KHANDARA CAHAYA JIWA
Kadang, perjalanan bukan tentang apa yang bisa kita bawa pulang,
tapi tentang apa yang harus dijaga,
agar tidak hanyut bersama waktu yang terus berubah.
“Saya ingin meneliti aksara yang tidak banyak orang tahu dan masih penuh
misteri, Pak.”
“Jika kamu memang serius ingin meneliti aksara itu, kamu harus mendatangi
Desa Kumbang Jati,” kata dosen pembimbingku sambil mendorong sebuah map
berisi rincian tentang desa tersebut.
Aku mengernyit. “Desa Kumbang Jati? Di mana itu, Pak?”
“Di pinggir hutan Kalatapa. Di sana tidak ada jaringan, tidak ada sinyal, tapi
menurut sumber yang saya ketahui, di sanalah tersimpan satu-satunya manuskrip
yang ditulis dalam Aksara Hanataru.”
“Aksara Hanataru?” ulangku, karena merasa familiar dengan nama aksara
tersebut. Sejujurnya, aku pernah membaca sebuah kutipan dalam artikel tua yang
menyebut aksara ini. Aku tidak ingat pasti, tapi kutipan itu berbunyi: ‘Manusia
yang lupa dari mana ia berasal, tidak akan tahu ke mana ia akan pulang,’ Dan
ketika dosenku menyebut nama Hanataru, aku tahu, itu bukan kebetulan. Itu adalah
tanda. Karena itu, aku memutuskan memilih aksara ini sebagai objek penelitianku.
“Wajar jika kamu tidak tahu. Aksara itu tidak ada dalam buku teks manapun.
Nyaris punah, dan hanya satu orang yang mengetahui informasi lengkap tentang
aksara tersebut, yaitu penjaganya yang bernama Pak Tirta.”
Dari dokumen yang diberikan dosen pembimbingku, konon katanya aksara
ini lahir dari cara leluhur membaca tanda-tanda alam seperti gemerisik angin di
antara dedaunan, aliran air sungai, hingga suara hewan yang sayup-sayup terdengar
dari kedalaman hutan yang mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. Bentuknya
menyerupai lingkaran-lingkaran halus dan garis-garis tegak yang berpadu seperti
alur air di bebatuan. Setiap ukiran mengandung nilai-nilai kehidupan.
Namun yang membuatnya berbeda dari aksara lain adalah tujuannya. Ia
bukan sekedar pengantar pesan, ia menyimpan filosofi hidup tentang keselarasan
dengan alam, ketenangan batin, dan cahaya jiwa.
Dan karena itulah aku disini. Aku, Arkana, mahasiswa sastra semester akhir
yang sedang berjuang menyusun tugas akhir. Bukan di perpustakaan kota atau
museum nasional seperti kebanyakan teman seangkatanku, melainkan di sebuah
desa terpencil, jauh dari peta akademik, hanya karena satu hal, Aksara Hanataru.
Dari sekian banyak topik yang ditawarkan dosenku, hampir semuanya terasa
biasa saja, seperti kajian gaya penulis klasik, perbandingan struktur puisi, atau
analisis novel populer, tapi Hanataru, aksara penuh misteri yang belum tersentuh.
Tidak banyak yang tahu, yang menjadi daya tarik bagiku. Aku ingin menjadi orang
pertama yang memiliki salinan lengkapnnya.
Aku berangkat pukul 07.30 dari tempat tinggalku, Perjalanan menuju Desa
Kumbang Jati memakan waktu hampir delapan jam dari kota. Mobil terakhir
berhenti di ujung jalan tanah, sisanya kutempuh dengan ojek, bukan sepeda motor
ataupun becak, melainkan sebuah traktor roda empat yang biasanya ada di sektor
pertanian.
Setibanya di desa, sambutan yang kudapat tidak lebih hangat dari udara pagi
yang dibekukan kabut. Warga menatapku sebentar, kemudian berlalu begitu saja.
Anak-anak hanya mengintip dari balik pintu kayu rumah mereka.
