Restoran Sunyi di Tengah Hujan - Ahsanu Takwila

SMA NEGERI 2 MANDAU

Restoran Sunyi di Tengah Hujan

Karya: Ahsanu Takwila

Langit menyulam kelabu membuat dunia membisu. Lirih hujan

menggenangi tepi trotoar yang sunyi, terbalut kesan rapi, menggenggam payung di

tangan kananku, melangkah menyusuri hujan, menuju pintu yang memancarkan

cahaya terang yang memanggil.

“Hmph, semoga kali ini tidak mengecewakanku.” Gumamku dengan nada

rendah. Saat Membuka pintu , hawa hangat menyergap tubuhku seakan-akan

berusaha menghilangkan rasa dingin dari tangis sang langit.

“Selamat datang— eh? Tuan Smith! Saya tidak menyangka Anda akan tetap

datang meski dengan cuaca seperti ini!”

“Tentu saja aku akan datang, tidak mungkin aku melewatkan jadwal untuk

menilai restoran milikmu.”

“Hehe, maaf... Silahkan taruh payungmu di tempat penyangga sana, dan

duduklah di mana pun Anda nyaman.”

Kutitipkan payungku di tempat yang disediakan, lalu duduk di tempat yang

paling kusuka, yaitu kursi paling dekat dengan dapur tempat sang koki biasanya

memasak hidangan.

“Baik, tuan. Silahkan duduk dengan nyaman. Apa yang ingin Anda cicipi

saat ini? Saya bisa menyiapkan beberapa hidangan spesial untuk Anda.”

“Mereka mengatakan restoran ini mengusung hidangan tradisional khas

Indonesia, benarkah?”

“Benar, Tuan. Restoran ini memang berdiri dengan semangat mengangkat

masakan khas Indonesia. Saya harap Anda bisa merasakannya lewat setiap

hidangan yang saya sajikan.”


Aku akan menguji bukan hanya rasa yang akan ia hidangkan. tapi apakah

jiwanya mampu menangkap suasana di sekitarnya, dapat mengerti isi hati para

pelanggan yang selalu ia temui serta menyatu dalam penyesuaian yang lebih dari

sekedar menakar bumbu.

“Kalau begitu, Buatlah sesukamu. Perhatikan sekeliling dan pria di

depanmu. Sajikan dua makanan dan satu minuman yang paling cocok. Nasib

Restoranmu bergantung pada hasil ini.”

“Mohon maaf, Tuan... hanya tiga itu saja yang perlu saya siapkan?”

“Tiga pilihan itu cukup untuk menentukan nasib restoranmu.”

“Saya mengerti, Tuan. Segera saya siapkan.”

Ia pergi untuk menjalankan tugasnya, sementara aku tetap di tempatku,

menunggu dengan penuh ketenangan. Mataku menjelajah, menyusuri setiap sudut

interior yang membungkus ruangan ini. Melihat setiap detail dari ujung ke ujung.

Terdapat musik klasik yang memenuhi ruangan restoran, alunan gamelan

melantun bagaikan angin malam yang meresap ke dalam jiwa. Meski hanya berupa

rekaman semata, suaranya menggambarkan setiap tangan yang menari di atas alat

musiknya, menutupi kuatnya tangisan dunia.

Di sisi lain, restoran ini lebih menyerupai sebuah kedai tua—sederhana,

namun cukup berkarakter. Meski ruangannya tidak luas, interiornya penuh dengan

nuansa dan makna. Tiap sudut dipikirkan dengan matang dan memiliki alasannya

sendiri untuk hadir. Mulai dari lukisan-lukisan tua yang tampak pudar, lampu

gantung yang menggantung rendah, botol rempah yang disusun rapi, taplak meja

yang bercorak batik dan benda-benda kecil yang tampak seperti koleksi pribadi

dibanding properti komersial. Tidak ada benda yang terlalu mewah—tapi setiap

benda seolah diletakkan dengan maksudnya tersendiri, dan itu membuat segalanya

terasa jujur. Namun, kenapa rasanya aku pernah berada di sini sebelumnya?

Jika dipikir-pikir, sejak aku datang ke restoran ini, tak ada satupun

pengunjung lain. Mungkin karena hujan deras di luar. Tapi yang membuatku heran,


aku juga tidak melihat ada karyawan lain. Apakah hanya dia sendiri yang

menjalankan restoran? Apakah ia tidak berpikir untuk mencari karyawan? Atau

setidaknya ada anggota keluarga mungkin bisa membantunya. Rasa penasaran itu

tumbuh perlahan–aku ingin tahu, setidaknya, alasan paling sederhana dibalik ini.

Aku tidak memiliki ekspektasi tinggi kali ini, ekspektasi yang terlalu tinggi

hanya akan membuahkan kekecewaan mendalam seperti saat-saat sebelumnya.

Koki zaman sekarang terlalu sibuk menata rupa, melupakan rasa. Mereka

menganggap makanan hanya lukisan—hanya indah di luar namun hampa di dalam.

Hanya estetika tanpa jiwa.

Tenggelam dalam lamunanku, terdengar langkah kaki disertai desiran

sebuah troli makanan, berhasil membuatku terbangun dari lamunanku. Sang koki

bergerak penuh perhitungan, mendorong troli dengan lembut dan berhenti di depan

mejaku. Di atas troli itu, hidangan terlah tersusun rapi seperti barisan nada; anggun

dan mengundang rasa penasaran.

“Saya telah mempertimbangkan hidangan yang paling sesuai untukmu,

Tuan.” Koki itu berkata dengan lembut, namun tegas. Aku tidak tahu apa yang

membuatnya begitu yakin dengan rasa hidangannya.

