Lidah dan Doa Inyiak Adam - Alya Mukhbita Sandra

 

Lidah dan Doa Inyiak Adam 
Karya Alya Mukhbita Sandra 


Suara sendu sampai saat sekarang ini masih terasa sama. Di mana canda tawa  yang dulunya merekah, kini sirna dengan satu panggilan yang entah kapan  tibanya. Angin laut Muntai berhembus perlahan, membawa aroma asin dan  kenangan yang tak sempat diucap. Desa yang dahulunya damai dan tenteram kini  diliputi duka. Sesosok petuah di Bengkalis, di Desa Muntai, akhirnya  mengembuskan napas terakhirnya. 

Di balik senyuman yang selalu terpancar, ternyata tersimpan banyak misteri. Mata  almond cokelat keemasan itu dulu selalu berkilauan di bawah mentari. Rambut  putih yang tergerai lembut, dengan beberapa helai beruban, membuat siapa pun  merasa hormat dan kagum. Suaranya lantang dan berwibawa, tegas sekaligus  bijaksana menjadi panutan bagi warga desa Muntai. 

Sudah satu minggu, awan hitam membentang luas seperti samudra gelap yang  mengancam. Keluarga yang masih berkabung hingga kini berkumpul di rumah  kayu peninggalan Inyiak Adam, tempat yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya.  Ruang tamu masih dipenuhi aroma kopi hitam dan dupa yang perlahan padam. Di  dinding tergantung foto Inyiak Adam dengan senyum bijaknya, seakan masih  mengawasi. Suasana hening; hanya terdengar detak jam dan desah napas orang orang yang menahan pilu. 

Rani menggenggam ujung kainnya erat-erat. Matanya beralih dari foto di dinding  ke wajah ibunya. 

“Mak... rumah ini nanti gimana?” suaranya akhirnya memecah kesunyian. Ibunya, dengan mata sembap, meletakkan cangkir di atas meja kayu.

“Semua masih diatur, Nak. Wasiat Inyiak belum sempat dibuka waktu beliau  sakit,” ujarnya pelan. 

Dari sudut ruangan, Paman Hasan ikut bicara, suaranya berat. 

“Inyiak pernah bilang, tanah sawah di belakang rumah mau dibagi rata. Tapi untuk  rumah ini... katanya, biarlah tetap jadi tempat berkumpul keluarga.” 

Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara daun di luar yang tersapu angin  sore. 

“Kalau begitu, jangan sampai rumah ini dijual, Mak,” Rani menatap ibunya  dalam. “Inyiak selalu bilang, rumah ini saksi semua cerita kita.” 

Ibunya mengangguk pelan, air mata menetes tanpa suara. 

“Benar, Nak... warisan terbesar bukan tanah atau rumah ini,” katanya lirih, “tapi  cara kita menjaga kebersamaan setelah beliau pergi.” 

Setelah perundingan selesai, diputuskanlah rumah itu tidak dijual. Rani dan  ibunya akan tetap tinggal di sana. Ayah Rani telah meninggal sejak ia berumur  sepuluh tahun, sehingga mereka memang sudah lama tinggal bersama Inyiak  Adam. Kehilangan Inyiak adalah mimpi terburuk baginya. Sejak kecil, setiap  pulang sekolah, Rani selalu bercerita tentang kegiatannya, dan Inyiak-lah orang  yang paling bersemangat mendengarkannya. 

Sekarang Rani duduk di bangku kelas tiga SMA. Ia ingin melangkah ke dunia  perkuliahan, tapi semenjak kepergian Inyiak Adam, arah hidupnya terasa kabur.  Kadang, ketika malam tiba dan lampu kamar dimatikan, suara itu kembali hadir— seolah Inyiak Adam belum benar-benar pergi. 

Pesan itu selalu terngiang di kepalanya: 

“Di mana pun kau nantinya berada, tolong jangan keras kepala. Kau di negeri  orang, kau akan belajar arti sabar, arti rindu, dan arti rumah. Jangan lupa, rumah  itu selalu menunggumu, bukan hanya tempat, tapi hati yang mencintai tanpa  syarat.”Langit pagi itu mendung, seolah ikut menunduk bersama langkah Rani 

yang perlahan menuju kelas. Di tangannya tergenggam buku tulis dengan sampul  yang mulai sobek di ujungnya. Setiap kali ia melewati lorong kelas, suara tawa  dari kelompok di pojok selalu membuatnya ingin menghilang. 

