CINTA DALAM SEPUCUK AKSARA - M.Khairul Fakhri



 M.Khairul Fakhri-SMKS Darel Hikmah Pekanbaru


CINTA DALAM SEPUCUK AKSARA


Nafasnya tersengal seperti kereta tua yang dipaksa menanjak, rambutnya berantakan bagai sarang burung yang diterpa badai. Ia menerobos pintu kelas dengan langkah setengah lari, seakan waktu adalah musuh yang tak pernah bisa ia kalahkan. Semua mata menoleh, tapi dia hanya tertunduk, menyembunyikan wajah di balik sisa pagi yang tergesa-gesa.  

Gadis itu bernama Fatimah Azkiyah, sejak kecil ia  seperti kupu-kupu kecil yang terbang dari satu bunga tradisi ke bunga lainnya—menyerap aroma cerita rakyat, menari bersama bayang-bayang wayang, dan menyimpan gamelan di dalam degup jantungnya. Budaya bukan hanya pelajaran baginya, tapi semacam mantra—membuat dunia yang dulu sederhana menjadi panggung penuh warna dan makna. Ketertarikannya pada kebudayaan bermula ketika orang tuanya memfasilitasi buku-buku bacaan sejak ia kecil. 

Hari ini mata kuliah Antropologi Budaya terasa lebih menarik dari biasanya—mungkin karena topiknya membahas mitos dan ritus dalam masyarakat adat, atau mungkin karena dosennya, Pak Hecto yang selalu menjelaskan dengan semangat dan senyum yang bikin jantung deg-degan. ia duduk di barisan ketiga, pura-pura mencatat padahal diam-diam terpesona mendengar cara beliau menggambarkan keragaman budaya Indonesia dengan begitu hidup, seolah kami sedang ikut menjelajah ke pelosok Nusantara. "Budaya bukan sekadar tarian atau pakaian tradisional," katanya, "tapi cara kita melihat dunia." Dan sejak saat itu, ia tahu, ia jatuh cinta—bukan hanya pada dosennya, tapi juga pada dunia antropologi itu sendiri.

Di sudut ruangan berukuran 4 x 3 meter, Ia termenung memikirkan tugas dari Pak Hecto. Kepalanya tertunduk di atas tumpukan buku-buku kuliahnya. Bau kopi yang tersisa dari gelas yang setengah kosong di sudut meja menguar perlahan, menyatu dengan aroma buku-buku yang berdebu. Kertas-kertas berserakan seperti pikirannya malam ini. Tubuhnya terkulai lelah, namun otaknya terus berputar memikirkan tugas yang harus dirampungkan dalam waktu 3 pekan. 

Kebudayaan Indonesia? Di mana harus mulai? Dari Sabang sampai Merauke, pulau-pulau yang tak terhitung jumlahnya, bahasa, adat, dan tradisi yang beragam. Setiap daerah punya cerita, dan ia merasa seolah  berada di tengah lautan budaya yang luas. Bagaimana bisa memilih satu, sedangkan semuanya penting?" lirihnya pelan, sementara angin luar jendela kamarnya terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Tugas ini tidak hanya menguji pengetahuannya, tapi juga hatinya, untuk bisa memahami kedalaman budaya yang mungkin belum pernah ia sentuh sebelumnya.

Di satu sisi, ia begitu mencintai antropologi, ilmu yang mempelajari kebudayaan, tetapi di sisi lain, ia takut akan ketidaknyamanan yang mungkin ia alami. Pikiran tentang desa yang jauh, jauh dari keluarga, dan jauh dari zona nyaman, membuatnya terombang-ambing antara rasa ingin tahu dan ketakutan yang menggigit. "Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan di sana? Bagaimana jika aku merasa asing dan kesepian?" tanyanya pada dirin sendiri. Konflik batin ini terus membelenggunya, seperti benang kusut yang sulit untuk dibuka.

“Kriiiinggggg!!!”

“Kriiinggggg!!!”

Suara telpon genggamnya berdering, terlihat nama Mar’ah, teman sekelasnya dan juga teman satu kelompok pada tugas Pak Hecto muncul di layar HP. Ia dengan segera mengangkat telepon dari Mar’ah. Ternyata Mar’ah mengabarkan bahwa ia mempunyai ide untuk meneliti kebudayaan di daerah Sulawesi Tenggara tepatnya di Pulau Buton. Seketika ia tersentak dan terdiam memikirkan pendapat dari temannya. Ia tidak pernah sekalipun keluar dari Pulau Jawa, ia tidak membayangkan bagaimana nantinya ia di sana. Perasaannya senang namun kekhawatiran tetap merasuki pikirannya. 

