Menjemput Bakat Baru - Wulandari Simatupang



 Wulandari Simatupang_Menjemput Bakat Baru_SMAS Plus Taruna Andalan


Menjemput Bakat Baru


Kutarik kembali kain lembut yang menghangatkan tubuhku didalam

dinginnya ruangan. Jiwa dan raga ini rasanya seperti seorang mayat yang tak

berdaya, tubuhku enggan bangkit dari ranjang, sampai tiba-tiba suara ketukan pintu

mengagetkanku. Suara langkah kaki memasuki kamar itu, sentuhan lembut

mengenai bahuku. Dengan suara lembutnya ia membisikan sepatah kata pada

telingaku,

“Namira,bangun nak.”ujarnya. ’Namira’,ya itu namaku.

Sebuah nama yang diberikan oleh kakekku. Arti nama itu sendiri adalah

‘seorang bangsawan’. Pria tua yang sangat kusayangi itu memberikan nama itu

pada saat aku lahir. Kakekku ingin bayi itu menjadi perempuan yang dihormati dan

dihargai seperti seorang bangsawan.

Mulai beranjak kaki ini berjalan menuju dapur. Namun, ku alihkan langkah

dan pandangan ini ke arah belakang. Sekarang, tubuh ini sudah berada di ambang

pintu. Awan yang gelap menyelimuti langit, cuaca mulai mendung dan titik-titik air

mulai membasahi permukaan daerah itu. Cuaca saat ini sama seperti suasana hatiku.

Kemarin, di ruang olahraga saat aku mengambil bola voli, tiba-tiba sentuhan hangat

mengenai pundakku. Itu adalah guru yang mengajar pembelajaran bahasa Indonesia

di kelas kami. Sepatah kata melintas di telingaku, dia hanya berkata,

“Semangat, waktunya sebentar lagi!” ucapnya. Pikiran ini hanya bisa

terdiam dan tak mengerti akan maksud dari ucapan wanita itu. Teriakan dari

mulutku memanggil ibu untuk bertanya maksud pertanyaan guruku pada saat itu.

Tetapi, tak ada jawaban darinya. Baru saja tersadar bahwa ia sedang pergi ke

warung untuk membeli garam. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk

membersihkan diri. Genangan air dalam ember berkurang. Siraman air membasahi

tubuhku. Setelah usai, ku basuh dengan handuk lembut tubuhku. Seketika,

sambaran petir menembak telinga ini. Suara pecahan piring hampir mencopot

jantung. Kuberanikan diriku untuk mengecek asal suara pecahan piring itu berasal

dari mana. Dengan cepat serpihan kaca piring menembus dan melukai jari kaki


mungilku. Darah mulai mengalir dan mengotori lantai dapur rumah. Suara

dorongan pintu terdengar, ibu sudah kembali dari warung dan terentak melihatku,

“Astaga! Namira sayang kenapa bisa banyak darah di lantai, apa yang

terjadi dengan jari kakimu?”

“Tadi, piring tempat makanan di letakkan jatuh dan pecah namun, Namira

enggak tahu dari mana asal suara itu.” celetup Namira. Wanita paruh baya itu

mengambil obat merah dan kapas sebagai pembersih luka.

“Bu, tidak perlu, ibu akan terlambat bekerja, Namira saja.” celetup Namira.

Aku kira ibu akan melontarkan kata-kata pahit karena piring pecah, remah-remah

roti, dan selai kacang berserakan di dapur rumahku. Tetapi, ibu tak peduli. Setelah

mengobatiku, ibu menjadi terburu-buru yang membuatnya pergi ke kantor begitu

saja tanpa mengucapkan salam.

Diri ini rasanya seperti hantu yang tak terlihat. Sekarang aku bingung

dengan apa yang harus kulakukan. Kedipan mataku melihat ke arah benda bundar

yang tergantung di dinding rumahku. Jarum pendek menunjukkan angka delapan


dan jarum panjang menunjuk pada angka lima. Astaga, sudah jam 08.25, benar-

benar tak tahu tahu lagi apa yang harus dilakukan.


Hari ini kuputuskan untuk tidak sekolah padahal tubuh ini tak sakit.

