Rumah Lontiok dan Baghandu Harmoni Warisan Budaya Kampar - Tengku Aisyah Fachriah

 


Rumah Lontiok dan Baghandu Harmoni Warisan Budaya Kampar
Karya: Tengku Aisyah Fachriah

Langit jingga memayungi Dusun Pulau Belimbing berpadu indah dengan siluet  pucuk-pucuk pohon kelapa tepi sungai. Disusul oleh suara azan magrib yang mulai  menggema, mengalun tenang mengiringi senja. Beberapa anak dengan baju koko  seadanya, serta sarung yang terkalung di leher tampak berlari-larian menuju masjid  yang tidak jauh dari tepi sungai Kampar itu. Satu dua anak berlari sambil  memegangi peci hitam mereka yang sedikit longgar, menahan, agar tidak terlepas  saat berlari. 

Anak-anak tepi sungai Kampar itu berlomba untuk sampai ke masjid lebih  dulu. Sandal jepit yang akrab disebut tarompa jopang menemani setiap langkah  kecil mereka. Mengaji malam, aktivitas yang masih sangat lekat di kampung ini.  Senyum bahagia dan semangat terpancar dari wajah mereka, apalagi saat menyapa  para lelaki yang menuju pulang setelah mencari ikan di sungai. 

Tidak jauh dari masjid tempat anak-anak mengaji. Di sebuah halaman yang  luas dan dipagari oleh potongan bambu sama panjang serta barisan bunga soka  setinggi pinggang orang dewasa. Berdiri kokoh pesona arsitektur masa lalu. Sebuah  pesona adat yang menjadi kebanggan masyarakat Dusun Pulau Belimbing. Rumah  Lontiok, rumah adat yang merupakan warisan budaya Kampar. Sebuah kearifan  lokal Melayu di bumi Serambi Mekkah. 

Tegak menghadap kiblat dan ditopang oleh tiang-tiang kokoh yang terbuat dari  kayu tembusu, tampak jelas keagungan serta kesahajaan bangunan Rumah Lontiok.  Rumah adat yang menjadi simbolis dan falsafah hidup masyarakat Melayu Kampar. Letak, bentuk, dan ukiran ornamen-ornamennya mengandung nilai tunjuk ajar  kehidupan serta nilai tunjuk ajar agama Islam.  

Bila diperhatikan, persilangan setiap penopang dan penyangga Rumah Lontiok  tidak satu pun menggunakan paku. Setiap bagiannya terpaut erat oleh pasak kayu  yang disusun dengan ketelitian. Papan-papan mengilap yang menjadi dinding  Rumah Lontiok disusun secara vertikal dengan ukiran-ukiran indah pada setiap  balok kayu penyangga lantai. Ukiran-ukiran lain juga terdapat pada ujung dan 


pangkal sayap kanan dan kiri Rumah Lontiok, ukiran berbentuk ular menjuntai dari  penyangga atas hingga sejajar lantai rumah.  

Bila ukiran pada ornamen sayap kanan dan kiri berbentuk ular, lain pula  dengan ukiran pada tiang penyangga berbentuk batang padi tegak yang filosofinya  adalah sandang dan pangan. Setiap lekukan ukiran-ukiran itu terpahat jelas, meski  telah termakan usia, namun jejak tangan leluhur Kampar masih terlukis nyata di  sini. 

Di bagian atas Rumah Lontiok, tampak jelas bentuk atap yang menjadi ciri  khasnya. Atap Rumah Lontiok menyerupai perahu pelancang, melengkung  seimbang, dan melentik ke atas pada kedua ujungnya. Bentuk atap yang  melengkung inilah asal nama Rumah Lontiok. Konon filosofis dari bentuk atap itu  adalah penghormatan kepada Allah SWT, serta refleksi kehidupan masyarakat yang  dekat dengan sungai.  

Berbeda dengan rumah panggung pada umumnya, pintu masuk Rumah  Lontiok tidak berada di bagian depan, namun berada di sisi kanan Rumah yang  menghadap ke jalan. Pada bagian inilah terdapat jenjang berundak lima yang  menjadi penghubung antara tanah dan lantai rumah. Arah dan posisi Rumah  Lontiok ini terlihat jelas seperti sebuah perahu yang sedang bersandar di daratan. 

