Pelestarian Budaya Bumi Lancang Kuning Pada Adab Kehidupan Sehari-Hari - Maulana Al Amin

 


Pelestarian Budaya Bumi Lancang Kuning Pada Adab Kehidupan Sehari-Hari
Karya: Maulana Al Amin

Bumi Lancang Kuning, atau yang lebih dikenal sebagai Provinsi Riau, Daerah ini memiliki beragam suku bangsa, dengan suku mayoritasnya yaitu Suku  Melayu. Bangsa Melayu memiliki berbagai keberagaman warisan budaya yang  diwariskan secara turun-temurun, namun kini mulai terkikiskan oleh zaman.  Bangsa Melayu dikenal sebagai masyarakatnya yang disebut “Orang Budiman” 

artinya memiliki budi pekerti dan budi bahasa yang baik. 

Masyarakat Bumi Lancang Kuning sangat menjunjung tinggi adab  dibandingkan apapun. Budi bahasa diterapkan dalam bentuk lisan. Sedangkan  penerapan dalam bentuk fisiknya bernama “Budi Pekerti”. Kedua jenis adab ini  sangat saling berhubungan karena budi pekerti tidak akan lengkap tanpa adanya  budi bahasa begitu juga sebaliknya. 

Budi bahasa memiliki adab dalam pemakaiannya atau aturan dalam  pemakaiannya. Masyarakat pada Bumi Lancang Kuning ini sangat memerhatikan penggunaan bahasa. Hal ini disebabkan oleh tingkah laku yang baik sebagai aspek  kesantunan, serta penggunaan bahasa yang baik sebagai aspek dasar kesopanan. Di antara pemakaian bahasa, terdapat tiga adab dalam pemakaiannya. Pemakaian  bahasa ini di antaranya adalah Bahasa Mendaki, Bahasa Menurun, Bahasa  Mendatar. Masing-masing pemakaian bahasa tersebut tergantung pada siapa  lawan bicaranya  

Adab yang pertama adalah Bahasa Mendaki. Bahasa ini digunakan kepada  orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Biasanya ciri khas dari  pemakaian bahasa ini ialah tidak adanya nada yang ditinggikan karena hal  semacam ini terbilang seakan-akan membangkang dan melawan. Contoh dari  Bahasa Mendaki itu adalah adanya kata panggilan sebelum menyampaikan pesan  seperti “Bapak”, “Ibu”, dan “Encik”.


Adab yang kedua adalah Bahasa Mendatar. Pada pemakaian bahasa ini  biasanya digunakan kepada orang yang sebaya atau yang kedudukannya sama.  Bahasa Mendatar berbeda dengan Bahasa Mendaki dan Bahasa Menurun karena  pemakaian bahasa ini boleh secara bebas kata-kata yang dituturkan. Bahasa ini  juga digunakan untuk menjaga hubungan sosial. Cara penggunaan bahasa ini  sebenarnya tidak ada aturan dalam struktur pembacaannya karena ciri khas bahasa  ini adalah berbicara langsung pada intinya tanpa basa-basi, seperti “Hei, apa  kabar?” atau “Mau, ke mana?”. 

Pemakaian bahasa yang ketiga adalah Bahasa Menurun. Bahasa ini  digunakan untuk orang yang lebih tua untuk berbicara kepada orang yang lebih  muda. Bahasa ini dipakai untuk memberi petunjuk, pedoman, ajaran, dan berbagai  pesan untuk memberikan pengajaran yang baik. Contoh dari penggunaan bahasa  ini, seperti “Nak” untuk anak. 

Budi Pekerti adalah jenis adab yang kedua pada masyarakat Bumi  Lancang Kuning. Budi Pekerti adalah adab dalam kehidupan sehari-hari dalam  bentuk perbuatan fisik. Adanya Budi Pekerti untuk menjadi pelengkap dari Budi  Bahasa karena semua yang kita lakukan bukan hanya dari lisan namun juga dari  bentuk fisik. Budi Bahasa tentunya sama sekali tidak ada gunanya tanpa Budi  Pekerti. 

Budi Pekerti orang Melayu adalah jati diri yang terwujud dalam bentuk  perilaku sehari-hari. Budi Pekerti bangsa Melayu harus berlandaskan ajaran  agama Islam. Budi Pekerti tentunya diwariskan oleh orang dahulu untuk generasi generasi selanjutnya. Nilai-nilai pada Budi Pekerti diukur melalui lima tingkatan emosi yaitu Malu, Rajuk, Amuk, Latah, Menghindar. 