Seperti yang Kuperintahkan, ia membawa dua hidangan dan satu minuman.

Semuanya terlihat telah disesuaikan dengan suasana dan kesannya padaku. Setiap

pilihan menjawab semua kebutuhan dan juga keinginanku.

“Saya yakin hidangan yang saya sajikan akan menjawab keraguanmu, Tuan

Smith, percayalah ini tidak hanya sembarang hidangan.” Ia berkata dengan percaya

diri, seakan-akan restorannya tidak akan gagal dari penilaianku. Apakah ia

menantangku? Baiklah akan kuterima tantanganmu!

“Tapi sebelum aku mulai menilai hidangan buatanmu, bolehkah aku

menanyakan satu hal terlebih dahulu?

“Tentu, Tuan. Apa yang ingin Anda tanyakan?”


“Apakah kau tidak memiliki karyawan? Atau setidaknya anggota keluarga

yang bersedia membantumu di restoran ini?”

“Saya memang tidak berniat mencari karyawan, Tuan. Sebelumnya, ibu dan

ayah sayalah yang mengelola restoran ini. Namun, kini mereka telah...”

“Cukup, aku mengerti. Tak perlu kau lanjutkan.”

Kuputuskan untuk tidak melanjutkan. Aku tak ingin simpati mengubah

nikmatnya makanan yang akan kusantap.

“Sekarang, bagaimana kalau kita mulai?” untuk memecah suasana yang

tidak nyaman ini, kuputuskan untuk mulai menilai hasil hidangan yang telah dibuat

oleh sang koki.

Mataku jatuh pada salah satu hidangan yang mencolok di depanku,

memancarkan kehangatan yang mengundang penasaran. Tanpa ragu aku

menyentuh sebuah gelas kaca mengkilap yang telah disiapkan oleh sang koki.

Aromanya menyentuh hidungku, aroma jahe yang menyejukkan sekaligus

menghangatkan jiwa. Dengan perlahan, aku meminum cairan hangat itu, merasakan

sensasi pedas-jahe yang menyejukkan tenggorokan dan membangkitkan kembali

metabolisme yang sempat terhenti, sehingga menjadi hidangan yang tepat untuk

diminum saat tubuh menggigil di tengah hujan.

Salah satu minuman khas yang telah turun-temurun, terutama di daerah

dingin. Meski kini dipadukan dengan mint dan lemon, khasiatnya tetap terjaga.

Justru menambah kesegaran tanpa menghilangkan rasa aslinya.

Tegukan dari wedang jahe membuatku puas, namun bukan saatnya untuk

lengah, aku harus menilai makanan yang telah menungguku dengan sabar.

Kupandang makanan yang segera menantiku, membawaku pada semangkuk

rawon dengan kuah khasnya berwarna hitam pekat—seakan-akan ingin menarik

diriku ke dalamnya. Aroma kluwek yang menyelinap pelan, daging empuk seolah

dimasak dengan cinta, meleleh dilidah seperti bisikan sunyi, rasa asin yang lembut,

manis yang pemalu, dan pahit yang memikat. Bumbu-bumbu yang diperhitungkan,


berpadu dengan kuah yang kaya rasa menciptakan sensasi hangat dan

menyenangkan, membuat melodi indah tiap suapan.

Diriku gemetar, tidak sabar apa yang disajikan oleh sang koki selanjutnya,

membuka penutup makanan terakhir, hanya untuk dikejutkan oleh sesuatu yang

sangat familiar denganku, Makanan yang telah lama tidak kumakan.

“Bubur ayam—Betawi?” Ucapku. Senyuman yang kutunjukkan pudar

seketika, digantikan oleh rasa keterkejutan di mukaku. Di saat yang sama aku

menoleh pada sang koki. Hanya senyuman yang ada di wajahnya.

Tidak punya banyak kesabaran, aku langsung memasukkan sesendok bubur

itu perlahan, kaldu ayam yang hangat dan dalam, sambal kacang yang

menghangatkan dada, lembutnya suwiran ayam. Mengingatkanku kepada diriku

yang dulu, seorang anak kecil yang ditelantarkan. Mengembalikan rasa yang sama,

gang gelap, dingin yang menggigit, dan tangan hangat yang menyelamatkanku.

“Makanlah, Nak. Hangatnya bubur ini akan menghangatkan jiwamu.”

Suaranya lembut, hangat, dan penuh kasih—layaknya selimut tebal yang

menyelimuti diriku. Suara keibuannya yang khas suara yang menenangkanku setiap

kali mimpi buruk datang, seorang yang sangat kuhormati, sangat kusayangi,

seorang yang kuanggap ibu kandungku sendiri.

Setiap suapan, setiap rasa, aku selalu mengingatnya. Kuah kaldu yang ia

buat, sambal yang tidak terlalu banyak, suwiran ayam yang rapi, aroma khas yang

pada makanan yang ia buat, dan bawang goreng yang banyak. Semuanya sangat

mirip dengan apa yang ibu angkatku buat dahulu.

“Bagaimana, Tuan Smith? Apakah Anda mulai mengingat sesuatu?”

Sesuatu? Apa maksudnya? Yang kuingat hanyalah rasa hidangannya yang

menyerupai buatan ibu angkatku. Tunggu! Jangan-jangan...

Ia tersenyum, “Ibu sering bercerita tentang ‘Rayan’—anak angkatnya yang

diadopsi oleh keluarga terkenal, itu Anda kan? Tuan Rayan Smith.”

Posting Komentar

0 Komentar