Bakar Tongkang: Nyala Warisan Leluhur dari Bagansiapiapi - Marsel Yansen Yosvara

 

Bakar Tongkang: Nyala Warisan Leluhur dari Bagansiapiapi
Karya: Marsel Yansen Yosvara

Setiap tahun di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi  Riau, suasana berubah menjadi lautan warna, bunyi, dan doa. Kota yang biasanya  tenang mendadak dipenuhi ribuan orang dari berbagai daerah, bahkan  mancanegara. Inilah hari besar yang paling dinanti warga yaitu "Festival Bakar  Tongkang", sebuah tradisi nenek moyang yang menjadi lambang kesetiaan dan  rasa syukur kepada para leluhur dan dewa. 

Pagi hari, aroma dupa memenuhi udara kota. Asap lembutnya menari-nari  di antara deretan lampion merah yang bergantungan di sepanjang jalan kota.  Semua bangunan di sepanjang jalan berhias kain merah dan kuning emas, warna  yang dipercaya membawa keberuntungan dan kemakmuran. Musik tradisional menggema dari kejauhan yaitu suara tambur, gong, dan simbal berpadu ritmis,  menandakan bahwa hari suci itu telah tiba. 

Orang-orang berbondong-bondong, membawa persembahan, kamera, dan  rasa kagum. Sebagian mengenakan pakaian tradisional Tionghoa berwarna cerah,  sebagian lagi berpakaian santai, tetapi semuanya memancarkan semangat yang  sama karena ingin menjadi bagian dari keajaiban budaya yang hidup di kota kecil  di tepi laut ini. 

Di Kelenteng Ing Hok Kiong, yaitu pusat dari seluruh ritual, suasana  terasa khidmat sekaligus meriah. Di halaman kelenteng, dupa besar berbaris di  wadah perunggu. Asapnya membumbung, membentuk kabut harum yang  menyelimuti patung Dewa Kie Ong Ya, pelindung laut dan panutan bagi para  warga. Bunyi gong dipukul perlahan, mengiringi doa yang menuju langit. Doa  dipanjatkan untuk keselamatan, keberuntungan, dan kesejahteraan bagi keluarga  dan kota diucapkan seluruh warga di sana. 

Warga datang silih berganti, menundukkan kepala, menyalakan dupa, lalu  menancapkannya di altar. Anak-anak menatap kagum, sementara orang tua  mereka berbisik pelan, menceritakan kisah leluhur yang dahulu berlayar dari  Tiongkok dan memutuskan untuk tinggal di tanah ini. Menurut legenda, ketika mereka tiba di Bagansiapiapi ratusan tahun silam, kapal mereka ditarik ke darat  dan dibakar. Hal itu merupakan tanda tekad bulat bahwa mereka tidak akan  kembali, melainkan akan membangun kehidupan baru di Nusantara. Dari sanalah  tradisi Bakar Tongkang berasal. 

Menjelang siang, suasana kota mencapai puncak keramaian. Replika kapal  tongkang yang megah dikeluarkan dari kelenteng. Kapal ini dibuat dengan tangan  para pengrajin lokal selama berbulan-bulan. Tidak ada satu pun paku logam  digunakan; semua bagian disatukan dengan pasak kayu tradisional, sebagaimana  kapal kuno leluhur mereka. Tubuh kapal dihiasi dengan ukiran naga emas, simbol  kekuatan dan kemuliaan, serta burung hong yang melambangkan keberuntungan  dan keharmonisan. Tulisan Mandarin yang terlukis di badan kapal berisi doa-doa  untuk rezeki, kesehatan, dan kedamaian. 

Setiap warna pada kapal memiliki makna yang dalam. Merah  mendominasi badan kapal, warna ini berarti keberanian, kebahagiaan, dan  semangat hidup. Kuning emas melingkari bagian ornamen, menggambarkan  kemuliaan dan harapan akan kemakmuran rakyat. Sementara itu, layar putih yang  tegak menjulang di atas kapal menyimbolkan kesucian niat dan keikhlasan hati  saat berdoa kepada para dewa dan leluhur. Di puncak layar, sebuah bendera kecil  berkibar, dihiasi simbol naga dan tulisan keberuntungan, seakan membawa doa  agar seluruh niat yang tulus itu sampai ke langit. 

Ketika arak-arakan dimulai, suara tambur kembali menggema. Barongsai  menari di depan iring-iringan, tubuhnya melengkung lentur mengikuti irama yang  cepat. Di sisi lain, para tatung atau orang yang dipercaya dirasuki roh leluhur  berjalan perlahan, wajah mereka hening tanpa ekspresi, menambah aura mistis  yang menyelimuti suasana. Beberapa di antara mereka menusukkan benda tajam  ke tubuh tanpa luka, sebagai bukti keyakinan spiritual yang dalam. 