Tepat di sebelah kanan jenjang, berdiri sebuah wadah penampungan air berbentuk persegi dengan ukuran satu setengah meter dan tinggi sepinggang orang  dewasa. Wadah ini selalu terisi penuh, sebagai pengingat setiap orang yang akan  memasuki rumah untuk mencuci kaki terlebih dahulu. 

Malam mulai menyapa. Cahaya lampu minyak yang baru saja dinyalakan  memantul dari sisi-sisi dinding papan Rumah Lontiok. Seketika kehangatan dan  rasa hormat memenuhi jiwa menyaksikan pesona jejak tangan para pendahulu. Suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab setelah hujan sore, menambah syahdu  suasana. Sesekali terdengar derit jendela Rumah Lontiok yang diterpa embusan  angin malam.  

Sejuk embun malam yang mulai turun, mengalir saat kaki menapaki satu  persatu undak jenjang Rumah Lontiok. Undak jenjang yang berbentuk persegi  panjang itu dihiasi oleh ukiran berbentuk awan larat.


Saat berdiri di ambang pintu Rumah Lontiok, aroma kayu tembusu yang khas  langsung tercium berpadu dengan sayup-sayup alunan lembut yang mengalun  merdu dari dalam. Nada tinggi dan rendah berpadu indah, seolah menari-nari di  udara sebelum menyentuh telinga. Menghipnotis, memaksa kaki terus masuk ke  dalam Rumah Lontiok. 

Lailaa Haillallah. Muhamad da Rasulullah.  

Lolok la, Nak. Lolok la, Sayang  

Lolok babuai yo, Nak. Dibuaian loju 

Buaian loju, manyuwo loloK 

Lolok babuai yo, Nak. Amak andukan  

Lailaa Haillallah. Muhamad da Rosulullah. 

Di ruang tengah Rumah Lontiok, terlihat seorang ibu berbaju kurung dengan  rambut disanggul yang sedang menidurkan anak sambil melantunkan syair  Baghandu. Sang anak berbaring nyaman beralaskan kasur kapuk kecil di dalam ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Ayunan rotan itu tergantung di langit langit rumah dan bergerak maju mundur seiring dengan gerakan tangan sang ibu. Diiringi syair Baghandu yang menyentuh jauh ke dalam kalbu. Mata mereka  bertemu, memandang tersenyum. Ibu dan anak itu tengah bercengkrama, menenun  kasih melalui syair. 

Sungguh indah. Lantunan merdu ibu maandukan anak menyatu dengan pesona Rumah Lontiok, gambaran kehidupan zaman dahulu yang masih bertahan sampai  saat ini. Malam perlahan merangkak, namun Baghandu masih mengalun merdu,  meskipun, sang anak sudah tertidur. 

Syair gubahan orang tua-tua dahulu itu memenuhi ruangan Rumah Lontiok,  mengisi setiap sela keheningan malam, membisikkan kasih sayang, mengantarkan  doa, memberi petuah, serta menyampaikan harapan untuk sang anak.  

Saat malam yang semakin jauh, suara ibu pun mulai lirih, lampu colok yang  menjadi penerang ruangan juga mulai redup, seolah ingin berganti dengan cahaya  bulan yang semakin terang. Ayunan terhenti. Usapan lembut di kepala dan satu  kecupan menjadi penutup lantunan Baghandu malam itu. Sang anak telah tertidur  pulas.


Dari daun jendela yang masih terbuka, terlihat pantulan cahaya bulan di  hamparan sungai kampar. Riaknya ikut tenang menikmati alunan syair Baghandu yang mengalun mengisi simfoni ruang dan kayu Rumah Lontiok. Masyarakat  Dusun Pulau Belimbing mengakar dan terus tumbuh menjadi penjaga dan pewaris  budaya leluhur ini. Upaya yang tidak pernah habis agar budaya tidak terkikis.

Posting Komentar

0 Komentar