Jejak Pantun Terakhir - Haritsah Salim

Jejak Pantun Terakhir 

Haritsah Salim (SDN 146 Pekanbaru) 

Tangan Pak Razak, Cikgu Bahasa Melayu yang usianya hampir senja,  bergetar di hadapan papan tulis. Bukan karena dinginnya ruang kelas, melainkan  karena lelah. Kapur putih itu menuliskan baris-baris pantun, tetapi hatinya tahu, ia  hanya sedang mengukir bayangan di atas air. Tiga puluh pasang mata di depannya,  generasi yang lahir dari rahim digital, tunduk, memantulkan cahaya biru dari gawai di  pangkuan.  

"Anak-anak" suara Razak serak, memecah kesunyian yang dingin. "Siapa  yang dapat melengkapi pantun ini?" 

Bukan kaca sebarang kaca, Kaca terendam di tepi paya. 

"Lanjutkan." 

Tidak ada yang bergerak. Hening. Satu murid di barisan depan, Zaki, sibuk  mengeklik layar. Razak melihat bayangan pantunnya sendiri terpantul di lensa  kamera ponsel itu, sebuah relik yang konyol di era algoritma. 

"Nak Zaki, coba kau jawab." 

Zaki menatap sekilas, tersenyum sinis. "Entah, Cikgu. Mungkin... Bukan kerja  sebarang kerja, kerja ini tak ada gajinya?" 

Tawa kecil meledak di kelas. Sindiran itu menohok, seolah menyingkap luka  yang sudah lama disembunyikannya. Razak teringat ayahnya. Ayahnya bukan guru,  melainkan seniman teater Makyong yang gigih. Ayahnya meninggal dalam  kemiskinan, meninggalkan Razak hanya dengan tumpukan utang dan sebuah rasa  benci yang pelik. Bagi Razak, makyong dan pantun hanyalah warisan gagal, seperti  sebuah bendera usang yang dikibarkan tanpa angin.

Sore itu, di rumah petak mereka yang lembap, Razak membersihkan gudang. Ia menemukan sebuah naskah yang disampul kulit kusam, tebal, dan berbau tua. Itu  adalah draf teater Makyong milik ayahnya. Razak ingin membakarnya, meleburkan  segala kenangan pahit itu ke dalam api. Namun, sesuatu menahannya. Di halaman  terakhir yang menguning, ada tulisan tangan yang serak: "Harta karun yang  sesungguhnya terkunci, bukan dengan kunci, tetapi dengan bahasa." 

***** 

Pagi itu, kapur di tangannya terasa lebih ringan. Razak tahu, cara lama tak lagi  cukup untuk menghidupkan bahasa. Ia tak lagi mencoba menjadi penjaga museum  yang sunyi, tetapi seorang penyelidik yang mengundang rasa ingin tahu. 

"Hari ini Cikgu tidak akan memaksa kalian menghafal. Kita akan bermain  detektif." Ia menulis pantun pertama dari naskah ayahnya di papan tulis. 

Kalau tuan pergi ke hulu 

Tanamkan padi jangan dipaku 

Peninggalan yang bukan berlalu 

Tersimpan di tempat tiada beratap dan berliku 

“Pantun ini,” kata Razak, suaranya mengandung janji, “adalah peta.” Ia menunjuk ke harta karun ayahnya, seorang seniman makyong yang gagal. “Siapa  yang bisa memecahkan kodenya?" 

Mata murid-murid mulai berbinar. Kata 'harta karun' dan 'kode' lebih  menggoda daripada kurikulum. Diskusi pun pecah. Mereka menganalisis diksi: hulu,  berliku, tiada beratap. Bahasa Melayu kuno itu, yang tadinya mereka anggap mati,  kini menjadi bahasa rahasia yang perlu mereka pecahkan teka-tekinya. 

Zaki, si murid yang skeptis, bertanya, "Tempat tiada beratap, Cikgu?"

"Tempat yang dilupakan. Apa yang di sekolah ini sering dilupakan?” Razak  memancing. 

"Gudang tua di belakang perpustakaan?" sahut Fathia, siswa yang selama ini  hanya fokus pada layar. 

Razak mengangguk, senyumnya melengkung tipis. "Sangat mungkin. Mari  kita buktikan" 

Pantun demi pantun dipecahkan, satu per satu. Para murid berlari ke seluruh  penjuru sekolah. Mereka menemukan sebuah botol kosong di balik bangku kayu yang  sudah usang, sebuah sapu tangan tua yang terlipat di bawah pohon beringin, dan  sebuah keranjang rotan di balik ruang tata usaha. Di setiap benda itu, tersembunyi  pantun baru dari naskah ayah Razak. 

Setiap pantun adalah jejak, dan setiap jejak membawa mereka semakin dekat,  bukan kepada emas, tetapi kepada pemahaman. Mereka mulai memahami bahwa  pantun bukan sekadar susunan kata, melainkan ingatan kolektif yang tersimpan dalam  benda-benda, ruang-ruang, dan waktu. 

