang serius ingin meneliti aksara itu, kamu harus mendatangi

Desa Kumbang Jati,” kata dosen pembimbingku sambil mendorong sebuah map

berisi rincian tentang desa tersebut.

Aku mengernyit. “Desa Kumbang Jati? Di mana itu, Pak?”

“Di pinggir hutan Kalatapa. Di sana tidak ada jaringan, tidak ada sinyal, tapi

menurut sumber yang saya ketahui, di sanalah tersimpan satu-satunya manuskrip

yang ditulis dalam Aksara Hanataru.”

“Aksara Hanataru?” ulangku, karena merasa familiar dengan nama aksara

tersebut. Sejujurnya, aku pernah membaca sebuah kutipan dalam artikel tua yang

menyebut aksara ini. Aku tidak ingat pasti, tapi kutipan itu berbunyi: ‘Manusia

yang lupa dari mana ia berasal, tidak akan tahu ke mana ia akan pulang,’ Dan

ketika dosenku menyebut nama Hanataru, aku tahu, itu bukan kebetulan. Itu adalah

tanda. Karena itu, aku memutuskan memilih aksara ini sebagai objek penelitianku.

“Wajar jika kamu tidak tahu. Aksara itu tidak ada dalam buku teks manapun.

Nyaris punah, dan hanya satu orang yang mengetahui informasi lengkap tentang

aksara tersebut, yaitu penjaganya yang bernama Pak Tirta.”

Dari dokumen yang diberikan dosen pembimbingku, konon katanya aksara

ini lahir dari cara leluhur membaca tanda-tanda alam seperti gemerisik angin di

antara dedaunan, aliran air sungai, hingga suara hewan yang sayup-sayup terdengar

dari kedalaman hutan yang mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. Bentuknya

menyerupai lingkaran-lingkaran halus dan garis-garis tegak yang berpadu seperti

alur air di bebatuan. Setiap ukiran mengandung nilai-nilai kehidupan.


Namun yang membuatnya berbeda dari aksara lain adalah tujuannya. Ia

bukan sekedar pengantar pesan, ia menyimpan filosofi hidup tentang keselarasan

dengan alam, ketenangan batin, dan cahaya jiwa.

Dan karena itulah aku disini. Aku, Arkana, mahasiswa sastra semester akhir

yang sedang berjuang menyusun tugas akhir. Bukan di perpustakaan kota atau

museum nasional seperti kebanyakan teman seangkatanku, melainkan di sebuah

desa terpencil, jauh dari peta akademik, hanya karena satu hal, Aksara Hanataru.

Dari sekian banyak topik yang ditawarkan dosenku, hampir semuanya terasa

biasa saja, seperti kajian gaya penulis klasik, perbandingan struktur puisi, atau

analisis novel populer, tapi Hanataru, aksara penuh misteri yang belum tersentuh.

Tidak banyak yang tahu, yang menjadi daya tarik bagiku. Aku ingin menjadi orang

pertama yang memiliki salinan lengkapnnya.

Aku berangkat pukul 07.30 dari tempat tinggalku, Perjalanan menuju Desa

Kumbang Jati memakan waktu hampir delapan jam dari kota. Mobil terakhir

berhenti di ujung jalan tanah, sisanya kutempuh dengan ojek, bukan sepeda motor

ataupun becak, melainkan sebuah traktor roda empat yang biasanya ada di sektor

pertanian.

Setibanya di desa, sambutan yang kudapat tidak lebih hangat dari udara pagi

yang dibekukan kabut. Warga menatapku sebentar, kemudian berlalu begitu saja.

Anak-anak hanya mengintip dari balik pintu kayu rumah mereka.

“Arkana, ya?” seorang pria paruh baya bersarung menghampiriku di balai

desa. “Kami sudah dengar kalau kamu mau mencari tulisan lama itu, tapi saran

saya, lebih baik kamu pulang saja. Perjalanan kamu ke sini hanya akan berakhir sia-

sia.”

