Karya : Amanda Sharfina Mahawisnu
Angin sore Melbourne membawa aroma kopi dan sedikit sunyi yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa mana pun. Di sebuah kafe kecil pada ujung jalan, seorang gadis menatap layar laptopnya yang penuh baris kalimat belum selesai. Kata-kata itu menunggu untuk diterjemahkan, seolah menunggu izin untuk menyeberang ke dunia lain. Ia sudah terbiasa menjadi jembatan antara dua bahasa, Inggris dan Indonesia, dua dunia yang sering bertemu tapi jarang saling memahami.
Namun sore itu ia tidak sedang bekerja untuk klien asing, melainkan menulis sesuatu untuk dirinya sendiri. Sebuah rancangan kecil bernama ‘Festival Bahasa Indonesia dan Budaya Nusantara’.
Namanya Sekar Naima Anindita, atau akrab disapa Naima. Seorang gadis asal Indonesia yang menjadi penerjemah bahasa Indonesia di Melbourne, Australia. Bagi sebagian orang, bahasa hanyalah alat untuk berbicara. Namun bagi Naima, bahasa adalah cara bangsa mengingat dirinya. Setiap kata menyimpan napas leluhur, setiap kalimat membawa pulang cerita yang hampir dilupakan. Naima tidak ingin kisah-kisah tentang bahasa hanya berdiam di buku atau justru mati di lidah yang tak sempat mengucap. Kali ini, ia ingin dunia mendengarnya.
“Maaf saya terlambat.” Suara berat milik seseorang berhasil mengalihkan fokusnya. Naima kini menatap pria yang sudah duduk manis dengan senyum kikuk di depannya itu.
“Kali ini kenapa lagi?” tanya Naima jengah.
“Tenang dulu dong. Ini saya habis cek taman yang mau kita pakai untuk festival. Kamu tahu apa? Pemiliknya kasih kita izin untuk pakai gratis, karena saya bilang itu untuk acara budaya Indonesia.” Kalimat panjang itu disampaikan Chris dengan satu tarikan napas, tidak lupa dengan nada yang terdengar sungguh antusias.
Namun sepertinya, kabar gembira ini tidak membuat Naima ikut bereaksi sama. Gadis itu kini mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak, netranya menatap Chris dengan pandangan yang sulit diartikan. Dalam beberapa detik saja,
senyum yang menghiasi wajah Chris luruh seketika. Kali ini ia membalas tatapan Naima, meminta jawaban atas sikapnya.
“Kayaknya kita batalin aja deh acaranya. Siapa yang mau datang?” “What?! Are you sure Naima?”1
“I’m sure.”2
Chris melemparkan tatapan bingung, ia sungguh tidak mengerti mengapa Naima secara tiba-tiba ingin membatalkannya. Tadi pagi, gadis itu memintanya untuk bertemu dan membahas perihal festival budaya ini. Namun sore ini ketika ia membawa kabar baik, Naima justru tiba-tiba membatalkannya. Ada apa dengan Naima?
Naima menghembuskan napas berat, gadis itu kemudian menjelaskan. “Aku ragu Chris. Takut acara ini cuma megah di kepala sendiri, dan gak berarti apa-apa untuk orang lain seteleh kita realisasikan. Kamu capek tanpa dapat hasil memuaskan, begitu juga aku.”
“Secara gak langsung, kamu baru saja kasih tau saya tentang ketakutan di kepala kamu, bukan tentang apa yang akan terjadi sama acaranya.”
“Konsep dan ide kamu itu sudah lebih dari cukup untuk direalisasikan, Naima.” Kali ini Chris benar-benar menatap Naima serius, dalam, dan penuh arti. Pria itu mencari beberapa keraguan dari netra hitam pekat milik Naima, dan benar saja, keraguan itu ada di sana.