Kubayangkan betapa tersiksanya teman-temanku hari ini karena pelajaran Bahasa

Indonesia. Walaupun beberapa teman-temanku menyukai pembelajaran itu,

berbeda denganku yang begitu malas saat pembelajaran Bahasa Indonesia. Nilai

Bahasa Indonesia para warga di kelas berbeda jauh dengan nilai yang Namira

miliki. Nilai milik mereka jauh lebih tinggi daripada nilaiku yang ada di titik

terendah.

Hari hujan, udara dingin kembali menyelimuti diri ini. Kaki ini pun

melangkah masuk ke arah kamar kemudian menaiki kasur lembut. Titik-titik hujan

membasahi jendela kamar, suara petir membisingkan telinga, namun tetap saja

kupejamkan kelopak mataku. Setelah tertidur aku terbangun. Lensa mata ini

menatap kearah jendela. Cahaya sang mentari mengintip dari sela-sela jendela.

Terlihat titik-titik embun mengelilingi jendela kamar. Awan sudah kembali cerah


dan menyinari dunia serta hati ini. Aku beranjak turun dari kasur. Kemudian tiba-

tiba mata ini menunjuk tajam pada tanggal hari ini yang ada di kalender.


“Astaga, hari ini ayah pulang dan ini tanggal ulang tahunnya, apa yang harus

kulakukan?” monologku dengan hati yang dilanda kesedihan dan kepanikan.

Bersamaan dengan itu, Suara putaran roda mobil mendekat ke depan rumahku dan

berhenti pas di depan rumah. Itu ibuku, langsung aku berlari menuju keluar

kemudian membukakan gerbang agar tuan putri dan mobilnya dapat masuk.

Usai keluar dari mobil, aku dan ibu sejenak bercerita tentang hari ini.

Diitengah pembicaraan, aku segera memberi tau ibu acara penting hari ini

“Ohh iya, astaga ibu lupa Nak, kalau saja kamu tidak mengingatkan pasti

ibu lupa” celetupnya. Ibu segera mengajakku untuk pergi ke toko kue. Kami pergi

menggunakan sepeda karena tokonya tidak terlalu jauh. Gowesan pedal yang

kencang mengejar ibu yang sudah berada paling depan. Ya, ibu adalah seorang

pengendara sepeda yang paling hebat pada masa sekolahnya, ia sering mendapat

juara dalam turnamen balap sepeda saat itu.

Akhirnya,kami sudah sampai. Saat masuk ke bilik toko, mata ini

menajamkan pandangan pada kue coklat berbentuk bundar yang ditaburi meses

coklat yang manis. Pasti ayah menyukai kue itu. Aroma yang manis menusuk

hidung, lezat sepertinya. Ibu juga sudah setuju untuk membeli kue itu. Walau

harganya meroket, ibu dengan mantap membawa ke kasir. Kue dan tak lupa lilin

dengan angka empat dan dua, sesuai umur ayah empat puluh dua, dibungkus dalam

kantong yang bertulisan nama tokonya.

Sesampainya di rumah langsung saja ku letakkan kue itu dipiring cantik

berwarna hijau tua. Tangan ibu menancapkan lilin dibagian tengah kue itu.

Kemudian, dinyalakannya lilin itu dengan api. Gitar coklat pemberian kakek

diletakkan pada sofa empuk di rumah itu. Jari-jari ini siap memainkan senar gitar

dengan nada lagu ‘selamat ulang tahun’. Ibu dan Namira sudah bersiap. Gerbang

rumah didorong oleh seseorang yang kemudian masuk ke dalam rumah. Pada saat

itu, langsung kumainkan gitar dan ibu bernyanyi. Ayah yang berada di ambang

pintu rumah ikut menyanyi dengan suara emasnya. Kehangatan dan kebahagiaan

menyelimuti ruangan itu.


Pada saat berdoa untuk menyampaikan permintaan, beliau berkata bahwa ia

ingin agar anaknya yakni Namira menjadi seorang penulis terkenal. Ucapan doa

yang disampaikan ayah membuat diri ini tercenggang. Air mata mengalir dan

membasahi paras muka anggun Namira.