Aku tersenyum canggung. “Saya hanya ingin belajar, Pak. Tidak akan ganggu

siapa-siapa.”

Ia hanya mendengus lalu menunjuk rumah kayu di kaki bukit. “Itu rumah Pak

Tirta, orang yang memiliki akses dari apa yang kamu cari, tapi jangan berharap

banyak, karena orang-orang yang datang sebelum kamu, mereka semua pulang

dengan tangan kosong.”


Mendengar hal itu membuatku menjadi semakin penasaran dengan aksara

tersebut. Apa yang membuat mereka pulang dengan tidak membawa apapun?

Akhirnya aku tetap mendatangi rumah yang ditunjuk pria paruh baya itu.

Rumah itu seperti bangunan kuno, dengan ukiran rumit di sekeliling jendelanya.

Saat ku ketuk pintunya, yang terlihat hanya satu mata yang mengintip dari celah

pintu.

“Permisi, saya Arkana. Mahasiswa dari Universitas Widyacandra. Saya ingin

bicara soal aksara-” belum sempat ku selesaikan perkataanku, pintu itu langsung

tertutup, menyiratkan penolakan dari sang pemilik.

Hari-hari berikutnya kuhabiskan seperti menjadi bayangan. Pak Tirta selalu

menghindar, berpura-pura tidak dengar jika aku menyebut tentang manuskrip itu.

Warga pun tidak mau banyak bicara padaku, tapi di warung kopi kecil, aku mulai

menangkap potongan-potongan cerita.

“Dulu pernah ada yang datang, dari kota juga,” kata seorang ibu sambil

meracik kopi. “Kami tidak tahu apa yang terjadi, tapi Pak Tirta yang awalnya sangat

ramah terhadap orang itu menjadi sangat marah.”

“Ada yang bilang kalau orang itu merusak manuskrip itu,” ujar seorang

pemuda berbaju merah. “Ada juga yang bilang kalau dia berniat mencurinya, tapi

ketahuan oleh Pak Tirta.”

“Sampai saat ini tidak ada yang tau kebenarannya kecuali Pak Tirta sendiri.”

Seorang ibu paruh baya menyahut dari dalam warung kopi.

Aku pun mulai menetap lebih lama di desa itu demi mendapatkan informasi

yang kuinginkan. Menyewa kamar kecil dari seorang nenek yang tinggal sebatang

kara. Di sana, aku mengikuti berbagai kenduri, menyimak dongeng sebelum tidur,

dan belajar banyak pelajaran berharga tentang kehidupan dari Nenek Ani, nama

pemilik rumah itu.

Semakin lama aku tinggal, semakin aku menyadari bahwa aksara itu bukan

sekedar bentuk huruf. Ia hidup di pantun, di ukiran rumah, di dalam syair yang

penuh makna. Keberadaannya sungguh berarti.


Dan di tengah itu semua, aku mulai mengerti. Mungkin alasan Pak Tirta

bungkam bukan karena marah atau curiga. Mungkin Ia hanya menjaga sesuatu yang

nyaris hilang karena sebuah kecerobohan ataupun keserakahan.

Malam itu bulan purnama bersinar terang. Langit begitu cerah hingga terlihat

bintang-bintang bertaburan. Aku duduk di beranda, menulis catatan lapangan

seperti biasa, ketika Pak Tirta tiba-tiba muncul dari balik jalan setapak.

“Besok kamu pulang, kan?” suaranya begitu lirih, hampir seperti angin.

Aku mengangguk pelan, walau sebenarnya belum kuputuskan. “Saya tidak

ingin pulang dengan tangan kosong, tapi saya juga tidak mau membawa pulang

sesuatu yang bukan milik saya.”

Ia duduk di sampingku, pelan, sambil menatap jauh ke bukit. “Kamu tahu

kenapa aksara itu disembunyikan? Bukan karena tidak boleh di lihat, melainkan

karena mereka yang datang tidak ingin tahu apa isinya, tapi hanya menginginkan

apa yang akan didapat jika mereka membawa salinan aksara itu.”

