SMAN 1 MANDAU
Sentuhan Wayang Yang Mengubah Takdir
Aisyah Yulia Putri
Panji Dwi Septino lahir bertepatan dengan pertunjukan wayang kulit di bawah bulan purnama; konon itu pertanda bahwa ia ditakdirkan menjadi penerus suara leluhur. Namun, seiring tumbuh dewasa, Panji memandang wayang sebagai dongeng tua yang tidak relevan. Ia mengejar pendidikan ke luar negeri dan tenggelam dalam dunia modern yang gemerlap.
Suatu malam, telepon dari ayah menggugah kesadaran Panji. “Panji, kuliahmu sudah selesai. Kapan kamu pulang, Nak?” suara ayahnya lirih. Panji terdiam, merasa asing dengan kata “pulang”. Namun malam itu, dengan segelas kopi yang mulai dingin dan pikiran yang berkecamuk, ia akhirnya memesan tiket kembali ke Indonesia.
Kepulangannya tidak disambut gegap gempita. Hanya makan malam sederhana bersama ayah dan ibu. Seusai makan, ayah mengajaknya ke ruang penyimpanan wayang. “Ayah butuh bantuanmu, Ji. Sudah saatnya kamu menggantikan ayah sebagai dalang.” Panji mengangguk; hatinya ragu tapi tergerak.
Di tengah letihnya Panji, dia meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan teman-temannya yang jauh di sana. “Bagaimana? Sudah mulai terbiasa kah kamu dengan wayang-wayang itu?.”
Pertanyaan dari Alex membuat Panji termangu sejenak. “Terbiasa. Tapi ini tidak menghasilkan seberapa, Alex. Rasanya tak mungkin aku bekerja sebagai dalang seumur hidupku di dunia yang serba mahal ini.”
“Panji, Kau coba unggah saja video-video pementasan wayangmu itu di media sosial. Siapa tahu ada peminatnya.”Ucap Alex dengan tawa renyahnya. Sontak Panji mendapatkan ide. Dia mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju ruangan khusus wayang-wayangnya disimpan. Dengan semangat Panji menata wayang-wayangnya. Dia atur penerangan ruangan itu dengan lampu-lampu pentas.
Benar. Panji mulai merekam dirinya, mengenalkan wayang-wayangnya sebagai video edukasi. Histori, fungsi, jenis. Semua terunggah lengkap di akun media sosialnya. Setelah 5 jam berkutat dengan konten-kontennya, Panji pun memutuskan untuk beristirahat. Berharap besok ada kabar baik.
“Panji, bangun, Nak. Ada tamu yang mencarimu.” Pemuda berkulit pucat itu tersentak dari tidurnya. Ditatapnya ibunya nanar. “Siapa yang mencariku pagi buta begini, Bu? Suruh pulang saja.” Tukas Panji kembali menarik selimutnya.
“Pagi bagaimana? Matahari sudah tinggi, Panji. Hari sudah pukul satu siang.” Sahutan ibu membuat Panji terlonjak. Panji segera bangkit, membersihkan diri, dan bersiap-siap menjumpai tamunya.
Terpana. Seorang wanita muda dengan gaun berwarna bunga melur duduk manis di kursi ruang tamu keluarga Panji. Kata ibu, Shasya namanya. Dengan gugup, Panji bertanya apa gerangan shasya bertamu ke rumahnya.
“Aku lihat unggahan kakak mengenai wayang di akun media sosialku. Kebetulan aku Mahasiswi jurusan seni pertunjukan. Jujur saja, aku ingin mempelajari wayang sejak lama, Kak.” Ah, jadi Shasya berkenan menjadi muridnya. Pikir panji akan lebih menyenangkan jika ada teman untuk diajak bekerja sama, jadi dengan segera ia menyetuji permintaan gadis itu.
Sejak hari itu media sosial panji mulai dipenuhi oleh para penggemar wayang. Panji tersentuh. Ternyata di tengah majunya peradaban, ada banyak anak bangsa yang masih mencintai budaya warisan leluhurnya. Panji semakin semangat menerusi jejak ayahnya sebagai dalang. Dia mulai mengerti kenapa ayahnya begitu cinta pada dunia wayang ini.
Pada siang yang terik, Panji menerima panggilan dari sahabat karibnya di New York, Alex. “Yooo, brother, your life seems good, huh? Video-videomu masuk berandaku. Teman-teman yang lain juga mulai tertarik dengan pekerjaanmu itu.” Panji tanpa sadar tersenyum sumringah mendengar salam pembuka sahabatnya itu.
“Wayang apa yang sering kau mainkan itu, Panji? Arjuna, bukan?.” Tanya alex lagi penuh rasa penasaran.”
“ Benar. Aku suka karena Arjuna memiliki sifat yang seimbang antara kekuatan dan kelembutan. Dia kuat dalam pertarungan, tapi juga bijaksana dalam mengambil keputusan. Aku pikir itu sangat penting bagi seorang dalang seperti aku, untuk memiliki keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan dalam menghibur penonton."
