Senja berlabuh dengan anggun di atas Balai Salaso Jatuh, rumah adat kebanggaan masyarakat Melayu Riau. Bangunan itu berdiri gagah di atas tiang tiang kayu yang kokoh, menjulang seperti hendak menyentuh langit, sebuah representasi dari filosofi hidup Melayu yang menjunjung tinggi keagamaan dan adat istiadat. Dinding kayunya, yang terbuat dari kayu pilihan seperti meranti dan punak, memancarkan warna cokelat tua yang hangat, dihiasi ukiran-ukiran rumit berwarna emas dan merah marun.
Pandangan mata tak henti terpukau pada detail ukiran yang menghiasi setiap inci bangunan. Di atas bubungan atap, terdapat Selembayung atau Sulo Bayung, hiasan puncak atap yang bentuknya melengkung menyilang ke atas, melambangkan kebesaran budi dan ketaatan kepada Tuhan. Di sepanjang dinding, ukiran ikan lomek tampak hidup, coraknya yang berombak mengajarkan filosofi ketekunan, kerukunan, dan kemanisan hidup. Sementara itu, motif Pucuk Rebung yang meruncing pada ventilasi dan pagar selasar, melambangkan harapan akan pertumbuhan yang berkesinambungan dan sikap rendah hati.
Ciri khas utama rumah ini adalah selasar (teras) yang lantainya dibuat lebih rendah dari ruang tengah. Lantai selasar yang "jatuh" ini, dibuat berpasangan sehingga dijuluki "Selaso Jatuh Kembar," berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah, sebuah ruang komunal yang menghargai kesetaraan dalam dialog. Saat aku berdiri di sini, udara sore yang lembap membawa aroma tanah basah bercampur wangi khas bunga-bunga tropis. Bau kayu lama yang bercampur dengan minyak pelumas alami (getah) terasa menenangkan.
Malam ini, Balai Salaso Jatuh disibukkan dengan musyawarah adat. Pada rapat ini mereka membahas tentang persiapan untuk menyambut hari raya idul fitri dengan membuat lampu colok yang telah menjadi tradisi Masyarakat melayu sejak dahulu kala. Adapun puncak dari lampu colok ini
yaitu malam dua puluh tujuh Ramadhan atau malam nuzulul qur’an. Mereka mengadakan rapat ini jauh jauh hari agar tradisi ini dapat berjalan dengan lancar.
Musyawarah dimulai. Suara lembut Datuk Penghulu, pemimpin rapat, terdengar merdu, melantunkan petuah dan pantun-pantun yang sarat makna. Ia berbicara perlahan, kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat bijaksana dan tertata rapi, mencerminkan adat Melayu yang mengutamakan tutur kata yang lembut dan penuh adab. Dalam pepatah Melayu, "Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah," yang artinya adat dipegang teguh selama tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan hal ini tercermin nyata dalam setiap kalimat yang dilontarkan. Cahaya dari lampu minyak yang digantung di tiang-tiang balai memantulkan kilau redup pada permukaan kayu, menciptakan suasana khidmat yang mendalam.
Setelah selesai melaksanakan rapat, tiba tiba tercium aroma harum masakan khas Melayu yang sudah mulai menyebar: gulai asam pedas ikan patin yang gurih, ditemani nasi minyak dan sambal belacan yang pedas dan manis. Aroma bumbu rempah yang kuat berbaur dengan wangi bunga tanjung dari taman sekitar.
Para tamu dan pembuka adat menyantap hidangan tersebut dengan lahap dan sopan. Di saat itu, tiba tiba terdengar suara musik khas melayu yaitu Gambus dan kompang yang dimainkan orang orang profesional. Beberapa menit kemudian, masuklah penari yang membawakan tari Zapin khas
melayu yang menawan untuk menemani makan para tamu dan pemuka adat. Para penari bergerak dengan Anggun dan lihai serta enak dilihat. Seketika Balai itu menjadi heboh dan ramai, para pemuka adat dan tamu sangat menikmati pertunjukan yang ditampilkan.
Malam itu merupakan malam yang sangat meriah dan memukau karena penuh dengan penampilan yang menawan dan musyawarah yang sangat khidmat.
.png)
0 Komentar