Karakter Ayah Razak, seniman yang "gagal", hidup kembali dalam diskusi  mereka. Mereka membayangkan Ayah Razak melukis peta ini, menyimpan rahasia  ini bukan karena ia pelit, melainkan karena ia ingin warisannya hanya ditemukan oleh  mereka yang benar-benar mau mendengarkan. 

Di tengah riuh langkah anak-anak yang berlari mencari jejak pantun, langkah  sepatu kulit terdengar mendekat. Suara itu berhenti di ambang pintu kelas, diikuti  nada berat yang tak bisa disalahartikan. 

“Pak Razak, tolong jangan buat anak-anak berlarian ke gudang. Ini bukan  waktu bermain,” katanya tegas. Razak menunduk, tapi dalam hatinya bergolak. Ia  tahu, ini bukan permainan. Ini pelajaran yang seharusnya hidup. 

***** 

Perjalanan perburuan harta karun membawa mereka kembali ke gudang  Razak. Pantun terakhir yang ditemukan di sana berbunyi: 

Dari jauh orang melihat perahu layar,  

Tiada kemudi, tiada sampan.  

Harta karun bukan benda yang dapat dibayar,  

Ia ada di dalam hati dan dalam ingatan. 

Para murid menatap Razak dengan bingung. Mereka telah bekerja keras,  memecahkan kode-kode yang rumit, hanya untuk menemukan kesimpulan yang  begitu sederhana, bahkan klise. 

"Jadi... tidak ada harta karun?" Zaki bertanya, nada suaranya kecewa. 

Razak tidak menjawab. Ia hanya mengambil naskah ayahnya dan  meletakkannya di tengah lingkaran mereka. Ia membuka halaman kosong di samping  tulisan tangan ayahnya. 

“Ayah Cikgu tak sempat menyelesaikan teaternya. Ia menunggu seseorang  melanjutkannya. Mungkin... kita.” Razak memandang papan tulis yang masih penuh  coretan pantun. Ia sadar, mungkin selama ini yang hilang bukan murid-muridnya,  melainkan dirinya sendiri. 

Razak lalu mendongeng. Suaranya yang tadinya bergetar kini mengalir  mantap, menghidupkan tokoh-tokoh Makyong yang tertidur di halaman kertas. Pada  lembar-lembar naskah yang belum sempat rampung itu, ia menambahkan dialog,  membangun karakter, dan mengisi kekosongan dengan imajinasinya. Murid-muridnya menatap tanpa suara, seakan takut melewatkan satu napas pun dari cerita  itu. Mata mereka tidak lagi terpaku pada gawai, tetapi pada Cikgu Razak, yang  perlahan-lahan berubah menjadi pencerita seperti ayahnya dahulu. 

Zaki tergerak. Ia mengeluarkan ponselnya, bukan untuk bermain, melainkan  untuk merekam. Ia mengabadikan kisah yang hidup kembali itu dalam format  digital—sebuah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Fathia, yang ahli desain  grafis, membuka laptopnya. Ia mulai membuat poster digital untuk "Teater Makyong:  Jejak Bahasa yang Hidup Kembali.” 

Kelas berubah menjadi panggung kecil: pantun dilantunkan, lagu disusun,  bahasa Melayu bersanding dengan teknologi. 

Razak tersenyum. Tangannya tak lagi bergetar. Ia menatap para muridnya  yang sibuk, penuh semangat, dan menyadari. Ayahnya tidak pernah gagal. Ayahnya  tidak menyimpan harta karun berupa emas atau perhiasan. Ia menyimpan sebuah  mimpi—sebuah warisan yang hanya akan hidup jika dihidupkan kembali, bukan  sekadar diawetkan. Dan hari ini, di ruang kelas yang tadinya sepi, ia melihat  mimpinya itu terbangun, tidak dalam bentuk aslinya, tetapi menjelma dengan caranya  sendiri, sederhana, segar, dan hidup di hati murid-muridnya. 

Sebelum menutup naskah, matanya menangkap tulisan kecil di balik halaman  terakhir, tulisan yang dulu tak ia sadari.  “Untuk anakku, agar ia mengingat: bahasa hidup selama hati masih bersuara.” 

Razak menunduk, dan matanya basah oleh sesuatu yang tak lagi bisa ia tahan. Bulir bulir itu pun tumpah. Ia menyadari, harta karun itu bukanlah warisan ayahnya,  melainkan dirinya sendiri, dan murid-muridnya yang kini menyalakan kembali api  yang hampir padam. Mungkin suatu hari nanti, pantun baru akan lahir bukan dari  lisan, tapi dari layar. Itu pun tak mengapa, selama hatinya masih Melayu.



 

Posting Komentar

0 Komentar