“Kenapa kamu menangis Mira? ayah hanya mengiginkan hal itu. Dengan

doa yang mulut ini ucapkan kiranya itu semua terwujud. Namira juga harus rajin

belajar pelajaran Bahasa Indonesia dan lebih sering membaca ya.” ujar pria paruh

baya itu padaku. Niat untuk belajar Bahasa Indonesia saat itu mulai tumbuh dalam

hati ini.

Sore berganti malam. Awan gelap menutupi malam itu, sinar rembulan dan

bintang menyinari malam itu. Aku sedang duduk di kursi yang ada di taman

rumahku. Tiba-tiba dari arah belakang tepukan lembut menyentuh bahu. Itu ayah,

pas sekali saat itu aku membaca buku, mata ini berputar kearah kanan kearah kiri

dan membaca setiap kata demi kata. Ayah langsung memujiku.

“Namira berjanji akan menjadi penulis hebat yang terkenal, yah. Maka dari

itu Namira akan rajin membaca dan belajar.” kata mulut ini. Simpul senyuman

tersirat.

“Selamat tidur anak ayah semoga mimpi indah.” kata ayah padaku. Pria baik

itu mengantarkan diri ini ke kamar dan dia pun pergi ke kamarnya.

Keesokan hari aku berangkat sekolah, tak lupa kusalami dan kucium tangan

kedua orangtuaku dan tiba-tiba ibu melontarkan kata-kata,

“Semangat Mira, waktunya sebentar lagi!” ucapnya dengan cepat. Namun,

aku terpikir dengan kata-kata yang juga disampaikan guruku saat itu sama dengan

kalimat ibu yang baru saja diucapkannya. Baru saja aku masuk ke dalam kelas suara

gemuruh seluruh siswa berkata,

“Mira kamu dipanggil ke kantor guru sama Bu Wulan!” teriak mereka.

Langkah kaki ini memasuki kantor guru. Mulai berbincang singkat dengan Bu

Wulan. Di tengah-tengah perbincangan, guru itu menyampaikan bahwa ia ingin

Namira mengikuti lomba menulis cerpen dengan tema ‘Apa Tanda Bahasa

Indonesia bagi Negara Kesatuan Indonesia’. Masih tak terpikir olehku bahwa

guruku memilih muridnya yang tak bisa apa-apa dalam pebelajaran Bahasa


Indonesia. Tetapi, aku langsung teringat permintaan ayah kala itu, Namira harus

menjadi penulis. Pikiranku gundah namun, benakku berkata jika tidak ku mulai saat

ini, kapan lagi. Aku bercerita ke orangtuaku, mereka sangat mendukungku.

Sesampainya di rumah, segera kucoba menulis suatu rancangan cerpen

dengan tema yang telah ditentukan itu. Selama di sekolah, dua minggu kuhabiskan

dalam ruang perpustakaan untuk mengembangkan cerpenku.

“Mira, dari tema cerpen kamu itu, kita harus ingat, tanpa adanya Bahasa

Indonesia, negara ini tak akan bersatu. Bahasa Indonesia yang menyatukan kita

semua ditengah beragamnya budaya dan bahasa. Karena itu kita harus jaga, jangan

sampai tergerus oleh bahasa gaul.” ujar guruku itu. Cukup membuatku mengerti.

Seminggu berlalu, cerpenku sudah terkirim dan hari ini adalah

pengumuman pemenang. Aku sudah menduduki salah satu bangku dan siap

mendengar apapun hasilnya.

“ Juara satu lomba menulis cerpen tahun ini, jatuh kepada...” jantungku

bedegup hebat, namaku sedari tadi tidak tersebut dan ini pengumuman terakhir.

“Namira!” dengan lantang namaku disebut. Aku sangat bahagia. Ini

pengalaman pertama yang mengesankan. Aku dengan bangga berdiri diatas

paggung dengan piala juara satuku. Sampai saat ini tak terpikir olehku bahwa aku

dapat menjadi pemenang dalam lomba menulis cerpen. Memang benar apa yang

dikatakan Bu Wulan bahwa ‘Niat dari hati adalah awal keberhasilan’.

Posting Komentar

0 Komentar