Setiap tahun di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, suasana berubah menjadi lautan warna, bunyi, dan doa. Kota yang biasanya tenang mendadak dipenuhi ribuan orang dari berbagai daerah, bahkan mancanegara. Inilah hari besar yang paling dinanti warga yaitu "Festival Bakar Tongkang", sebuah tradisi nenek moyang yang menjadi lambang kesetiaan dan rasa syukur kepada para leluhur dan dewa.
Pagi hari, aroma dupa memenuhi udara kota. Asap lembutnya menari-nari di antara deretan lampion merah yang bergantungan di sepanjang jalan kota. Semua bangunan di sepanjang jalan berhias kain merah dan kuning emas, warna yang dipercaya membawa keberuntungan dan kemakmuran. Musik tradisional menggema dari kejauhan yaitu suara tambur, gong, dan simbal berpadu ritmis, menandakan bahwa hari suci itu telah tiba.
Orang-orang berbondong-bondong, membawa persembahan, kamera, dan rasa kagum. Sebagian mengenakan pakaian tradisional Tionghoa berwarna cerah, sebagian lagi berpakaian santai, tetapi semuanya memancarkan semangat yang sama karena ingin menjadi bagian dari keajaiban budaya yang hidup di kota kecil di tepi laut ini.
Di Kelenteng Ing Hok Kiong, yaitu pusat dari seluruh ritual, suasana terasa khidmat sekaligus meriah. Di halaman kelenteng, dupa besar berbaris di wadah perunggu. Asapnya membumbung, membentuk kabut harum yang menyelimuti patung Dewa Kie Ong Ya, pelindung laut dan panutan bagi para warga. Bunyi gong dipukul perlahan, mengiringi doa yang menuju langit. Doa dipanjatkan untuk keselamatan, keberuntungan, dan kesejahteraan bagi keluarga dan kota diucapkan seluruh warga di sana.
Warga datang silih berganti, menundukkan kepala, menyalakan dupa, lalu menancapkannya di altar. Anak-anak menatap kagum, sementara orang tua mereka berbisik pelan, menceritakan kisah leluhur yang dahulu berlayar dari Tiongkok dan memutuskan untuk tinggal di tanah ini. Menurut legenda, ketika mereka tiba di Bagansiapiapi ratusan tahun silam, kapal mereka ditarik ke darat dan dibakar. Hal itu merupakan tanda tekad bulat bahwa mereka tidak akan kembali, melainkan akan membangun kehidupan baru di Nusantara. Dari sanalah tradisi Bakar Tongkang berasal.
Menjelang siang, suasana kota mencapai puncak keramaian. Replika kapal tongkang yang megah dikeluarkan dari kelenteng. Kapal ini dibuat dengan tangan para pengrajin lokal selama berbulan-bulan. Tidak ada satu pun paku logam digunakan; semua bagian disatukan dengan pasak kayu tradisional, sebagaimana kapal kuno leluhur mereka. Tubuh kapal dihiasi dengan ukiran naga emas, simbol kekuatan dan kemuliaan, serta burung hong yang melambangkan keberuntungan dan keharmonisan. Tulisan Mandarin yang terlukis di badan kapal berisi doa-doa untuk rezeki, kesehatan, dan kedamaian.
Setiap warna pada kapal memiliki makna yang dalam. Merah mendominasi badan kapal, warna ini berarti keberanian, kebahagiaan, dan semangat hidup. Kuning emas melingkari bagian ornamen, menggambarkan kemuliaan dan harapan akan kemakmuran rakyat. Sementara itu, layar putih yang tegak menjulang di atas kapal menyimbolkan kesucian niat dan keikhlasan hati saat berdoa kepada para dewa dan leluhur. Di puncak layar, sebuah bendera kecil berkibar, dihiasi simbol naga dan tulisan keberuntungan, seakan membawa doa agar seluruh niat yang tulus itu sampai ke langit.
Ketika arak-arakan dimulai, suara tambur kembali menggema. Barongsai menari di depan iring-iringan, tubuhnya melengkung lentur mengikuti irama yang cepat. Di sisi lain, para tatung atau orang yang dipercaya dirasuki roh leluhur berjalan perlahan, wajah mereka hening tanpa ekspresi, menambah aura mistis yang menyelimuti suasana. Beberapa di antara mereka menusukkan benda tajam ke tubuh tanpa luka, sebagai bukti keyakinan spiritual yang dalam.
Kapal tongkang diusung oleh puluhan pemuda, bahu mereka bergetar saat menahan berat replika besar itu.