Aku tidak menjawab.

“Ia bukan untuk dunia yang haus validasi. Ia diciptakan untuk menuntun kita

menemukan arah yang tepat.”

Aku merenung. Benar. Niat awalku datang ke desa ini sama seperti perkataan

Pak Tirta. Aku hanya ingin mendapat gelar dan lulus sebagai peserta terbaik, bukan

benar-benar ingin mengkaji aksara itu. Saat itu aku sadar, yang kucari selama ini

bukan makna, melainkan pengakuan dan itu bukan jalan yang benar.

“Sebelum kamu, banyak yang datang. Mereka ambil gambar, menyalin huruf,

lalu pergi begitu saja. Tidak ada satupun yang tahu arti ‘Khandara’ di halaman

pertama manuskrip berisi Aksara Hanataru itu.”

Aku memberanikan diri. “Apa artinya, Pak?”

Ia tersenyum tipis. “Cahaya.”

Kini di kepalaku, bayangan proposal tugas akhir dan pujian akademik yang

mungkin kudapat jika membawa pulang salinan manuskrip itu satu-persatu mulai

runtuh. Bukan karena dilarang, tapi karena aku mulai sadar, apa yang kukejar

seharusnya bukan gelar itu, melainkan esensi yang kudapat selama prosesnya.


“Kalau saya menulis tentang ini, Pak, tapi dalam bentuk cerita. Bukan

penelitian, bukan laporan. Fiksi. Apa Bapak mengizinkan?” tanyaku perlahan,

Ia menatapku lama. “Kamu bisa ambil kisahnya, tapi jangan bawa hurufnya.


Biarkan aksara itu tetap hidup, dalam cerita-cerita orang tua, dalam nyanyian anak-

anak. Bukan di buku yang dibaca sekali lalu dilupakan.”


Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Pak Tirta membukakan pintu

rumahnya untukku. Ia tidak menunjukkan manuskrip yang berisi Aksara Hanataru

itu secara langsung, tapi ia bercerita. Tentang sejarah. Tentang filosofinya.

Aku menyimak. Tidak mencatat, tidak merekam. Hanya mendengar.

Lima bulan telah berlalu semenjak perjalananku ke Desa Kumbang Jati. Kini

aku sudah lulus, menjadi lulusan terbaik di angkatanku. Namun, bukan karena aku

membawa kembali salinan aksara itu, tapi karena pelajaran yang ku dapat selama

mencarinya, yang aku tuangkan dalam sebuah karya sastra.

Aku menuliskan kisah perjalananku dalam sebuah cerpen berjudul

‘Khandara’. Cerita itu tidak menyebutkan nama asli desa tersebut, tidak ada

gambar, tidak juga transkripsi aksara itu. Hanya kisah. Tentang huruf-huruf tua

yang dijaga dengan sepenuh hati oleh seorang lelaki tua yang tinggal di kaki bukit,

dan tentang seorang mahasiswa dari kota yang datang untuk belajar.

Cerpen itu tidak menjadi headline jurnal sastra, tidak viral di media sosial,

namun suatu hari, seorang pembaca mengirimiku pesan, “Apakah cerita ini nyata?

Di mana aku bisa menemukannya?”

Aku hanya menjawab, “Mungkin tidak bisa kamu temukan di perpustakaan,


bahkan yang paling lengkap sekalipun. Tapi, cobalah untuk mendengarkan cerita-

cerita orang tuamu. Kadang aksara yang tidak ditemukan, bukan tidak ada, tapi Ia


hidup dalam suara.”

Dan di dinding kamarku, kupajang dalam bingkai persegi, satu benda kecil,

sehelai daun lontar kosong, pemberian Pak Tirta sebelum aku pulang. Tidak ada

tulisan, tapi tidak pernah betul-betul kosong.


~ Selesai ~

Posting Komentar

0 Komentar