“Arkana, ya?” seorang pria paruh baya bersarung menghampiriku di balai
desa. “Kami sudah dengar kalau kamu mau mencari tulisan lama itu, tapi saran
saya, lebih baik kamu pulang saja. Perjalanan kamu ke sini hanya akan berakhir sia-
sia.”
Aku tersenyum canggung. “Saya hanya ingin belajar, Pak. Tidak akan ganggu
siapa-siapa.”
Ia hanya mendengus lalu menunjuk rumah kayu di kaki bukit. “Itu rumah Pak
Tirta, orang yang memiliki akses dari apa yang kamu cari, tapi jangan berharap
banyak, karena orang-orang yang datang sebelum kamu, mereka semua pulang
dengan tangan kosong.”
Mendengar hal itu membuatku menjadi semakin penasaran dengan aksara
tersebut. Apa yang membuat mereka pulang dengan tidak membawa apapun?
Akhirnya aku tetap mendatangi rumah yang ditunjuk pria paruh baya itu.
Rumah itu seperti bangunan kuno, dengan ukiran rumit di sekeliling jendelanya.
Saat ku ketuk pintunya, yang terlihat hanya satu mata yang mengintip dari celah
pintu.
“Permisi, saya Arkana. Mahasiswa dari Universitas Widyacandra. Saya ingin
bicara soal aksara-” belum sempat ku selesaikan perkataanku, pintu itu langsung
tertutup, menyiratkan penolakan dari sang pemilik.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan seperti menjadi bayangan. Pak Tirta selalu
menghindar, berpura-pura tidak dengar jika aku menyebut tentang manuskrip itu.
Warga pun tidak mau banyak bicara padaku, tapi di warung kopi kecil, aku mulai
menangkap potongan-potongan cerita.
“Dulu pernah ada yang datang, dari kota juga,” kata seorang ibu sambil
meracik kopi. “Kami tidak tahu apa yang terjadi, tapi Pak Tirta yang awalnya sangat
ramah terhadap orang itu menjadi sangat marah.”
“Ada yang bilang kalau orang itu merusak manuskrip itu,” ujar seorang
pemuda berbaju merah. “Ada juga yang bilang kalau dia berniat mencurinya, tapi
ketahuan oleh Pak Tirta.”
“Sampai saat ini tidak ada yang tau kebenarannya kecuali Pak Tirta sendiri.”
Seorang ibu paruh baya menyahut dari dalam warung kopi.
Aku pun mulai menetap lebih lama di desa itu demi mendapatkan informasi
yang kuinginkan. Menyewa kamar kecil dari seorang nenek yang tinggal sebatang
kara. Di sana, aku mengikuti berbagai kenduri, menyimak dongeng sebelum tidur,
dan belajar banyak pelajaran berharga tentang kehidupan dari Nenek Ani, nama
pemilik rumah itu.
Semakin lama aku tinggal, semakin aku menyadari bahwa aksara itu bukan
sekedar bentuk huruf. Ia hidup di pantun, di ukiran rumah, di dalam syair yang
penuh makna. Keberadaannya sungguh berarti.
Dan di tengah itu semua, aku mulai mengerti. Mungkin alasan Pak Tirta
bungkam bukan karena marah atau curiga. Mungkin Ia hanya menjaga sesuatu yang
nyaris hilang karena sebuah kecerobohan ataupun keserakahan.
Malam itu bulan purnama bersinar terang. Langit begitu cerah hingga terlihat
bintang-bintang bertaburan. Aku duduk di beranda, menulis catatan lapangan
seperti biasa, ketika Pak Tirta tiba-tiba muncul dari balik jalan setapak.
“Besok kamu pulang, kan?” suaranya begitu lirih, hampir seperti angin.
Aku mengangguk pelan, walau sebenarnya belum kuputuskan. “Saya tidak
ingin pulang dengan tangan kosong, tapi saya juga tidak mau membawa pulang
sesuatu yang bukan milik saya.”