Di sepanjang jalan, masyarakat berjejer sambil bersorak, bertepuk tangan, dan mengabadikan momen dengan kamera ponselnya. Bau dupa, keringat, dan debu bercampur menjadi satu, membentuk aroma khas festival yang sulit dilupakan.
Arak-arakan berjalan perlahan menuju lapangan tempat pembakaran berlangsung. Matahari semakin terik, namun semangat tak surut. Ribuan orang mengikuti di belakang, membawa bendera, lilin, dan doa di dalam hati masing masing. Sesekali, suara teriakan “Bakar Tongkang!” menggema, disambut tepuk tangan meriah.
Menjelang sore, kapal diletakkan di tengah lapangan luas. Dikelilingi dupa besar yang ditancapkan, sementara meja-meja persembahan dipenuhi buah, kue, dan sesaji. Lampion mulai dinyalakan satu per satu, menciptakan cahaya merah keemasan yang lembut. Bayangan kapal menjulang megah di bawah langit senja, seolah siap berlayar sekali lagi, kali ini menuju dunia roh dan doa.
Ketika malam tiba, seluruh kota seolah menahan napas. Obor dinyalakan. Api pertama menyentuh bagian dasar kapal. Perlahan, lidah-lidah api menjilat permukaan kayu, lalu membesar, melahap seluruh tubuh kapal dengan suara gemeretak. Nyala jingga dan merah menari di udara malam, menciptakan pemandangan yang memukau.
Ribuan mata menatap tak berkedip. Beberapa orang berdoa dalam hati, sementara yang lain menatap langit dengan tangan terlipat. Asap mengepul tebal ke langit, membawa doa dan harapan. Warga percaya bahwa arah angin yang membawa asap akan menunjukkan dari mana rezeki akan datang di tahun itu. Bila asap menuju laut, rezeki akan datang dari lautan; bila ke darat, maka keberkahan akan datang dari hasil bumi dan perdagangan.
Detik paling mendebarkan adalah ketika tiang layar kapal perlahan roboh. Semua mata menunggu arah jatuhnya. Saat tiang itu akhirnya ambruk, suara sorak-sorai pun meledak. Ada yang berteriak gembira, ada yang menitikkan air mata. Wajah-wajah itu menyala oleh cahaya api, seolah disinari harapan baru. Malam terus berlalu. Api yang membakar kapal semakin membesar, hingga akhirnya tinggal abu. Namun dari abu itulah lahir semangat baru, semangat persatuan, syukur, dan tekad untuk terus melangkah ke depan.
Setelah api padam, sebagian warga mengumpulkan abu kapal dan membawanya pulang. Abu itu dianggap suci, dipercaya membawa keberuntungan dan perlindungan. Sementara itu, di sudut lapangan, anak-anak berlarian di bawah lampion yang berayun lembut ditiup angin malam. Tawa mereka berpadu dengan alunan musik tradisional yang kembali dimainkan, menandakan sukacita setelah ritual suci berakhir.
Festival Bakar Tongkang bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan juga simbol persaudaraan dan penghormatan terhadap sejarah. Ia mengingatkan manusia bahwa keberanian leluhur untuk meninggalkan tanah kelahiran, membakar kapal, dan memulai hidup baru adalah cerminan dari tekad yang tak tergoyahkan. Setiap kobaran api di festival ini adalah lambang semangat yang tak pernah padam dalam hati masyarakat Bagansiapiapi.
Keesokan harinya, kota kembali tenang. Namun, aroma dupa masih tercium di udara, dan sisa abu tongkang masih bertebaran di lapangan. Di jalan jalan, bendera dan lampion masih tergantung, mengingatkan bahwa kebahagiaan dan kebersamaan baru saja dirayakan.
Di wajah-wajah warga, tersisa senyum puas dan haru. Mereka tahu, meski tongkang itu telah menjadi abu, maknanya tidak akan pernah hilang. Api mungkin padam, tetapi nyala keyakinan tetap hidup di dada mereka. Nyala yang akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Tradisi ini sudah menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Bagansiapiapi. Ia menyatukan berbagai etnis, agama, dan lapisan sosial dalam satu makna: cinta terhadap leluhur, tanah air, dan kehidupan itu sendiri. Setiap tahun, ketika genderang kembali ditabuh dan aroma dupa kembali memenuhi udara, masyarakat tahu bahwa Bakar Tongkang bukan sekadar ritual, ia adalah cerita tentang manusia, harapan, dan api yang tak pernah padam.
.png)
0 Komentar