Dunia di Balik Aksara - Fina Rizki Lazari

 

Dunia di Balik Aksara 

oleh: Fina Rizki Lazari 

“Kata orang dewasa, hanya aku yang selamat.” 

Panti itu berdiri di tepi kota Tasikraya. Panti itu tidak seperti di buku cerita yang terlihat megah dan mewah. Tapi bagiku, di sanalah tempat aku hidup di dunia yang penuh suara tawa anak-anak. Aku datang ke panti saat berusia 6 tahun dalam keadaan kecil, ketakutan, bahkan membisu. Aku satu-satunya yang selamat dari kecelakan maut pada saat itu. Ayah, ibu dan saudaraku meninggal di tempat. Sejak saat itu, dunia ini terasa hening dan seolah suara ikut terkubur bersama mereka. Panti yang kutempati bernama Rumah Kasaraya. 

Namaku Leoda, saat pertama aku datang ke panti aku tidak banyak bicara, aku terus membisu, aku takut pada suara, aku takut pada cahaya, aku takut pada tawa. Hari-hariku hidup dengan terus berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, setiap hari aku hanya memendam diam dan tangis yang kutahan sendiri. Hidup di panti terasa seperti menatap kekosongan, yang hilang arah dan tujuan. 

Semenjak aku bertemu Axin, dialah yang mengajarkanku berbicara lagi, tertawa, membaca, bahkan menulis. Ia sering berkata, “jika hidupmu terasa gelap, carilah cahaya di balik kata.” Dia tinggal di panti sejak bayi, orangnya ceria, sabar, yang membuat hidupku kembali bercahaya. Kami tumbuh bersama, kami sering menghabiskan waktu sore di perpustakaan tua panti itu. Membaca buku-buku, menulis, bahkan berbagi cerita untuk menuju masa depan. Di sana, aku merasa nyaman, bahagia saat bersamanya, masa laluku yang kelam akan lupa jika aku saat bersamanya. 

Tapi, semua itu berubah ketika Axin pergi meninggalkanku untuk selamanya. Saat itu umur kami 12 tahun. Sakit yang singkat, lalu kabar duka datang menimpaku. Sudah 6 tahun lamanya aku tumbuh bersamanya. Sejak hari kepergiannya, aku kembali seperti dulu saat pertama kalinya aku datang ke panti

ini. Membisu oleh duka, dan sunyi oleh kehilangan. Siapa pun yang mengajakku berbicara, aku tidak meresponnya. Seolah-olah jiwa bahasaku hilang begitu saja. Aku hanya menghabiskan waktuku setiap hari sendirian duduk di perpustakaan panti itu untuk membaca buku. 

Namun, seseorang tetap memperhatikanku. Linlyn seorang teman yang sebaya denganku tinggal di panti sejak bayi. Ia tak pernah bersuara karena bisu sejak kecil. Linlyn tidak banyak bergaul, tapi entah mengapa sejak itu dia sering memperhatikanku tanpa menggangguku. Dia sering duduk tidak jauh dariku. 

Suatu sore, hujan turun. Aku sedang berada di perpustakaan seperti biasanya. Linlyn tiba-tiba mendekatiku, dia menepuk pundakku dan mengulurkan sebuah buku tua bersampul hitam yang sudah lusuh dari tangannya. Ukiran aneh di tepi buku seperti huruf-huruf kuno bewarna kuning keemasan. Aku menatapnya bingung. “Untukku?” tanyaku. Linlyn mengangguk, aku mengambil dari tangannya. Lalu ia pergi tanpa suara. 

Aku membuka buku itu, walaupun sampulnya sudah lusuh. Tulisan di dalamnya masih utuh, terlihat jelas untuk dibaca. Tapi, masalahnya tulisan di dalam buku itu bukan huruf-huruf yang kukenal, melainkan sejenis aksara kuno. Aku terus menelusuri baris demi baris tulisan itu, meskipun aku tidak mengerti apa maksud tulisan itu. 

Saat aku menyentuh halaman pertama buku, udara di ruangan perpustaka itu berubah dingin menusuk tulangku. Meja dan kursi yang sedang kududuki tiba-tiba bergoyang hebat, seolah diterpa badai yang tak kasat mata. Aksara-aksara itu bergerak, terbang melayang ke udara satu persatu. Ketika aku melompat mencoba meraihnya, aku tiba-tiba terjatuh di tempat yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

Langitnya berwarna jingga, sedangkan tanahnya berisi tulisan aksara yang terlihat hidup. Aksara-aksara berterbangan sedang mengelilingiku. Setiap

langkahku menimbulkan bunyi gema, bukan suara kaki. Tapi bunyi kata yang seolah berbisik. 

