Waktu yang Menyulam Kata
Karya: Aikori Lintang Ghassani
Sudah sebulan sejak Rhea dan ibunya memutuskan untuk tinggal
sementara waktu di rumah sang nenek. Hari itu Rhea terpikir untuk menjelajahi
segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Saat berada di atas loteng, ia terpaku
pada sebuah buku. Buku itu tidak mencolok, tidak berjudul, dan hanya berupa
tumpukkan kertas tua kecokelatan yang terikat rapi dengan tali rami. Namun,
ketika ia menyentuhnya, ada sesuatu yang menggetarkan pergelangan tangannya
seolah buku itu kenal siapa yang menyentuhnya.
Rhea tenggelam dalam bacaannya. Ia tak tahu bahwa di saat yang sama,
sesuatu yang lebih besar dari dirinya telah bergerak. Buku itu tidak hanya
kumpulan cerita biasa, melainkan jembatan antarzaman yang baru saja ia buka.
Karena terpikat, Rhea membaca lembaran tua itu halaman demi halaman. Ketika
sampai di halaman sembilan puluh, ia menemukan batu kecil. Tak lebih besar dari
kancing baju, berbentuk lonjong, dan terdapat ukiran aneh sekaligus indah di
permukaannya. Saat Rhea menyentuh batu itu, batunya terasa hangat bahkan
nyaris berdetak. Saat matanya menelusuri kalimat “Yang ingin mengerti, bukan
hanya tahu, akan menemukan jalan di antara kata-kata...” udara di sekelilingnya
mulai berubah, suara hujan menjadi samar, dan cahaya mulai memudar. Lalu,
dunia berganti wajah. Loteng tua rumah neneknya menghilang. Digantikan oleh
langit senja yang jingganya menyala di atas hamparan sawah basah. Angin
menerpa pipinya, membawa aroma tanah, kayu bakar, dan sesuatu yang mirip
aroma bunga kenanga. Dari kejauhan terdengar suara tabuhan kendang dari arah
perbukitan. Rhea berdiri di tengah pematang. Tangannya kosong, tidak ada buku,
tidak ada batu. Bingung, Rhea tak melihat bangunan modern satu pun. Hanya
alam dan suara-suara manusia yang berbicara dalam Bahasa Indonesia lama
bercampur dialek yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Rhea tidak
menyadari bahwa ia sedang kembali ke masa lalu, bukan, bukan ke masa kecilnya
atau ke masa kakek-neneknya, tapi ke masa ketika cerita belum ditulis dan budaya
belum diberi nama. Rhea tak yakin ia berada dimana, atau lebih tepatnya, kapan?
Belum jauh ia berjalan, terdengar suara seseorang menyapanya. “Kau dari
dusun mana?” Rhea menoleh cepat, seorang pemuda berdiri tak jauh darinya.
Pemuda itu mengenakan pakaian sederhana, kain tenun sebahu, selempang kain
kecil di pinggang, dan rambut yang sedikit acak seperti habis ditiup angin. Rhea
tidak menjawab pertanyaan pemuda itu karena ia sendiri masih bingung ia berada
dimana. Pemuda itu keheranan karena Rhea tidak menjawab pertanyaannya, kali
ini ia maju mendekati tempat Rhea berdiri dan bertanya lagi, “Hei! apa kau baik-
baik saja?” ucapnya khawatir.
“Aku...” suara Rhea tercekat. “Aku gak tahu aku berada dimana.” jawab
Rhea. Pemuda itu menatapnya lekat-lekat, tampak ragu sejenak, lalu ia tiba-tiba
memperkenalkan dirinya, “Namaku Jatna, aku tinggal di dusun kecil seberang
sana, tidak terlalu jauh dari sini. Kau sendirian?” tanyanya. Rhea mengangguk
pelan. “Kau datang dari tempat jauh ya?” Rhea mengangguk lagi, tapi kali ini
anggukannya lebih tegas. “Bagaimana kalau kita beranjak dari tempat ini dulu?
Sebelum malam turun sepenuhnya.” Rhea berpikir sejenak sebelum akhirnya
menyetujui ide Jatna.
Cahaya jingga senja terpantul di genangan air yang tersisa, menciptakan
kilau laksana serpihan kaca. “Kau bisa bermalam di rumahku. Tak jauh dari sini,
hanya melewati dua petak sawah lagi,” katanya ringan, seperti menawarkan
segelas air. Rhea hanya mengangguk pelan. Sejak tiba entah dari mana, semuanya
terasa seperti mimpi. Namun, langit yang perlahan menggelap dan suara jangkrik
yang riuh membuatnya sadar bahwa ini nyata. “Desa ini Bernama Giriwening.”
