Kato Nan Ampek di Serambi Ranah - Kayyis Alfa Sabriy Izti

 


Kato Nan Ampek di Serambi Ranah 

Oleh Kayyis Alfa Sabriy Izti 

Rustam (25), seorang desainer grafis muda, berdiri di tepi jendela apartemennya yang  dingin di Jakarta, menatap hiruk pikuk yang asing. Sejak merantau, ia merasa  kehilangan. Bukan hanya kehilangan kampung halaman, tetapi juga kehilangan  intonasi yang dulu menuntunnya. 

Di balik kesuksesan finansialnya, Rustam merasa bicaranya kasar, responsif, dan  kehilangan "raso" (rasa) Minangnya. Konfliknya memuncak ketika ia ditegur keras  oleh pamannya, Mamak Syahrul, melalui telepon. 

"Rustam, kato (kata) mu tajam, nakan. Di rantau, kau mungkin bisa berteriak, tapi di  Minang, lidah harus dijaga. Kau lupa Kato Nan Ampek?" Suara Mamak Syahrul  terdengar berat, seperti petir di langit Maninjau. Rustam membela diri, "Di sini,  Mamak, orang tidak punya waktu untuk berpuisi! Bicara harus efisien, langsung!

"Efisiensi bukan berarti kehilangan adab! Bahasa kita, Nak, adalah cerminan Adat  Basandi Syarak. Setiap kata adalah timbangan," balas Mamak Syahrul sebelum  menutup telepon. 

Malam itu, Rustam merenung. Ia ingat ketika kecil, neneknya selalu mengajarkan  bagaimana cara bicara diatur oleh empat tingkatan: 

Kato mandaki (kata mendaki): bicara kepada yang lebih tua. 

Kato manurun (kata menurun): bicara kepada yang lebih muda. Kato mandata (kata mendatar): bicara kepada sebaya. 

Kato malereng (kata melereng): bicara kepada ipar atau orang yang disegani  (kiasan).


Rustam sadar, di Jakarta, ia selalu menggunakan "Kato mandata" atau bahkan "Kato  manurun" kepada siapa pun, termasuk atasannya. Warisan bahasa yang lembut dan  berlapis itu telah ia buang demi kepraktisan. Rasa bersalah menarik Rustam pulang. Setibanya di rumah Gadang, Mamak Syahrul  menyambutnya dengan dingin. Ia tidak marah, tetapi kecewa. Untuk menebus  kesalahannya, Rustam diminta membantu membereskan perpustakaan mini di surau  lama. 

Di sanalah Rustam menemukan harta karun: sebuah naskah tua berisi petatah-petitih  dan mamangan (pepatah dan kiasan Minang) yang ditulis tangan. Naskah itu terasa  seperti kitab lisan yang mengatur seluruh tata krama masyarakat. Rustam menemukan  sebuah pepatah yang ditulis dengan aksara Latin tua: 

Bajalan paliharo kaki, mangecek paliharo lidah.” (Berjalan pelihara kaki, berkata  pelihara lidah.) 

Mamak Syahrul, yang diam-diam mengamati, mendekat. “Itu bukan sekadar nasihat,  Nak. Itu adalah jejak bahasa yang terukir menjadi hukum adat. Pepatah itu  mengajarkan raso dan pareso (rasa dan pertimbangan). Kau harus pandai menimbang  kata sebelum berucap, sama seperti Datuk menimbang perkara di balai adat.” 

Rustam mengambil pena dan mulai mencatat. Ia tidak lagi melihat bahasa Minang  sebagai kumpulan kata daerah yang kaku, melainkan sebagai sebuah sistem hukum  sosial yang canggih. Ia mulai mempelajari Kato Nan Ampek dari sudut pandang seorang desainer. Ia  melihatnya sebagai empat palet warna: 

Mandaki (kepada Nenek/Mamak): Warna paling lembut dan hormat. Manurun (kepada adik sepupu): Warna hangat, penuh bimbingan. Mandata (kepada teman): Warna cerah, setara. Malereng (kepada Ibu mertua kelak): Warna kiasan, penuh kehati-hatian. 

Mamak, aku akan menulis cerita,” ujar Rustam. “Bukan cerita tentang rantau atau  pulang, tapi cerita tentang timbangan kata. Aku akan mengabadikan Kato Nan  Ampek.” 

Rustam mulai menulis cerpennya. Ia menciptakan seorang tokoh bernama Ranti,  seorang mahasiswi Minang yang menghadapi dilema saat magang di perusahaan besar.  Ranti harus berhadapan dengan seniornya yang agresif (membutuhkan Kato Mandata  yang tegas namun sopan), dan Direktur perusahaan yang tua dan terhormat  (membutuhkan Kato Mandaki yang sangat hati-hati). Rustam tidak menerjemahkan pepatah; ia menghidupkannya dalam narasi. 

Dalam satu adegan klimaks, Ranti berhasil menyelesaikan konflik besar di kantor  hanya dengan menggunakan "Kato Malereng" saat berbicara dengan Direktur yang  tersinggung. Ranti tidak menuduh, ia menggunakan kiasan adat tentang ‘bakaluang jo  ameh’ (berpagar dengan emas) untuk menyampaikan kritik dengan santun.


"Bapak," ujar Ranti pelan, nadanya seperti aliran Batang Anai, "di kampung kami,  orang bijak berkata, 'Ikan di lauik nan babiso, di darat nan babisiak' (Ikan di laut yang  berbisa, di darat yang berbisik). Maksud kami, masalah besar (laut) harus diselesaikan  dengan bisikan (daratan), tidak dengan teriakan yang akan memecah belah. Kami  datang bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengingatkan bahwa rumah kita, Bapak,  harus dipagari dengan kehangatan, bukan ketakutan." 

Rustam menulis adegan itu dengan hati. Ia menyisipkan kata-kata Minang yang penuh  makna: "Mambangkik Batang Tarandam" (membangkitkan batang terendam) sebagai  metafora perjuangan tokohnya, dan "Galaik" (cekatan/cakap) untuk menggambarkan  kepintaran Ranti. Cerpen itu selesai. Ia tidak hanya menceritakan sebuah kisah, tetapi ia telah mengubah  pepatah dan ajaran adat menjadi arsitektur cerita. 

Cerpen Rustam yang berjudul "Kato Nan Ampek di Serambi Ranah" memenangkan  penghargaan. Juri memuji keunikan ceritanya yang tidak hanya menyentuh isu modern,  tetapi menyelesaikannya dengan filosofi adat. Saat menerima piala, Rustam menatap Mamak Syahrul yang tersenyum bangga. 

"Kau berhasil, nakan," bisik Mamak Syahrul. "Kau telah menunaikan tugasmu sebagai  pewaris.

Rustam balas berbisik, "Aku tidak hanya bicara, Mamak. Aku menulis. Karena hanya  dalam aksara, kato ini bisa abadi. Ia akan terus menjadi jejak bagi yang merantau dan  timbangan bagi yang tinggal." Ia mengutip bait dari naskah tua itu dalam pidatonya, menyebarkan keindahan bahasa  Minang ke seluruh ruangan: 

Kok tumbuah karano dipupuak, kok sanang karano ditaruihkan.” (Kalau tumbuh karena dipupuk, kalau senang karena diteruskan.) 

Rustam telah menemukan jalan barunya: mengabdikan warisan budayanya, bukan  dengan sekadar mengucapkan, tetapi dengan menuliskannya, mengabadikannya,  menjadikannya lentera di serambi peradaban.



Posting Komentar

0 Komentar