“Leoda...Leoda...” 

Aku mengenal suara itu. 

“Axin,” teriakku. 

Bayangan Axin muncul di depanku, tersenyum seperti dulu. Tapi, tubuhnya kali ini bukan berbentuk wujud manusia. Melainkan terbentuk dari huruf-huruf aksara yang bersinar, saling terhubung seperti kalimat tanpa titik. 

“Axin, ini sungguh kamu,” pipiku dibasahi air mata. 

“Aku kata yang kau simpan Leoda.” 

“Bahasa tidak mati bersama manusia, ia akan menyimpan jejak,” suara bisiknya yang lembut. 

Air mata makin mengalir membasahi pipiku, aku melihat dari celah-celah aksara itu kenanganku saat bersama Axin di perpustakaan. 

“Aku tidak bisa tidak di sampingmu Axin.” 

Bayangan itu mendekatiku, lalu potongan aksara-aksara itu membentuk tangan dan menyentuh dadaku. “Kau jangan melupakanku, kau harus terus berbicara, terus menulis. Karena setiap kata adalah warisan jiwa.” 

Aksara itu kemudian terpecah membentuk cahaya. Sinar cahaya meledak. Cahaya itu sangat menyilaukan mataku, hingga mataku tertutup. Aku merasa tubuhku melayang ke udara, seperti diangkat oleh ribuan huruf yang bercahaya. 

Dalam saat keadaan itu, aku mendengar bisikan suara yang mengatakan bahwa, “bahasa adalah kenangan budaya yang tidak pernah mati. Bahasa adalah bunyi kata dalam warisan jiwa.” 

“Nak...”

“Leoda...” 

Panggilan suara itu membangunkanku. Aku membuka mata. Di hadapanku berdiri bu Rini, pengasuh panti. Dia menatapku dengan senyuman. 

“Kau tidur di perpustaka, ayo bangun nak,” katanya pelan. 

“Sudah malam, mari kita makan,” ucapnya. 

Aku mengangguk, buku tua itu masih dalam pangkuanku. Terbuka di halaman yang kosong, di penglihatanku ada bentuk goresan huruf aksara-aksara yang samar. Tapi, terlihat hidup. Aku menatap bu Rini. 

“Bu,” kataku pelan. 

“Apa ibu pernah berpikir, bahwa bahasa bisa menyimpan kenangan?” Beliau menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut, lalu berkata. 

“Mungkin saja nak.” 

Pertama kalinya sejak lama, aku mulai merasa damai dengan keadaan. Aku tahu bahwa Axin orang yang terdekatku tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup di antara kata-kata yang pernah ada, dalam bahasa yang ia ajarkan untuk aku cintai. 

Di pintu, Linlyn berdiri melihatku. Ia menatapku dan mengangkat alisnya sambil tersenyum padaku, juga mengisyaratkan jarinya di dada tanda persahabatan kami. 

Aku tahu Linlyn mengerti dengan keadaanku. Bahkan lewat buku yang ia beri, aku sudah menemukan kembali suara kata dalam bahasa yang telah hilang. Bahasa bukan sekedar bunyi kata, ia adalah jejak dari warisan cinta, kenangan, dan jiwa yang hidup di dalam diri. Warisan dari mereka yeng telah meninggalkan dunia, namun tidak pernah benar-benar hilang.

Malam itu, aku melihat dan menatap langit malam yang lembut dengan cahaya bulan. Aku memeluk buku itu dan berbisik untuk menjanjikan pada diriku sendiri. “Aku akan menulis lagi Axin, terimakasih sudah mengingatkanku, bahwa diam membisu pun, bahasa tetap hidup. Terimakasih juga untuk Linlyn, yang sudah memberi buku ini untuk membuka pintu hatiku yang tertutup.” 

Aku akan terus menjaga jejak bahasa, karena di dalamnya ada kehidupan, cinta, kenangan yang tidak lekang oleh waktu untuk mengabdikan warisan pada jiwa.

Posting Komentar

0 Komentar