Jatna menjelaskan sambil melangkah hati-hati. “Orang-orang di sini biasa
menyapa pagi dengan matahari dan menutup malam dengan cerita.” katanya
menjelaskan. “Cerita?” Rhea mulai tertarik dengan penjelasan Jatna. “Ya. Di desa
ini setiap kejadian, mimpi, bahkan pertanda dari alam ditulis. Tak selalu panjang
atau indah, kadang cuma satu kalimat. Tapi kami menyimpannya sebagai
pengingat.” jawabnya. Langkah mereka melambat. “Orang sini percaya bahwa
alam tidak diam,” kata Jatna sambil menunjuk ke arah langit barat. “Burung yang
terbang rendah, angin yang datang dari arah tak biasa, atau suara gemericik air
yang berubah. Semua itu bisa jadi pesan.” Rhea memandangi hamparan sawah
yang mulai diliputi kabut tipis. “Dan kalian menulisnya?” tanya penasaran. “Ya,
kami menyebutnya catatan hidup.” ucap Jatna. Hening sejenak, hanya suara air
mengalir dari irigasi kecil yang terdengar. “Apakah kau selalu membawa kertas
dan pensil?” tanya Rhea saat menyadari bahwa terdapat selembar kertas yang
dilipat kecil dan pensil di tangan Jatna. Jatna tersenyum kecil. “Selalu, kadang
inspirasi datang dari seekor capung yang hinggap di ujung batang padi.”
imbuhnya.
Tak lama, mereka sampai sebuah rumah kayu yang berdiri di atas tanah
yang sedikit lebih tinggi. Rumah itu kecil, tapi hangat terlihat dari lentera minyak
yang tergantung di beranda. Jatna membuka pintu kayu yang berdecit. “Mas
Jatnaa!” teriakan riang menyambut dari dalam. Seorang bocah perempuan sekitar
umur enam tahun berlari keluar, “Ini Juwita, adikku,” katanya sembari mengacak
rambut adiknya. Malam itu, di tengah desa yang menyimpan banyak cerita Rhea
mulai mengerti, mungkin ini tak hanya pelarian waktu. Mungkin ini cara semesta
mengajarinya bagaimana membaca hidup.
Angin malam menyentuh wajah Rhea dengan lembut. Di beranda rumah
Jatna yang hanya ditopang pilar kayu tua beratap daun kelapa, langit malam
tergantung luas tanpa kabut sedikit pun. Jatna duduk bersila tak jauh darinya,
sambil menuliskan sesuatu di kertas lusuh yang tampak sudah sering dilipat. Rhea
mengamati tanpa banyak bicara. Setiap kali ujung pensil Jatna menyentuh
permukaan kertas, ia menulis seolah menyalin langsung dari langit. Tidak ada
ragu dalam geraknya, tapi juga tidak ada kesan ia sedang menulis “menulis puisi”
seperti yang Rhea kenal dari buku-buku pelajaran sekolah. “Ini catatan dari
malam ini!” Jatna berkata riang, lalu melanjutkan menulis. Rhea tidak menjawab.
Ia memandang langit, lalu mencuri pandang ke kertas Jatna. Kalimat-kalimat yang
ditulis pemuda itu bukan rangkaian kata indah bak penyair modern. Tapi di sana
ada nyawa. Ada rasa yang lebih dari sekedar bahasa. Dan saat itulah, pelan-pelan,
sesuatu mulai bergolak dalam hati Rhea.
Jatna bangkit dari duduknya, masuk sebentar ke dalam rumah, lalu
kembali dengan sebuah bundelan kertas yang diikat dengan tali rami. Usianya
mungkin sudah bertahun-tahun. Sudut-sudutnya sudah mulai menguning. Rhea
merasa tak asing dengan kertas-kertas tersebut. “Ini...semua tulisanmu?” Tanya
Rhea pelan. Jatna mengangguk tanpa melihat ke arahnya. “Aku tak tahu pasti ini
apa. Kadang aku hanya menuliskan hal-hal yang lewat di kepala. Cerita, nyanyian,
bahkan penggalan mimpi. Mungkin tak penting.” Rhea membuka pelan-pelan
lembar demi lembar. Tulisan tangan Jatna tidak selalu rapi, tapi penuh ritme. Ada
cerita tentang anak kecil yang bicara dengan burung, tentang perempuan yang
menyimpan matahari dalam tempayan, tentang suara gunung yang bisa
membisikkan rahasia. Semuanya terasa abadi. Tapi juga rapuh.