Tingakatan yang pertama adalah tingkatan yang paling tinggi yaitu Malu.  Yang dimaksud malu adalah malu yang lebih ke arah segan. Intinya adalah  kepribadian orang melayu yang menjunjung tinggi martabat diri. inti dari rasa  malu ini adalah segan dalam berbuat sesuatu yang menyimpang dari agama Islam  dan adat istiadat. Contohnya seperti tidak mau menyontek teman saat ujian karena  malu jika ketahuan. 

Tingkatan emosi yang selanjutnya adalah Menghindar. Menghindar disini  artinya adalah lebih memilih untuk menghindari konflik sebagai cara  keharmonisan. Orang Melayu lebih suka menghindari konfrontasi langsung untuk menjaga keharmonisan sosial. Contohnya ialah lebih memilih menghentikan suatu  pembicaraan ketika situasi mulai memanas. 

Tingkatan selanjutnya adalah Amuk. Tingkatan emosi ini adalah tingkatan  emosi yang paling ekstrem. Karena reaksi ini adalah kemarahan yang meluap luap, yang bisa membuat seseorang bertindak di luar akal sehat. Contoh dari 


fenomena ini adalah Seorang siswa yang sering dirundung tidak tahan lagi, lalu  tiba-tiba menyerang teman-teman sekelasnya dengan benda berbahaya. Rajuk ialah tingkatan emosi yang menunjukkan ekspresi kekecewaan atau  kemarahan yang tidak diungkapkan secara terang-terangan. Orang yang  mengalami tingkat emosi ini biasanya akan menunjukkan sikap diam atau tidak  mau bicara. Contohnya seperti saat seseorang merasa kecewa karena hasil kerja  tidak dipuji oleh guru, padahal ia sudah bekerja paling keras, sejak saat itu orang  tersebut mengalami perubahan dalam tingkah laku, seperti jarang berbicara dan  sering menyendiri. Harapan dari tingkah lakunya itu ialah agar seseorang  menyadari kekecewaannya akan sesuatu. 

Tingkatan emosi yang selanjutnya ialah Latah. Tingkah laku dari emosi ini  dianggap oleh bangsa Melayu sebagai reaksi berlebihan yang disebabkan oleh  keterkejutan. Sikap dari latah ini dapat berupa mengucapkan suatu kata atau  menirukan gerakan orang lain di luar kendali. Sikap ini sering kali muncul dalam  situasi sosial. 

Lima tingkatan tersebut sangat berhubungan erat dengan sikap masyarakat pada Bumi Lancang Kuning dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya selain dari  lima emosi tersebut masih terdapat banyak sekali emosi yang ada di penjuru dunia  seperti rindu, kagum, suka, dan lainnya. Lima emosi tersebut dijadikan sebagai  tingkatan dalam budi pekerti karena diantara sekian banyaknya emosi yang sangat  mencerminkan gambaran budaya melayu ialah lima tingkatan emosi tersebut.  

Seluruh adab dalam kehidupan sehari-hari tersebut tidak hanya digunakan  oleh orang-orang pada Bumi Lancang Kuning. Namun, adab-adab tersebut juga  digunakan oleh berbagai orang di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena nilai nilai pada budaya ini bersifat universal. Universal artinya adalah bisa diterapkan  dan dipraktikan oleh siapapun dan bukan hanya orang Melayu saja. 

Adab dalam kehidupan sehari-hari tersebut tentunya termasuk ke dalam  kekayaan budaya Indonesia dan bukan hanya kekayaan bagi bangsa Bumi  Lancang Kuning. Kekayaan yang sangat menarik ini tentunya diwariskan oleh  orang dahulu agar bisa dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Sayangnya  semakin berkembangnya zaman generasi muda malah banyak sekali yang  melupakan akan budaya warisan mereka. Tentunya ini karena semakin  berkembangnya teknologi sehingga lebih mudah mengakses informasi. Dari ekian  banyak informasi tersebut, tentu ada informasi yang tidak tersaring sehingga  membuat generasi muda sekarang menirukan hal-hal negatif dari informasi yang  tidak tersaring tersebut. 

Pelestarian terhadap budaya warisan tersebut tentu sangatlah dibutuhkan  agar budaya ini tetap bisa bertahan hingga generasi yang akan mendatang. Oleh  karena terdapat beberapa cara untuk mempertahankan budaya tersebut, seperti  mengamalkan setiap pemakain bahasa dan mempelajari adab-adab tersebut. 


Seandainya bukan kita yang melakukannya, maka siapa lagi yang akan  mempertahankannya. Segala sesuatu itu dimulai dari diri kita. Marilah bersama  kita lestarikan budaya bumi Melayu ini agar tetap bisa dinikmati generasi  mendatang.

Posting Komentar

0 Komentar