Lentera Rindu di Ujung Buku - Armaita Yusna

Lentera Rindu di Ujung Buku 

Armaita Yusma

Di sebuah desa yang terpencil, secercah cahaya rembulan menembus  lebatnya pepohonan, malam itu semilir angin menerpa wajah gadis cantik dari  balik jendela yang dibaluti bambu, angin itu seolah bercerita, betapa bebasnya ia  untuk menerpa siapa saja. Gadis yang memiliki kulit putih bersih dengan mata  bulat serta hidung mancung itu, perlahan menutup matanya, menikmati angin  yang memberikan ketenangan, seakan surga dunia itu nyata. Ketenangan itu ia  rasakan, sebelum sesaat ia tersentak kaget, mendengar suara seseorang yang  menggema di telinganya, yang memanggil namanya. "Aretha, kemari" dengan  sigap gadis itu berdiri untuk memenuhi panggilan itu. Akan tetapi saat akan  melangkahkan kakinya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandangannya mulai  kabur, perlahan darah segar mengalir dari hidungnya, hingga sesaat pandangan  gelap menyelimutinya, berakhir ia jatuh pingsan. 

Keesokan harinya, Aretha pergi ke sawah bersama bibinya untuk menanam  padi. Waktu terus berlalu, siang telah tiba, Aretha bersama bibinya memutuskan  untuk berteduh dan beristirahat di sebuah pondok kecil. sang bibi berkata kepada  Aretha "Nak mari makan, bibi tadi menyiapkan ikan bakar kesukaan Etha" "Etha  jadi lapar, pasti masakan bibi sangat lezat, seperti biasanya" ujar Aretha, bi Ira  yang mendengar kalimat itu tertawa bahagia "Bisa saja kamu Etha, sudahlah mari  kita makan, kamu sudah lapar bukan?" "tentunya bibi" balas Etha. Di tengah  menikmati santapan makanan, Aretha mengeluarkan suaranya "Bi, bolehkah Etha  bertanya sesuatu" dengan perasaan gugup ia mengutarakan kalimat itu, bi Ira  lantas menjawab "Tanyakanlah nak, ada apa?" "Etha ingin menanyakan, dimana  ayah Etha, sudah dari kecil Etha tidak pernah melihat ayah, bahkan mendengar  suaranya pun tidak". Kalimat yang dilontarkan Etha berhasil menarik perhatian bi Ira, perlahan bi Ira mendongak menatap mata indah milik Etha, tetapi dengan  tatapan yang berbeda, mata bi Ira seolah menyiratkan kepedihan, sedetik  kemudian bi Ira berkata "Tidak adakah hal yang lebih penting, untuk kamu 

tanyakan". Etha terdiam, lidahnya terasa kelu, selalu ini jawaban yang ia dapat,  setiap kali ia bertanya tentang ayahnya. Perlahan matanya bergenang tanda ia  ingin menangis, tetapi suara bibi kembali terdengar, "Bibi akan menyemai padi  lagi, terserah kamu ingin ikut atau tidak". Setelah mengatakan kalimat itu, bi Ira  langsung pergi tanpa menunggu balasan dari Aretha, Aretha yang mendengar nada  bicara bibi yang berbeda, membuatnya menjadi tidak nyaman, ia mulai mengejar  bibinya untuk ikut menyemai padi. 

Saat matahari tenggelam mereka tiba di rumah. Di kamarnya, seperti biasa  Aretha akan menatap rembulan dari balik jendela, ditemani sebuah buku berwarna  coklat gelap, serta dilengkapi pensil sebagai perantara kisahnya. Akan tetapi,  malam ini berbeda, rembulan tidak sedikit pun menampakkan secercah cahayanya.  

Aretha tersenyum, mungkin seperti inilah perasaannya, kerinduan akan kehadiran  sosok ayah, yang sampai saat ini masih berharap untuk bertemu. Perlahan ia  membuka sebuah buku berwarna cokelat gelap, di buku itu ia menuangkan  apapun tentang ayahnya, dalam wujud tulisan dan goresan. Lembar demi lembar  ia buka hingga tangannya terhenti, mengamati sebuah lekukan sketsa seorang pria  paruh baya, yang ia gambar sebagai perwujudan ayahnya. Matanya membendung,  menahan air di pelupuk matanya agar tidak jatuh, tetapi nihil air mata itu menetes.  Di tengah tangisnya, tiba-tiba mengalir darah segar dari hidung Aretha, Aretha  hanya tersenyum, seolah hal itu sudah biasa terjadi. Aretha memutuskan untuk  beristirahat malam ini dengan menutup matanya, sebelum matanya benar-benar  tertutup ia mengutarakan sebuah kalimat "Semoga aku, diberi kesempatan untuk  melihat ayah, sebelum dimensi dunia yang berbeda". 