Ia duduk di sampingku, pelan, sambil menatap jauh ke bukit. “Kamu tahu
kenapa aksara itu disembunyikan? Bukan karena tidak boleh di lihat, melainkan
karena mereka yang datang tidak ingin tahu apa isinya, tapi hanya menginginkan
apa yang akan didapat jika mereka membawa salinan aksara itu.”
Aku tidak menjawab.
“Ia bukan untuk dunia yang haus validasi. Ia diciptakan untuk menuntun kita
menemukan arah yang tepat.”
Aku merenung. Benar. Niat awalku datang ke desa ini sama seperti perkataan
Pak Tirta. Aku hanya ingin mendapat gelar dan lulus sebagai peserta terbaik, bukan
benar-benar ingin mengkaji aksara itu. Saat itu aku sadar, yang kucari selama ini
bukan makna, melainkan pengakuan dan itu bukan jalan yang benar.
“Sebelum kamu, banyak yang datang. Mereka ambil gambar, menyalin huruf,
lalu pergi begitu saja. Tidak ada satupun yang tahu arti ‘Khandara’ di halaman
pertama manuskrip berisi Aksara Hanataru itu.”
Aku memberanikan diri. “Apa artinya, Pak?”
Ia tersenyum tipis. “Cahaya.”
Kini di kepalaku, bayangan proposal tugas akhir dan pujian akademik yang
mungkin kudapat jika membawa pulang salinan manuskrip itu satu-persatu mulai
runtuh. Bukan karena dilarang, tapi karena aku mulai sadar, apa yang kukejar
seharusnya bukan gelar itu, melainkan esensi yang kudapat selama prosesnya.
“Kalau saya menulis tentang ini, Pak, tapi dalam bentuk cerita. Bukan
penelitian, bukan laporan. Fiksi. Apa Bapak mengizinkan?” tanyaku perlahan,
Ia menatapku lama. “Kamu bisa ambil kisahnya, tapi jangan bawa hurufnya.
Biarkan aksara itu tetap hidup, dalam cerita-cerita orang tua, dalam nyanyian anak-
anak. Bukan di buku yang dibaca sekali lalu dilupakan.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Pak Tirta membukakan pintu
rumahnya untukku. Ia tidak menunjukkan manuskrip yang berisi Aksara Hanataru
itu secara langsung, tapi ia bercerita. Tentang sejarah. Tentang filosofinya.
Aku menyimak. Tidak mencatat, tidak merekam. Hanya mendengar.
Lima bulan telah berlalu semenjak perjalananku ke Desa Kumbang Jati. Kini
aku sudah lulus, menjadi lulusan terbaik di angkatanku. Namun, bukan karena aku
membawa kembali salinan aksara itu, tapi karena pelajaran yang ku dapat selama
mencarinya, yang aku tuangkan dalam sebuah karya sastra.
Aku menuliskan kisah perjalananku dalam sebuah cerpen berjudul
‘Khandara’. Cerita itu tidak menyebutkan nama asli desa tersebut, tidak ada
gambar, tidak juga transkripsi aksara itu. Hanya kisah. Tentang huruf-huruf tua
yang dijaga dengan sepenuh hati oleh seorang lelaki tua yang tinggal di kaki bukit,
dan tentang seorang mahasiswa dari kota yang datang untuk belajar.
Cerpen itu tidak menjadi headline jurnal sastra, tidak viral di media sosial,
namun suatu hari, seorang pembaca mengirimiku pesan, “Apakah cerita ini nyata?
Di mana aku bisa menemukannya?”
Aku hanya menjawab, “Mungkin tidak bisa kamu temukan di perpustakaan,
bahkan yang paling lengkap sekalipun. Tapi, cobalah untuk mendengarkan cerita-
cerita orang tuamu. Kadang aksara yang tidak ditemukan, bukan tidak ada, tapi Ia
hidup dalam suara.”
Dan di dinding kamarku, kupajang dalam bingkai persegi, satu benda kecil,
sehelai daun lontar kosong, pemberian Pak Tirta sebelum aku pulang. Tidak ada
tulisan, tapi tidak pernah betul-betul kosong.
~ Selesai ~
0 Komentar