Kapal tongkang diusung oleh puluhan pemuda, bahu mereka bergetar saat menahan berat replika besar itu.

Di sepanjang jalan, masyarakat berjejer sambil  bersorak, bertepuk tangan, dan mengabadikan momen dengan kamera ponselnya. Bau dupa, keringat, dan debu bercampur menjadi satu, membentuk aroma khas  festival yang sulit dilupakan. 

Arak-arakan berjalan perlahan menuju lapangan tempat pembakaran  berlangsung. Matahari semakin terik, namun semangat tak surut. Ribuan orang  mengikuti di belakang, membawa bendera, lilin, dan doa di dalam hati masing masing. Sesekali, suara teriakan “Bakar Tongkang!” menggema, disambut tepuk  tangan meriah. 

Menjelang sore, kapal diletakkan di tengah lapangan luas. Dikelilingi dupa  besar yang ditancapkan, sementara meja-meja persembahan dipenuhi buah, kue,  dan sesaji. Lampion mulai dinyalakan satu per satu, menciptakan cahaya merah  keemasan yang lembut. Bayangan kapal menjulang megah di bawah langit senja,  seolah siap berlayar sekali lagi, kali ini menuju dunia roh dan doa. 

Ketika malam tiba, seluruh kota seolah menahan napas. Obor dinyalakan.  Api pertama menyentuh bagian dasar kapal. Perlahan, lidah-lidah api menjilat  permukaan kayu, lalu membesar, melahap seluruh tubuh kapal dengan suara  gemeretak. Nyala jingga dan merah menari di udara malam, menciptakan  pemandangan yang memukau. 

Ribuan mata menatap tak berkedip. Beberapa orang berdoa dalam hati,  sementara yang lain menatap langit dengan tangan terlipat. Asap mengepul tebal  ke langit, membawa doa dan harapan. Warga percaya bahwa arah angin yang  membawa asap akan menunjukkan dari mana rezeki akan datang di tahun itu. Bila  asap menuju laut, rezeki akan datang dari lautan; bila ke darat, maka keberkahan  akan datang dari hasil bumi dan perdagangan. 

Detik paling mendebarkan adalah ketika tiang layar kapal perlahan roboh.  Semua mata menunggu arah jatuhnya. Saat tiang itu akhirnya ambruk, suara  sorak-sorai pun meledak. Ada yang berteriak gembira, ada yang menitikkan air  mata. Wajah-wajah itu menyala oleh cahaya api, seolah disinari harapan  baru. Malam terus berlalu. Api yang membakar kapal semakin membesar, hingga akhirnya tinggal abu. Namun dari abu itulah lahir semangat baru, semangat  persatuan, syukur, dan tekad untuk terus melangkah ke depan. 

Setelah api padam, sebagian warga mengumpulkan abu kapal dan  membawanya pulang. Abu itu dianggap suci, dipercaya membawa keberuntungan  dan perlindungan. Sementara itu, di sudut lapangan, anak-anak berlarian di bawah  lampion yang berayun lembut ditiup angin malam. Tawa mereka berpadu dengan  alunan musik tradisional yang kembali dimainkan, menandakan sukacita setelah  ritual suci berakhir. 

Festival Bakar Tongkang bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan  juga simbol persaudaraan dan penghormatan terhadap sejarah. Ia mengingatkan  manusia bahwa keberanian leluhur untuk meninggalkan tanah kelahiran,  membakar kapal, dan memulai hidup baru adalah cerminan dari tekad yang tak  tergoyahkan. Setiap kobaran api di festival ini adalah lambang semangat yang tak  pernah padam dalam hati masyarakat Bagansiapiapi. 

Keesokan harinya, kota kembali tenang. Namun, aroma dupa masih  tercium di udara, dan sisa abu tongkang masih bertebaran di lapangan. Di jalan jalan, bendera dan lampion masih tergantung, mengingatkan bahwa kebahagiaan  dan kebersamaan baru saja dirayakan. 

Di wajah-wajah warga, tersisa senyum puas dan haru. Mereka tahu, meski  tongkang itu telah menjadi abu, maknanya tidak akan pernah hilang. Api mungkin  padam, tetapi nyala keyakinan tetap hidup di dada mereka. Nyala yang akan terus  diwariskan kepada generasi berikutnya. 

Tradisi ini sudah menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat  Bagansiapiapi. Ia menyatukan berbagai etnis, agama, dan lapisan sosial dalam  satu makna: cinta terhadap leluhur, tanah air, dan kehidupan itu sendiri. Setiap  tahun, ketika genderang kembali ditabuh dan aroma dupa kembali memenuhi  udara, masyarakat tahu bahwa Bakar Tongkang bukan sekadar ritual, ia adalah  cerita tentang manusia, harapan, dan api yang tak pernah padam.

Posting Komentar

0 Komentar