Provinsi Riau dikenal sebagai negeri dengan ribuan tradisi yang menawan.
Setiap daerahnya menyimpan cerita dan warisan budaya yang kaya, salah satunya
Kabupaten Bengkalis, tanah Melayu yang masih berpegang erat pada adat, tradisi,
serta nilai-nilai leluhur yang luhur. Di wilayah inilah, warisan budaya seolah hidup
dalam keseharian masyarakatnya, berpadu dengan alam yang elok dan
menenangkan jiwa.
Di tengah lembaran pesisir, Desa Bukit Batu terhampar seperti sajak yang
ditulis oleh angin rumah-rumah panggungnya menjejak tanah dengan hormat,
sementara jalan setapak berdebu mengalir bagai urat nadi yang menghubungkan
tiap cerita. Selat Malaka di hadapan desa berkerlip seperti pita perak yang tak
pernah lelah mengirimkan kabar dari jauh gelombangnya mengusap pantai dengan
ritme lama, membawa aroma garam dan rempah laut yang menempel pada napas
setiap penduduk. Hutan mangrove membentuk garis tepi yang berbisik akar-akar
yang saling berpelukan menahan tanah, daun-daun yang berderai berbisik legenda,
dan bayangan rapatnya menjadi panggung bagi kehidupan kecil kepak burung,
suara kepiting, tawa anak-anak yang bermain di sela akar.
“Selamat pagi, Kakak-kakak, dan Adik-Adik semua. Selamat datang di
Desa Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Saat ini kita berada di Rumah Selaso
Jatuh Kembar, tepatnya di pesisir Selat Malaka.” “Ayo kemari, mendekat
semuanya, Kak/Dik.”
Angin laut Selat Malaka menyapa lembut ketika aku melangkah ke
pelataran Rumah Selaso Jatuh Kembar di sebuah sudut Desa Bukit Batu, Bengkalis.
Bangunan kayu megah itu berdiri di atas tiang panggung dengan atap tinggi berlapis
dan ukiran-ukiran halus; menghadirkan rupa yang seolah memanggil pengunjung
kembali ke masa kecil, sebuah undangan sunyi untuk hadir pada pertemuan adat
yang tak lekang oleh waktu.
“Nah, seperti Kakak-kakak, Adik-Addik lihat barusan, sebagai balai
pertemuan masyarakat Melayu Riau, rumah ini tidak dirancang sebagai hunian
pribadi melainkan sebagai ruang publik untuk musyawarah, upacara adat, dan acara
bersama.”
“Nah mungkin Kakak,-Kakak, Adik-Adik semua bertanya-tanya ‘selaso
jatuh kembar itu apa ya?’setelah Kakak-Kakak dan Adik-Adik lihat barusan adalah
rumah tradisonal khas Melayu Riau yang memiliki arti nama Rumah, Selaso Jatuh
Kembar, merujuk pada ciri khas arsitekturalnya, yakni dua selasar yang lantainya
lebih rendah dibanding ruang tengah sehingga bangunan tampak berlapis-lapis dan
memberi ritme visual seperti tangga yang menurunkan pandangan menuju pusat
pertemuan. Tata ruangnya menonjolkan ruang tengah yang luas untuk menampung
kerumunan, sementara selasar berfungsi sebagai koridor sirkulasi dan tempat
menunggu yang menampung langkah-langkah kaki serta bisik-bisik pertemuan.”
Aku melihat dindingnya dengan jelas yang dilapisi papan kayu berwarna
cokelat tua. Material itu tangguh terhadap kelembapan pesisir dan memancarkan
kehangatan alami saat disentuh. Lantai papan yang dipasang rapat di atas rangka
panggung terasa solid namun akrab di telapak kaki, seolah menyimpan cerita di
setiap pita serat kayunya. Atap tradisional pada contoh rumah asli seringkali terbuat
dari daun rumbia atau ilalang yang disusun rapi, pada versi cagar budaya modern,
atap tersebut kadang dipadukan dengan genteng demi ketahanan tanpa menghapus
karakter kayu yang mendominasi.
Dan di bagian depan tampak deretan jendela memanjang berbingkai ukir,
sekitar sepuluh jendela simetris pada satu sisi, yang menyediakan ventilasi dan sinar
alami ke dalam ruang tengah. Ukiran pada kusen, tangga, dan batas selasar
memancarkan motif tumbuhan dan pola ombak salah satu ornamen khas adalah
motif lebah yang tergantung pada tangga, simbol filosofi tentang keterikatan sosial
dan harapan agar warga memberi manfaat bagi sesama.
Pembagian ruang mengalir dengan fungsi yang jelas. Pelataran atau
halaman depan menjadi ruang penerima tamu dan aktivitas luar. Tangga utama
mengundang langkah menuju selasar; ruang tengah yang lapang difungsikan untuk
pertemuan atau upacara, sementara bilik-bilik kecil di bagian belakang dipakai
untuk penyimpanan atau kegiatan pendukung. Desainnya memudahkan pergerakan
banyak orang dan memfasilitasi ritual serta musyawarah, sehingga bangunan ini
berdenyut sebagai pusat kehidupan komunitas.
Ketika matahari merunduk, aku duduk di serambi, menitipkan napas pada
kayu tua yang harum dan penuh cerita, sementara anak-anak di lapangan dekat
mangrove menerbangkan layang-layang ke angin, menulis tawa mereka di antara
akar-akar yang berbisik. Di ufuk jauh, denting zapin mengalun bagai rantai perak
yang mengetuk waktu penari bergerak dengan lentur seperti ranting yang menari
tertiup, menegaskan bahwa rumah ini lebih daripada kayu dan paku, melainkan
jantung kolektif yang berdetak terus menerus, menyebarkan harum cerita ke setiap
sudutmencampurkan bisik mangrove dengan hembus Selat Malaka hingga sejarah
dan sekarang bercumbu di udara..
Mengunjungi Rumah Selaso Jatuh Kembar adalah menyentuh fragmen
sejarah yang bernapas setiap ukiran seperti mantra yang mengikat masa lalu pada
masa kini, setiap papan kayu seperti halaman buku yang berbisik tentang
kebersamaan. Biarkan langkah Anda melambat di serambi, dengarkan papan-papan
tua yang seolah bercerita, dan rasakan bagaimana ruang ini merangkum nilai
kolektif yang tak ternilai.
Datanglah dan saksikan sendiri Rumah Selaso Jatuh Kembar bukan sekadar
objek wisata, ia adalah pengalaman yang menggugah rasa dan mengundang kita
untuk menjaga serta merayakan warisan budaya bersama.
Simpulan
Rumah Selaso Jatuh Kembar di Desa Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis,
adalah simbol hidup warisan budaya Melayu Riau yang berpadu harmonis dengan
lanskap pesisir Selat Malaka dan hutan mangrove. Bangunan panggung berukir itu
berperan sebagai pusat musyawarah, upacara adat, dan pertemuan komunitas
sehingga fungsinya melampaui nilai arsitektural menjadi nadi identitas kolektif.
Suasana desa yang ditandai gelombang Selat Malaka, bisik mangrove, dan irama
zapin memperkuat kaitan antara alam, tradisi, dan kehidupan sehari-hari penduduk.
Menjaga dan merawat rumah ini berarti melestarikan memori bersama, menyalakan
kembali nilai-nilai leluhur, dan meneruskan cerita budaya kepada generasi
mendatang.
.png)
0 Komentar