Kelompok Fatimah terdiri dari 8 orang, 4 laki-laki dan 4 perempuan. Fatimah, Mar’ah, Lusi, Reni, Deni, Ahmad, Faris, dan Bejok. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya hari yang ditentukan telah tiba, mereka berkumpul di rumah Deni, orang tua Deni yang akan mengantarkan mereka menuju bandara Soekarno Hatta. Perjalanan dari kota mereka yaitu Cianjur ke bandara memerlukan waktu kurang lebih 6 jam. Perjalanan tidak berhenti sampai di sini, 

  Begitu roda pesawat mencium tanah Baubau, udara hangat menyambut mereka seperti pelukan seorang ibu setelah lama berpisah. Langit membentang biru tanpa cela, seolah merestui langkah-langkah kecil mereka menuju dermaga. Di atas kapal yang bergoyang seperti buaian mimpi, mereka menatap laut yang menjelma menjadi hamparan cerita tak tertulis, airnya bercerita, angin berbisik, dan ombak menjadi nyanyian sunyi yang mengantar mereka ke gerbang Pulau Buton, tanah yang menunggu untuk disapa dengan rasa ingin tahu."

Mentari belum sepenuhnya membuka matanya saat sekelompok mahasiswa, dengan semangat yang membara seperti nyala obor di tengah malam, melangkahkan kaki ke tujuannya yaitu tanah eksotis Pulau Buton. Mereka bukan sekadar pengelana, melainkan pencari makna yang menyelam di lautan pengetahuan, menggali jejak budaya yang tersembunyi di balik senyum ramah penduduk dan bisik-bisik hutan tropis yang menyapa di setiap sudut perjalanan. Penduduk pulau itu sudah seperti keluarga sendiri, menyambut dengan hangat, sehingga mereka tidak sadar sedang berada di tempat asing. 

“Den, sebaiknya kita mulai proker kita besok, kita akan mengunjungi daerah Bau-Bau dan memulai penelitian di sana.” Ujar Lusi pada ketua kelompok kami. 

Pagi itu, angin laut Pulau Buton membawa semangat baru bagi Fatimah dan anggota kelompoknya yang tengah memulai petualangan ilmiahnya. Dengan ransel berisi buku catatan, kamera, dan rasa penasaran yang tak muat dijelaskan oleh teori, mereka menyeberang menuju Kota Baubau sebuah tempat yang konon menyimpan kisah unik tentang pertemuan dua dunia: bahasa lokal Cia-Cia dan aksara Korea Hangeul. Perjalanan mereka bukan sekadar lintas geografis, melainkan lintas budaya dan waktu. Apa yang membuat mereka tertarik? Bagi mereka, bagaimana mungkin sebuah aksara dari negeri ginseng bisa bersanding mesra dengan bahasa yang tumbuh dari tanah Buton? Itulah teka-teki yang ingin mereka pecahkan. Di dalam hati masing-masing, ada rasa ingin tahu yang tak bisa diredam—tentang identitas, warisan budaya, dan jembatan yang menghubungkan bangsa-bangsa melalui tulisan. 

Senja terakhir di Baubau turun perlahan, seolah enggan berpisah dengan para pencari makna. Di balik hangatnya senyum masyarakat dan lantunan Bahasa Cia-Cia yang kini ia pahami sepotong demi sepotong, ia menyadari bahwa penelitian ini lebih dari sekadar tugas akademik—ini adalah perjalanan jiwa. Ia belajar bahwa aksara Hangeul yang menari di atas kertas bukan hanya simbol bunyi, tapi juga jembatan cinta antara tradisi dan zaman. Masyarakat Baubau tak hanya membuka pintu rumah, tapi juga membuka pintu hati, menyambut langkah-langkah kecilnya dengan kebanggaan dan harapan. Di bawah langit Buton yang perlahan gelap, ia berjanji dalam diam: akan menjaga cerita ini, menghidupkannya lewat tulisan, dan menjadi bagian kecil dari mereka yang merawat budaya lewat sastra.


Posting Komentar

0 Komentar