“Nai, kamu ingat nggak pertama kali kita ketemu di mana?” Chris melontarkan pertanyaan yang cukup mudah diingat oleh Naima, gadis itu dengan cepat menjawab.
“Di Festival Kidung Kata Belanda.”
“Kamu tau nggak kenapa saya masih di sini bantuin kamu realisasikan Festival Bahasa Indonesia dan Budaya Nusantara ini, padahal kamu sendiri sudah
1 What?! Are you sure, Naima? : Apa?! Apakah kamu yakin, Naima? 2I’m sure : Saya yakin
ragu? Karena pertama kali kita ketemu di Belanda waktu itu, kamu bilang kalau kamu mau dunia mendengar kamu lewat bahasa Indonesia. Kamu mau ketika orang-orang melihat budaya Indonesia, ada nama kamu yang ikut terbesit di benak mereka walaupun hanya sekadar lewat saja. Itu kata kamu waktu itu, dan saya akan selalu ingat itu. Makanya saya ada di sini sekarang, Naima.”
Memori Naima terlempar jauh hingga Festival Kidung Kata Belanda, pertama kali ia bertemu dengan Chris, pria yang memainkan gamelan dengan nada yang sungguh apik di sana. Naima ingat akan semua yang baru saja Chris katakan. Tentang dirinya yang ingin didengarkan dunia atas nama bahasa Indonesia, tentang namanya yang ia harap bisa dikenal sebagai penghantar warisan budaya. Namun, bukankah itu sebatas angan-angan gadis yang baru saja meninggalkan Indonesia?
“Kayaknya kamu harus lupain kalimat-kalimat itu deh. Itu malah jadi kayak bualan orang desa yang baru berhasil ke luar negeri,” balas Naima.
“Kalau itu cuma bualan, kamu nggak mungkin masih jadi translator Bahasa Indonesia di sini. Kan kamu sendiri yang bilang kalau jadi translator lumayan capek, dan masih ada bisnis keluarga kamu yang harus diterusin di Indonesia. Terus kenapa masih di sini?”
Pertanyaan Chris kali ini membuat Naima diam cukup lama. Naima tidak sedang berpikir untuk mencari jawaban atas apa yang baru saja Chris tanyakan. Otaknya sibuk bekerja mencari jawaban untuk dirinya sendiri, mengapa Naima masih ada di Melbourne untuk pekerjaan ini?
“Oke, ajak aku lihat tempatnya sekarang.” Satu kalimat pasti yang membuat Chris dan Naima beranjak saat itu juga.
Ternyata jawabannya tetap sama. Mengapa Naima masih ada di Melbourne hari ini, jelas untuk satu hal yakni menjaga agar suara bahasa itu tetap hidup. Di negeri yang jauh dari tanah tempatnya dilahirkan, Naima ingin memastikan setiap suku kata masih punya tempat untuk diucapkan, dan setiap budaya Indonesia masih punya ruang untuk ditampilkan. Festival yang akan ia buat itu bukan hanya sekadar acara, namun cara paling ampuh membawa pulang ingatan yang nyaris hilang, agar dunia tidak lupa dari mana semua cerita itu berasal.
***
Musik gamelan berpadu dengan bunyi biola memenuhi setiap sudut tempat ini. Di antara bendera merah putih kecil yang menari tertiup angin, suara bahasa Indonesia terdengar di setiap sudut, bercampur dengan aksen asing yang berusaha mengejarnya perlahan. Aroma sate yang dibakar di pojok taman bercampur dengan wangi melati yang memenuhi panggung utama. Anak-anak kecil berlari membawa kipas bermotif batik. Sementara para pengunjung asing berhenti di setiap stan, menatap kagum pada kain-kain tenun yang bergantung bak potongan langit dari berbagai daerah.
Dari atas panggung, seorang penari menunduk pelan, gerakannya lembut seperti angin yang menyapu laut Jawa. Tepuk tangan pecah, seolah ada sesuatu yang kembali hidup. Sesuatu yang dulu hanya mampu berdiam di halaman buku, kini menari di udara Melbourne sore itu.