“Eh, si Rani datang! Jangan-jangan bukunya masih bau hujan!” celetuk seorang  anak laki-laki di bangku belakang, diikuti derai tawa teman-temannya. 

Rani hanya tersenyum kecil—senyum yang dipaksa, agar tak terlihat lemah. Ia  duduk di kursinya, menatap papan tulis yang kosong, mencoba menenangkan diri.  Tapi bisikan-bisikan itu tak pernah berhenti. 

“Lihat deh rambutnya… kayak belum disisir.” 

“Kasihan, sepatunya lusuh banget.” 

Setiap kata itu menancap seperti duri. Kadang, Rani berpikir untuk tak datang ke  sekolah lagi. Tapi ada satu hal yang menahannya, mimpi kecilnya menjadi sukses  dan membahagiakan ibunya, karena hanya itu yang ia punya. Namun di sela  keheningan itu, kenangan tentang Inyiak Adam tiba-tiba datang menghampiri,  seolah memanggil dari masa lalu. 

Sore itu, di teras rumah, Inyiak Adam duduk dengan sarung dan songkoknya.  Suara lembutnya masih terngiang: 

“Jangan kau lawan kata, lawanlah dengan diam yang berisi doa. Lidah orang  ibarat angin—ada yang sejuk menyapa, ada pula yang membawa debu. Jangan  disimpan semua di dada, nanti hatimu yang sesak.” 

Bel sekolah berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Rani tersenyum  samar, mengingat kejadian masa lampau itu. Sepulang sekolah, langkahnya  terhenti di depan mading yang bertuliskan: 

“Festival Sastra Melayu Riau.” Melihat hadiah dan tema lomba itu, hatinya  bergetar. Ia teringat pesan Inyiak: “Yang kukuh bukan kaki, tapi hati.”

Rani yakin, lewat lomba ini, ia bukan hanya menulis, tapi juga berbicara dengan  Inyiak dalam bahasa yang tak lekang oleh waktu. 

Sesampainya di rumah, ia bergegas menemui ibunya dan menceritakan lomba  tersebut. Mata sang ibu berbinar melihat antusiasme anaknya. Sembari merangkai  kata demi kata, ibu tiba-tiba memberikan sebuah buku kuno yang katanya  peninggalan dari Inyiak Adam. Rani terpana melihat buku bersejarah itu. 

“Semoga buku ini bisa membantumu, Nak. Ibu yakin kamu bisa,” ujar ibunya  sambil menggenggam tangan Rani. 

Rani membuka lembaran buku yang berisi petuah-petuah Inyiak Adam. Meski  beberapa kalimat sulit dimaknai, ia tetap membacanya perlahan. Hingga di salah  satu halaman, Rani menunduk, teringat teman-temannya di sekolah. 

“Nak, hidup ni panjang jalannya, berliku pula tikungannya. Kadang terang,  kadang gelap. Tapi, jangan takut melangkah, asal hatimu masih berpaut pada niat  yang baik. Dunia ni, Nak, bukan tempat berlomba siapa cepat, tapi siapa kuat  menahan sabar. Orang yang sabar tu bukannya lemah, tapi dia tahu kapan  lidahnya perlu diam, kapan tangannya perlu menolong. Jangan kau balas kata  orang yang menikam dengan lidahmu sendiri, sebab kalau api dibalas api, rumah  akan hangus dua-duanya. Biarlah orang bercakap, biarlah orang mengata— yang penting kau tahu siapa dirimu. Kalau hatimu bersih, walau lumpur datang  menempel, dia takkan kekal lama. Inyiak dulu pun pernah jatuh, Nak, tapi jatuh  itu bukan akhir. Dari jatuh itu Inyiak belajar, yang kukuh bukan kaki, tapi hati. Peganglah ini baik-baik: jangan cepat mengeluh, jangan sombong bila diberi,  sebab hidup ni bukan untuk menang sendiri, tapi untuk menabur kebaikan yang  kekal selepas mati.” 

Di situ, Rani semakin yakin untuk menulis kisah hidupnya. Ia ingin menuangkan  kenangan dan nasihat Inyiak Adam dalam sebuah karya. Bukan hanya sekadar mengikuti lomba, tapi juga sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan lewat  bahasa daerah. 

Tak hanya itu, Rani juga ingin memperkenalkan bahasa Melayu Bengkalis yang  tertuang dalam petuah Inyiak Adam. Dalam hatinya, ia berbisik pelan, 

“Inyiak, lihatlah... lidah yang dulu diam kini menulis, membawa pesanmu menembus zaman.”


Posting Komentar

0 Komentar