Anak-anak tepi sungai Kampar itu berlomba untuk sampai ke masjid lebih dulu. Sandal jepit yang akrab disebut tarompa jopang menemani setiap langkah kecil mereka. Mengaji malam, aktivitas yang masih sangat lekat di kampung ini. Senyum bahagia dan semangat terpancar dari wajah mereka, apalagi saat menyapa para lelaki yang menuju pulang setelah mencari ikan di sungai.
Tidak jauh dari masjid tempat anak-anak mengaji. Di sebuah halaman yang luas dan dipagari oleh potongan bambu sama panjang serta barisan bunga soka setinggi pinggang orang dewasa. Berdiri kokoh pesona arsitektur masa lalu. Sebuah pesona adat yang menjadi kebanggan masyarakat Dusun Pulau Belimbing. Rumah Lontiok, rumah adat yang merupakan warisan budaya Kampar. Sebuah kearifan lokal Melayu di bumi Serambi Mekkah.
Tegak menghadap kiblat dan ditopang oleh tiang-tiang kokoh yang terbuat dari kayu tembusu, tampak jelas keagungan serta kesahajaan bangunan Rumah Lontiok. Rumah adat yang menjadi simbolis dan falsafah hidup masyarakat Melayu Kampar. Letak, bentuk, dan ukiran ornamen-ornamennya mengandung nilai tunjuk ajar kehidupan serta nilai tunjuk ajar agama Islam.
Bila diperhatikan, persilangan setiap penopang dan penyangga Rumah Lontiok tidak satu pun menggunakan paku. Setiap bagiannya terpaut erat oleh pasak kayu yang disusun dengan ketelitian. Papan-papan mengilap yang menjadi dinding Rumah Lontiok disusun secara vertikal dengan ukiran-ukiran indah pada setiap balok kayu penyangga lantai. Ukiran-ukiran lain juga terdapat pada ujung dan
pangkal sayap kanan dan kiri Rumah Lontiok, ukiran berbentuk ular menjuntai dari penyangga atas hingga sejajar lantai rumah.
Bila ukiran pada ornamen sayap kanan dan kiri berbentuk ular, lain pula dengan ukiran pada tiang penyangga berbentuk batang padi tegak yang filosofinya adalah sandang dan pangan. Setiap lekukan ukiran-ukiran itu terpahat jelas, meski telah termakan usia, namun jejak tangan leluhur Kampar masih terlukis nyata di sini.
Di bagian atas Rumah Lontiok, tampak jelas bentuk atap yang menjadi ciri khasnya. Atap Rumah Lontiok menyerupai perahu pelancang, melengkung seimbang, dan melentik ke atas pada kedua ujungnya. Bentuk atap yang melengkung inilah asal nama Rumah Lontiok. Konon filosofis dari bentuk atap itu adalah penghormatan kepada Allah SWT, serta refleksi kehidupan masyarakat yang dekat dengan sungai.
Berbeda dengan rumah panggung pada umumnya, pintu masuk Rumah Lontiok tidak berada di bagian depan, namun berada di sisi kanan Rumah yang menghadap ke jalan. Pada bagian inilah terdapat jenjang berundak lima yang menjadi penghubung antara tanah dan lantai rumah. Arah dan posisi Rumah Lontiok ini terlihat jelas seperti sebuah perahu yang sedang bersandar di daratan.
Tepat di sebelah kanan jenjang, berdiri sebuah wadah penampungan air berbentuk persegi dengan ukuran satu setengah meter dan tinggi sepinggang orang dewasa. Wadah ini selalu terisi penuh, sebagai pengingat setiap orang yang akan memasuki rumah untuk mencuci kaki terlebih dahulu.
Malam mulai menyapa. Cahaya lampu minyak yang baru saja dinyalakan memantul dari sisi-sisi dinding papan Rumah Lontiok. Seketika kehangatan dan rasa hormat memenuhi jiwa menyaksikan pesona jejak tangan para pendahulu. Suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab setelah hujan sore, menambah syahdu suasana. Sesekali terdengar derit jendela Rumah Lontiok yang diterpa embusan angin malam.
Sejuk embun malam yang mulai turun, mengalir saat kaki menapaki satu persatu undak jenjang Rumah Lontiok. Undak jenjang yang berbentuk persegi panjang itu dihiasi oleh ukiran berbentuk awan larat.
Saat berdiri di ambang pintu Rumah Lontiok, aroma kayu tembusu yang khas langsung tercium berpadu dengan sayup-sayup alunan lembut yang mengalun merdu dari dalam. Nada tinggi dan rendah berpadu indah, seolah menari-nari di udara sebelum menyentuh telinga. Menghipnotis, memaksa kaki terus masuk ke dalam Rumah Lontiok.
Lailaa Haillallah. Muhamad da Rasulullah.
Lolok la, Nak. Lolok la, Sayang
Lolok babuai yo, Nak. Dibuaian loju
Buaian loju, manyuwo loloK
Lolok babuai yo, Nak. Amak andukan
Lailaa Haillallah. Muhamad da Rosulullah.
Di ruang tengah Rumah Lontiok, terlihat seorang ibu berbaju kurung dengan rambut disanggul yang sedang menidurkan anak sambil melantunkan syair Baghandu. Sang anak berbaring nyaman beralaskan kasur kapuk kecil di dalam ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Ayunan rotan itu tergantung di langit langit rumah dan bergerak maju mundur seiring dengan gerakan tangan sang ibu. Diiringi syair Baghandu yang menyentuh jauh ke dalam kalbu. Mata mereka bertemu, memandang tersenyum. Ibu dan anak itu tengah bercengkrama, menenun kasih melalui syair.
Sungguh indah. Lantunan merdu ibu maandukan anak menyatu dengan pesona Rumah Lontiok, gambaran kehidupan zaman dahulu yang masih bertahan sampai saat ini. Malam perlahan merangkak, namun Baghandu masih mengalun merdu, meskipun, sang anak sudah tertidur.
Syair gubahan orang tua-tua dahulu itu memenuhi ruangan Rumah Lontiok, mengisi setiap sela keheningan malam, membisikkan kasih sayang, mengantarkan doa, memberi petuah, serta menyampaikan harapan untuk sang anak.
Saat malam yang semakin jauh, suara ibu pun mulai lirih, lampu colok yang menjadi penerang ruangan juga mulai redup, seolah ingin berganti dengan cahaya bulan yang semakin terang. Ayunan terhenti. Usapan lembut di kepala dan satu kecupan menjadi penutup lantunan Baghandu malam itu. Sang anak telah tertidur pulas.
.png)
0 Komentar