Sebulan telah berlalu, hari ini Aretha menatap bibinya yang terlihat  sumringah "Bi, bibi terlihat bahagia hari ini, ada apa?" "Iya Etha, bibi sangat  bahagia, karena kita akan kedatangan tamu spesial" ujar bibi, Aretha yang  mendengar kalimat bibi tersenyum bahagia, terbesit dipikirannya sebuah  pertanyaan "Apakah ayah yang datang bi, ayah mau jemput Etha kan?" "Etha, 

dengar bibi, ayahmu tidak pernah mencarimu, jadi berhenti bertanya tentang  ayahmu". Suara gedoran pintu memecah keheningan yang sempat terjadi antara  bibi dan Aretha, Aretha berjalan membukakan pintu, saat pintu itu terbuka,  terlihatlah seorang gadis cantik yang berkulit putih, berpenampilan rapi,  dilengkapi dengan wajah yang dipoles riasan, Aretha yakin bahwa gadis itu  adalah gadis kota. Tanpa mengucap sepatah kata pun, gadis kota itu masuk  melewati Aretha tanpa menoleh kearahnya, dengan senyum lebar bi Ira berkata  "Karina, kemari dan nikmatilah hidangan ini" gadis itu dengan angkuh berkata  "Aku tidak selera makan di kursi kayu, tujuanku datang kesini untuk mengambil  liontin, sekarang mana liontinnya aku ingin segera pergi dari tempat kumuh ini". "Nak, Ibu mohon makanlah" "Makan?, tidak akan, dan apa tadi, ibu? Aku hanya  memiliki ayah" jawab gadis itu sambil tertawa. Aretha kembali tertegun, baru kali  ini ia mendengar kata ibu keluar dari mulut bibi. Lamunan Aretha buyar saat suara  dentingan barang berasal dari kamarnya, ia bergegas berlari menuju kamarnya,  terlihat Karina mengobrak abrik kamar Aretha dengan tujuan untuk menemukan  liontin. Akan tetapi mata karina tertuju pada sebuah tumpukan buku, ada satu  buku yang menurutnya cukup aneh tetapi menarik, ia menjangkau buku itu, tetapi  terhalang oleh Aretha, Karina dengan cepat mendorong Aretha, hingga kening  Aretha terbentur dinding, tetapi sikap Karina biasa saja. Ia membuka buku  tersebut, dan terhenti pada sebuah sketsa, seketika mata Karina melotot, dengan  cepat ia membakar buku berwarna coklat gelap milik Aretha, Aretha panikdengan sigap ia mengambil buku miliknya, tapi sayang, buku itu telah menjadi  kepingan abu, hanya tersisa tiga lembar akhir yang bisa ia selamatkan, Aretha  menangis sejadi-jadinya, bagaimana tidak, segala titipan kerinduannya hangus  ditelan api.  

Karina tidak berhasil menemukan apa yang ia cari, dengan perasaan kesal ia  meninggalkan rumah kayu itu, dan bergegas menaiki mobil. Akan tetapi ditengah  perjalanan, hujan turun deras, mengakibatkan ban mobil yang dikemudi Karina 