Dan tiba-tiba, Rhea teringat sesuatu, suatu kesadaran yang membuat
tubuhnya menegang. Bundel tulisan ini. Ia pernah melihatnya. Bukan hanya di
loteng rumah neneknya, tapi juga di sebuah arsip tua di sebuah museum kecil
yang ia kunjungi bersama sekolahnya. Tapi saat itu, kertas-kertas ini hanya
disebut sebagai “Catatan tak dikenal dari abad lalu.” Tidak ada nama penulis,
tidak ada informasi siapa Jatna, hanya disebut sebagai “orang desa tak diketahui.”
Rhea mendadak menggigil meski angin malam tak berubah. Ia melihat
Jatna yang kini memandang langit sambil bersenandung kecil. Sosok itu begitu
tenang, begitu penuh, tapi di masa depan, ia hanya akan menjadi sebaris catatan
tanpa nama. “Jatna....” panggilnya nyaris tak terdengar. “Apa kau pernah berpikir
tulisanmu bisa hidup lebih lama darimu?” Jatna menoleh, lalu tersenyum. “Tidak.
Tapi... aku rasa malam ini sudah cukup untuk membuatnya hidup, kan?” Rhea
menunduk. Kalimat itu menusuknya.
Pagi belum datang saat langit perlahan memucat. Jatna masih duduk di
sebelahnya, membolak-balik lembaran tulisannya yang mulai tertiup angin. Rhea
belum bisa memejamkan mata sejak percakapan mereka beberapa jam yang lalu.
Hatinya digerogoti oleh rasa yang tak bisa ia jelaskan, antara kehilangan dan
keharusan untuk kembali. Saat itu juga angin mendadak berubah, dingin dan
berat. Seperti menarik-narik tubuhnya dari segala arah. Jatna menoleh dengan alis
terangkat, sebelum suara kertas berterbangan menyusup ke dalam kepala Rhea.
Dunia sekitarnya mulai retak, seperti kaca yang dihantam suara tak terdengar.
Cahaya dari balik pegunungan di timur menyilaukan matanya, bukan karena fajar,
tapi karena sesuatu yang lebih besar. “Rhea?” suara Jatna terdengar jauh.
THUMP. Rhea terbangun dengan kepala terasa berat, napasnya tersengal
di tengah tumpukan debu dan barang-barang tua. Buku tua yang membawanya ke
masa lalu kini tergeletak tak jauh dari tangannya, tapi hal yang pertama yang ia
lihat bukan buku itu. Di pangkuannya, ada satu benda yang tidak ada sebelumnya,
seikat kertas lusuh, terikat tali rami. Tangannya bergetar saat membuka satu
lembar. Ia mengenali tulisan itu, tulisan Jatna. Namun, di halaman paling depan,
ada sesuatu yang tak pernah ia lihat di masa lalu, yaitu sebuah tanda tangan.
Tulisan tangan yang lebih tua, lebih bergetar, seolah ditulis bertahun-tahun setelah
pertemuan mereka. “Jatna Bujangga”
Tulisan itu berada tepat di bawahnya, sebuah kalimat tertulis dengan pena
berbeda. “Untuk yang pernah datang dari masa depan, dan menyalakan
keyakinan bahwa menulis bukan sia-sia.” Rhea membeku. Nama itu. Ia pernah
mendengarnya. Tergesa, ia menuruni tangga, menuju lemari kayu di ruang bawah.
Di dalamnya, tumpukan dokumen keluarga tersimpan rapi. Ia mengobrak-abrik
hingga matanya menangkap satu nama dalam dokumen silsilah tua.
Jatna Bujangga-kakek buyut dari pihak ibu, wafat tahun 1938.
Tubuhnya bergetar. Jatna, pemuda yang ia temui di masa lalu, yang
menulis puisi dari langit dan cerita dari kehidupan desa adalah kakek buyutnya
sendiri. Seseorang yang selama ini Rhea pikir hanya hidup sebagai sosok
bayangan dalam catatan keluarga, ternyata pernah duduk di beranda menatap
bintang bersamanya. Pernah menuliskan kisah-kisah yang nyaris dilupakan
sejarah, dan kini, dititipkan kembali padanya. Rhea terduduk, memeluk bundel
tulisan itu erat-erat. Di luar jendela, hujan mereda dan senja kembali menyala. Ia
menatap senja, kenangan jadi awal. Sastra hidup bersamanya kini.
0 Komentar