Setelah berbincang selama dua puluh menit, Panji menyudahi panggilan dari Alex dan menghampiri Shasya yang sibuk dengan persiapan pagelaran wayangnya. Semenjak Panji dan Shasya sukses menjadi kreator konten di media sosial, mereka mulai dibanjiri undangan untuk mementaskan wayang di sekolah-sekolah.
"Shasya, kamu sudah memutuskan jenis wayang apa yang akan kamu mainkan nanti?" tanya Panji. Shasya berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku masih belum yakin, Panji. Apa kamu punya saran?"
Panji tersenyum. Ada banyak ide dalam pikirannya "Kalau aku, aku suka memainkan wayang kulit. Tapi kalau untuk anak-anak sekolah, mungkin wayang golek lebih cocok. Anak-anak suka dengan bentuknya yang lebih nyata."
Shasya mengangguk. "Iya, itu ide yang bagus. Aku rasa wayang golek memang lebih menarik untuk anak-anak. Aku akan mempertimbangkan itu."
Panji menambahkan, "Atau kalau kamu ingin sesuatu yang lebih interaktif, kamu bisa mencoba wayang beber. Anak-anak bisa melihat proses pembuatan wayang dan belajar tentang sejarahnya."
Shasya tersenyum. "Aku rasa aku akan memilih wayang golek. Aku suka dengan bentuknya yang unik dan menarik."
Malam itu, keluarga Panji berkumpul di meja makan, menikmati hidangan lezat yang disiapkan oleh ibunya. Ayahnya, yang pernah menjadi seorang dalang, tersenyum bangga melihat Panji. "Panji, ayah harus bilang, kamu benar-benar membuat kami bangga dengan kerja kerasmu. Kamu telah membuat nama keluarga kita menjadi lebih harum."
Ibunya menambahkan, "Iya, Panji. Kami tidak menyangka kamu akan benar-benar meneruskan usaha pentas wayang keluarga kita. Apalagi awalnya kamu tidak menyukai wayang dan sempat menentang."
Panji tersenyum, merasa sedikit malu tapi juga bangga dengan dirinya sendiri. "Aku tahu, Bu. Aku dulu tidak mengerti apa yang membuat wayang begitu penting bagi keluarga kita. Tapi sekarang aku menyadari bahwa wayang bukan hanya tentang hiburan, tapi juga tentang melestarikan budaya dan nilai-nilai luhur."
Ayahnya mengangguk setuju. "Benar sekali, Panji. Kamu telah menemukan passion-mu dan kami sangat bangga dengan itu. Kami percaya bahwa kamu akan terus menjadi lebih baik."
Mereka semua menikmati makan malam dengan hangat, merasa bahagia dan bangga dengan Panji yang telah menemukan jalannya sendiri. Sesuai dengan doa yang mereka langitkan di hari lahir anak semata wayang mereka tersebut.
Hari demi hari berlalu. Doa restu orang tua, serta kerja keras menghantarkan Panji menjadi pemuda yang dikagumi banyak generasi muda. Panji tidak hanya muncul di tayangan Televisi Nasional, tapi dia juga berhasil menggaet penghargaan di ajang-ajang kebudayaan bergengsi. Organisasi pecinta wayang nusantara yang dibangunnya bersama Shasya juga mulai menjamur ke berbagai daerah di Indonesia.
Anak bangsa yang sukses.
Itulah julukan Panji di forum-forum bincang budaya. Bagaimana keputusannya untuk kembali melestarikan dan menekuni budaya warisan leluhur membawanya sejauh ini. Panji berdiri di podium, memandang audiens yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga akademisi. Ia tersenyum dan memulai pidatonya.
"Selamat pagi, hadirin sekalian. Saya Panji, seorang dalang wayang, dan hari ini saya sangat terhormat untuk berbicara tentang topik yang sangat dekat dengan hati saya, yaitu wayang sebagai wujud ekspresi identitas bangsa Indonesia."
Ia melanjutkan, "Wayang bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia. Dalam wayang, kita dapat melihat refleksi dari kehidupan masyarakat, filosofi, dan spiritualitas kita."
Panji menunjukkan contoh wayang di belakangnya. "Melalui karakter-karakter wayang seperti Arjuna, Gatotkaca, dan Srikandi, kita dapat belajar tentang keberanian, kesabaran, dan kebijaksanaan. Wayang juga mengajarkan kita tentang pentingnya harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan."
Ia menekankan, "Wayang adalah bagian dari identitas bangsa kita, dan kita harus melestarikannya untuk generasi mendatang. Dengan memahami dan mengapresiasi wayang, kita dapat memahami lebih baik tentang diri kita sendiri dan budaya kita."
Sebelum mengakhiri pidatonya, Panji tersenyum penuh arti.
“Jadi, mari kita jadikan wayang sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari, sebagai pengingat akan nilai-nilai luhur dan identitas bangsa kita. Dengan melestarikan dan mengapresiasi wayang, kita dapat memperkuat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia dan mewariskan warisan budaya yang kaya kepada generasi mendatang. Terima kasih.
0 Komentar