KEMBANG SETAMAN TUJUH BULAN
oleh: Arini Putri Safira
Pagi hari di Desa Kalirejo terasa segar. Embun masih menempel di dedaunan pisang dan aroma tanah basah tercium dari halaman belakang. Di pendapa rumah, Bu Marni sibuk menata kembang setaman campuran melati, mawar, kenanga, dan pandan yang harum semerbak.
“Le, kembang melatine ojo lali dicampur karo mawar abang. Iki lambang katresnan wong tuwa marang anak,” katanya sambil menyiapkan baskom air bunga untuk siraman.
Mbak Ratri, yang perutnya sudah mulai besar, duduk di kursi rotan sambil tersenyum melihat ibunya yang sibuk.
“Bu, repot banget ya bikin acara ini. Teman-temanku di kota cuma bikin ‘baby shower’, pakai balon sama kue. Nggak seribet ini,” katanya pelan sambil mengelus perutnya.
Bu Marni menatap anaknya lembut.
“Lho, Ratri. Iki ora mung acara, iki doa lan syukur. Tingkeban kuwi kanggo nyuwun keselamatan jabang bayi lan ibune. Wong Jawa iku kudu eling marang Gusti lan leluhur.”Ratri pun terdiam mendengar perkataan Ibunya.
Sejak menikah dengan Mas Arif dan tinggal di kota, ia memang jarang mengikuti adat seperti ini. Tapi kali ini, Bu Marni memintanya pulang agar acara tingkeban dilakukan di rumah keluarga.
Mas Arif yang baru tiba dari kota ikut membantu menata meja sesaji.
“Aku sempat baca juga, Bu. Ternyata setiap bagian punya makna. Air bunga buat mensucikan lahir batin, kain putih tanda kesucian, dan rujak tujuh rasa simbol perjalanan hidup manusia.”
Bu Marni tersenyum bangga. “Pinter, Arif. Wong Jawa iku yen ngelakoni sesuatu kudu ngerti maknane, ora mung nuruti adat tanpa ngerti isi.”
Di siang hari, para tetangga datang dan mereka berada di dapur untuk membantu. Ada yang menanak nasi untuk tumpeng, ada yang mengupas buah untuk rujak tujuh rupa, dan ada yang menghias kendi tanah liat.
Ratri ikut mengiris buah mangga muda, tapi tangannya bergetar karena cepat lelah.
“Nduk, istirahat wae disik. Kowe wis nyang bulan pitu, ojo akeh mikir,” ujar Bu Marni lembut.
Ratri tersenyum dan duduk di pendapa. Dari kejauhan, ia melihat Mbah Sastro, sesepuh desa, datang membawa kendhi lan sekar setaman. Lelaki tua itu memakai beskap hitam dan blangkon, langkahnya tenang namun berwibawa.
“Wah, Ratri wis ayu tenan. Mugi slamet jabang bayine,” ucap Mbah Sastro sambil menepuk bahu Ratri.
Setalah itu, menjelang sore gamelan kecil yang disewa mulai dimainkan pelan. Suaranya lembut, berpadu dengan aroma bunga dan dupa yang dibakar di sudut pendapa. Warga mulai berdatangan, membawa doa dan senyum hangat. Prosesi Tingkeban akan segera dimulai, upacara ini dimulai saat matahari condong ke barat. Ratri duduk bersimpuh di atas tikar pandan, mengenakan kain batik dan kebaya putih. Di hadapannya, terdapat kendi berisi air bunga, sehelai kain putih panjang, dan sesaji yang tersusun rapi.
Mbah Sastro mulai membaca doa dengan suara bergetar namun khidmat. Bahasa Jawa halus mengalir seperti tembang yang indah.
“Ya Gusti, paringana rahayu, sehat, lan slamet tumrap anak putu kulo meniko. Mugi dados anak ingkang sholeh lan migunani tumrap liyan.”
Setelah doa, Bu Marni menuangkan air bunga ke kepala Ratri sebanyak tujuh kali. Setiap siraman diiringi harapan:
Siraman pertama: agar bayi lahir dengan selamat.
Siraman kedua: agar Ratri diberi kekuatan.
Siraman ketiga: agar keluarga tetap rukun.
Siraman keempat: agar bayi tumbuh sehat.
Siraman kelima: agar dijauhkan dari mara bahaya.
Siraman keenam: agar kehidupan keluarga penuh berkah.
Siraman ketujuh: agar anaknya membawa kebahagiaan.
Air yang menetes dari rambut Ratri terasa sejuk, seolah membawa doa dan kasih sayang seluruh keluarga. Usai siraman, Ratri berganti kain jarik motif parang simbol keteguhan dan tanggung jawab seorang ibu. Ia lalu duduk berdampingan dengan Mas Arif untuk ngalap berkah dari para sesepuh.
Makna yang dirasakan setelah upacara Tingkeban ini adalah ketika malam mulai turun. Di pendapa, warga duduk bersama menikmati tumpeng, sayur lodeh, dan rujak tujuh rasa. Gelak tawa dan doa menyatu di udara.
Ratri menatap bulan purnama di langit yang terang. Ia merasa hatinya hangat.
“Mas, aku baru paham sekarang. Ternyata tingkeban ini bukan cuma tradisi, tapi wujud cinta — cinta ibu, cinta keluarga, dan cinta pada kehidupan.”
Mas Arif menggenggam tangannya.
“Iya, Rat. Kadang kita terlalu sibuk mengejar modernitas sampai lupa akar. Tapi malam ini aku merasa... budaya Jawa itu seperti doa yang hidup.”
Bu Marni tersenyum dari kejauhan. Ia tahu, anaknya telah mengerti. Bahwa menjaga budaya bukan berarti menolak kemajuan, tapi menghormati asal usul yang memberi makna pada hidup.
Penutup
Di kendi tempat air siraman tadi, kembang setaman masih mengapung pelan. Harumnya memenuhi ruangan. Mbah Sastro berkata pelan,
“Urip iku kudu kaya kembang setaman warnane beda-beda, nanging bareng-bareng dadi wangi.”
Ratri menatap kendi itu lama. Dalam diam, ia berjanji kelak akan mengajarkan anaknya arti dari setiap kelopak bunga itu tentang kesederhanaan, doa, dan cinta yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pesan moral:
Tradisi Tingkeban bukan sekadar ritual turun-temurun, tetapi bentuk rasa syukur, penghormatan terhadap kehidupan, dan doa agar generasi selanjutnya tumbuh dengan nilai-nilai luhur.
Budaya Jawa mengajarkan bahwa setiap laku memiliki makna agar manusia tetap eling lan waspada, bersyukur atas karunia Tuhan, dan menjaga keseimbangan antara modernitas dan kearifan lokal.
~ TAMAT ~
.png)
0 Komentar