Balai Salaso Jatuh: Rumah adat kebanggaan Masyarakat melayu - Lutfan Alarik S.

 


Balai Salaso Jatuh: Rumah adat kebanggaan Masyarakat melayu
Karya: Lutfan Alarik S.

Senja berlabuh dengan anggun di atas Balai Salaso Jatuh, rumah adat  kebanggaan masyarakat Melayu Riau. Bangunan itu berdiri gagah di atas tiang tiang kayu yang kokoh, menjulang seperti hendak menyentuh langit, sebuah  representasi dari filosofi hidup Melayu yang menjunjung tinggi keagamaan dan  adat istiadat. Dinding kayunya, yang terbuat dari kayu pilihan seperti meranti dan  punak, memancarkan warna cokelat tua yang hangat, dihiasi ukiran-ukiran rumit  berwarna emas dan merah marun. 

 Pandangan mata tak henti terpukau pada detail ukiran yang  menghiasi setiap inci bangunan. Di atas bubungan atap, terdapat Selembayung atau  Sulo Bayung, hiasan puncak atap yang bentuknya melengkung menyilang ke atas,  melambangkan kebesaran budi dan ketaatan kepada Tuhan. Di sepanjang dinding,  ukiran ikan lomek tampak hidup, coraknya yang berombak mengajarkan filosofi  ketekunan, kerukunan, dan kemanisan hidup. Sementara itu, motif Pucuk Rebung  yang meruncing pada ventilasi dan pagar selasar, melambangkan harapan akan  pertumbuhan yang berkesinambungan dan sikap rendah hati. 

 Ciri khas utama rumah ini adalah selasar (teras) yang  lantainya dibuat lebih rendah dari ruang tengah. Lantai selasar yang "jatuh" ini,  dibuat berpasangan sehingga dijuluki "Selaso Jatuh Kembar," berfungsi sebagai  tempat berkumpul dan bermusyawarah, sebuah ruang komunal yang menghargai  kesetaraan dalam dialog. Saat aku berdiri di sini, udara sore yang lembap membawa  aroma tanah basah bercampur wangi khas bunga-bunga tropis. Bau kayu lama yang  bercampur dengan minyak pelumas alami (getah) terasa menenangkan. 

 Malam ini, Balai Salaso Jatuh disibukkan dengan  musyawarah adat. Pada rapat ini mereka membahas tentang persiapan untuk  menyambut hari raya idul fitri dengan membuat lampu colok yang telah menjadi  tradisi Masyarakat melayu sejak dahulu kala. Adapun puncak dari lampu colok ini 

yaitu malam dua puluh tujuh Ramadhan atau malam nuzulul qur’an. Mereka  mengadakan rapat ini jauh jauh hari agar tradisi ini dapat berjalan dengan lancar. 

 Musyawarah dimulai. Suara lembut Datuk Penghulu,  pemimpin rapat, terdengar merdu, melantunkan petuah dan pantun-pantun yang  sarat makna. Ia berbicara perlahan, kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat  bijaksana dan tertata rapi, mencerminkan adat Melayu yang mengutamakan tutur  kata yang lembut dan penuh adab. Dalam pepatah Melayu, "Adat bersendi syarak,  syarak bersendi Kitabullah," yang artinya adat dipegang teguh selama tidak  bertentangan dengan ajaran agama, dan hal ini tercermin nyata dalam setiap kalimat  yang dilontarkan. Cahaya dari lampu minyak yang digantung di tiang-tiang balai  memantulkan kilau redup pada permukaan kayu, menciptakan suasana khidmat  yang mendalam.  

 Setelah selesai melaksanakan rapat, tiba tiba tercium  aroma harum masakan khas Melayu yang sudah mulai menyebar: gulai asam pedas  ikan patin yang gurih, ditemani nasi minyak dan sambal belacan yang pedas dan  manis. Aroma bumbu rempah yang kuat berbaur dengan wangi bunga tanjung dari  taman sekitar. 

 Para tamu dan pembuka adat menyantap hidangan  tersebut dengan lahap dan sopan. Di saat itu, tiba tiba terdengar suara musik khas melayu yaitu Gambus dan kompang yang dimainkan orang orang profesional. Beberapa menit kemudian, masuklah penari yang membawakan tari Zapin khas  

melayu yang menawan untuk menemani makan para tamu dan pemuka adat. Para  penari bergerak dengan Anggun dan lihai serta enak dilihat. Seketika Balai itu  menjadi heboh dan ramai, para pemuka adat dan tamu sangat menikmati  pertunjukan yang ditampilkan.  

 Malam itu merupakan malam yang sangat meriah dan  memukau karena penuh dengan penampilan yang menawan dan musyawarah yang  sangat khidmat.

Posting Komentar

0 Komentar