tergelincir dan menghantam pohon, hingga terpental masuk ke jurang. Bi ira  membawa karina ke rumah sakit, dan ditempatkan di ruang ICU, sedetik  kemudian dokter keluar dari balik pintu ICU, bi Ira dengan cepat bertanya "Dok,  bagaimana keadaan anak saya?" "Anak ibu memerlukan transplantasi hati, akibat  benturan yang kuat, menjadikan kerusakan pada organ hati anak ibu". Bibi tak  kuasa menahan tangis, Aretha menatap sendu bibinya, dan benar saja bahwa  Karina adalah anak kandung bibinya. Sebuah kalimat terlontar dari bibir Aretha  "Bi, Aretha mau jadi donor hati buat kak Karina, bolehkan bi?" bi Ira tersentak  kaget mendengar kalimat Aretha "Tidak Aretha!". Aretha tersenyum, dengan bibir  bergetar gadis itu kembali berkata "Bibi mau tahu, Aretha menderita penyakit  leukemia, yang mungkin tidak akan bertahan lama, tapi bibi tenang saja, organ  hati Aretha masih berfungsi dengan baik bi, tapi Aretha mohon sama bibi, tolong  pertemukan Aretha sama ayahnya Aretha bi, untuk kali ini saja, dan satu lagi,  Aretha titip kertas ini ya, nanti bibi boleh buka bersama ayahnya Etha."Saat bi Ira  ingin berkata, tiba-tiba dokter datang dan mengatakan bahwa transplantasi hati  harus dilakukan sekarang, Aretha berkata "Baik dok, saya pendonornya". Aretha  berjalan mengikuti langkah kaki dokter, dan berbaring diatas brangkar di ruang  operasi, tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pria paruh baya, pria itu  menatap tak percaya seorang gadis yang berbaring diatas brangkar, memiliki  wajah yang sama persis seperti mendiang istrinya, dengan langkah gemetar pria  paruh baya itu mendekati Aretha, sambil berkata "Aretha, ini ayah nak". Aretha  tertegun, dengan cepat ia memeluk ayahnya, lalu dalam tangisan bahagia ia  berucap "Aretha sangat bahagia yah, akhirnya Etha bisa ketemu dan memeluk  ayah", "Maafkan ayah Aretha, ayah telah salah mengenali anak ayah sendiri" tangis haru pecah di ruang operasi "Nak, mengapa kamu ingin memberikan  hatimu kepada Karina?" tanya pria paruh baya itu di sela tangisnya "Ayah, mimpi  terbesar Aretha adalah bisa bertemu dan memeluk ayah, jika Aretha tidak di posisi  ini, apakah mungkin, Aretha akan bertemu dengan ayah". Pak Ares tertegundengan rasa bersalah ia berkata "Maafkan ayah Aretha maafkan" Aretha 

tersenyum "Ayah, Aretha ingin, hati Aretha ada di kak Karina, agar Aretha bisa  bersama Ayah selalu, meskipun dengan raga yang berbeda". "Aretha telah ketemu  sama Ayah, saatnya Aretha bertemu bunda di dimensi yang lain, Ayah janji harus  sayang sama kak Karina, karena Aretha ada dalam diri kak Karina, Aretha mau  ngucapin terima kasih telah menjadi ayahnya Aretha". Ayahnya kembali memeluk  erat tubuh mungil anak remajanya. 

Operasi berlangsung, di luar ruangan, bibi yang merupakan adik dari  mendiang istrinya berkata "Maafkan saya kakak ipar, saya sengaja menukar anak  saya dengan anak kakak saya, agar Karina bisa hidup bahagia, saya menyesal,  karena saya, Aretha jadi terserang penyakit, seandainya Aretha hidup bersama  ayahnya, penyakitnya pasti bisa diobati, saya sangat menyesal." tidak terdengar  balasan apapun dari ayahnya Aretha, hanya tatapan kosong yang terpancar di  matanya. Bi Ira teringat akan sesuatu, tiga lembar kertas yang dititipkan oleh  Aretha untuk ayahnya, dengan getir tangan pak Ares menerima kertas itu,  perlahan membukanya "Ayah, ini surat yang kesekian kalinya Etha tulis untuk  ayah, Etha tahu ayah pasti sosok yang tampan, makanya bunda jatuh cinta sama  ayah, tapi ketampanan ayah, tidak sampai di indra penglihatan Etha, ayah dimana,  Etha pengen banget, ayah hadir di hadapan Etha, bahkan setiap tidur, harapan  Etha adalah ayah hadir di mimpi Etha". Pak Ares tak kuasa menahan tangis,  dengan getir, ia beralih ke lembar kertas yang kedua "Bibi, Etha mau ngucapin  terima kasih, Etha sengaja sembunyikan penyakit Etha dari bibi, karena Etha  takut bibi kepikiran". Lagi dan lagi pak Ares kembali terharu, membayangkan  betapa sakit anaknya, menahan penyakitnya seorang diri, tanpa berbagi ke siapa pun, andai waktu bisa di ulang, ia ingin Aretha hidup bersamanya selalu. Kertas  terakhir ia raih, namun kertas itu tampak sedikit terbakar di sudutnya, terukir  gambar anak, ibu, dan ayah, yang pak Ares yakini bahwa itu adalah gambaran keluarga mereka karya Aretha Laskara. "Aretha, Ayah sayang Etha, bahagia  selalu bersama bunda, di sini ayah hidup bersama hatinya Aretha".


Posting Komentar

0 Komentar