Naima berdiri sedikit jauh dari keramaian. Netranya menelusuri setiap detail kata ‘selamat datang’ yang tertulis di papan besar dengan aksara Bali. Tawa orang orang yang mencoba mengucap ‘terima kasih’ dengan lidah kikuk, dan lantunan pantun yang dibacakan dalam dua bahasa. Di tengah semua itu, Naima merasa bahwa bahasa Indonesia sedanh pulang. Bukan ke tanah air, namun ke hati orang orang yang baru saja mengenalnya.
“You’ve built something rare,”3ucap seorang pria berambut abu-abu di sampingnya. Entah kapan pria paruh baya itu datang mendekatinya. Namun perkataannya baru saja membuat hati Naima menghangat.
“It’s not just a festival. It’s a way of remembering and reminding the world how language can carry a soul.”4
“Terima kasih.” Dua kata singkat, namun bermakna. Naima mengatakannya dengan tulus, sebelum akhirnya mengulas senyum dan beranjak dari sudut sana.
3 You’ve built something rare : Kamu baru saja membangun sesuatu yang langka 4It’s not just a festival. It’s a way of remembering and reminding the world how language can carry a soul : Ini bukan sekadar festival, ini adalah cara untuk mengingatkan dunia bahwa bahasa bisa membawa jiwa
Hari ini Naima tak terlalu tampak, namun suaranya menggema dalam rekaman suara yang memutarkan syair-syair Indonesia. Ia membiarkan puluhan orang lainnya menonjolkan diri mereka di kancah dunia, termasuk Chris yang kembali tampil dengan gamelan kesayangannya.
Namun sepertinya hari ini Naima bak lampu yang bersinar lebih terang dibandingkan lampu-lampu lainnya. Mungkin mereka tahu siapa sosok utama di balik adanya Festival Bahasa Indonesia dan Budaya Nusantara ini. Sekar Naima Anindita, gadis yang selalu percaya bahwa bahasa adalah cara bangsa mengingat dirinya, dan bahwa tak ada jarak yang terlalu jauh bagi sebuah suara untuk kembali pulang.
“Terima kasih Chris, berkat kamu,” ucap Naima ketika Chris melangkah ke arahnya.
“Berkat kita semua, Naima. Tapi yang paling utama, berkat kamu dan mimpi kamu membawa semua kemegahan budaya Indonesia sampai ke sini. Kalau kamu punya Impian lebih jauh agar dunia bisa mendengar kamu, kamu sudah melakukan itu sejak pertama kali kamu datang ke Melbourne. Suara kamu sebagai penerjemah bahasa Indonesia sudah menggema di seluruh stasiun televisi, Naima. Semua orang mendengarnya,” ujar Chris pernuh arti.
Malam mulai tiba dengan tenang. Satu per satu lampu meredup, meninggalkan cahaya hangat pada pengunjung yang masih enggan beranjak. Naima membiarkan riuh pelan menjadi musik terakhir bagi telinganya malam ini. Suara tawa, tepuk tangan, dan bahasa yang beragam menjadi berbaur melebur menjadi satu. Di matanya, ini bukan hanya sebuah acara yang selesai begitu saja, ini adalah janji yang berhasil ia tepati. Bahwa sejauh mana langkahnya dari tempat ia dilahirkan, setiap suku kata Indonesia akan tetap punya ruang untuk diucapkan.
Mungkin begitulah cara bahasa bekerja. Ia berjalan menyeberangi samudra, menyusup di antara logat manusia, berpindah dari satu lidah ke lidah lain, namun tak pernah kehilangan nadinya. Pada akhirnya, Naima menyadari satu hal, bahwa selama masih ada yang mau mengucapkannya, bahasa takkan pernah mati. Ia hanya menunggu untuk kembali didengar.
.png)
0 Komentar