Nama yang Tertinggal di Batu Nisan
oleh: Steva Aldania Dianti
oleh: Steva Aldania Dianti
Bayu berdiri di pemakaman desa yang sepi. Angin gunung menyapu rerumputan, membawa bau tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga kamboja. Ia menatap satu per satu batu nisan yang berjajar tak teratur, sebagian tegak, sebagian miring ditelan waktu. Di hadapannya sebuah nisan tua ditumbuhi
lumut, dan di permukaannya terukir huruf-huruf yang baginya asing. Lengkungnya indah, seakan menari, tetapi sekaligus menutup diri. Bayu tahu itu bukan huruf latin, melainkan aksara Jawa, warisan yang seharusnya mengikat dirinya dengan masa lalu. Namun yang ia rasakan hanyalah keterasingan. Ia tidak bisa membacanya. Ia menyentuh batu itu dengan jemari, berharap ada ingatan yang mengalir dari dinginnya permukaan. Namun yang ia temukan hanyalah sunyi. Batu nisan yang seharusnya menyimpan nama leluhur justru menegaskan betapa jauhnya jarak antara dirinya dengan mereka. Ia ingin tahu siapa yang bersemayam di bawah tanah itu, ingin menyebut namanya dalam doa, tetapi lidahnya kelu karena tidak ada bunyi yang bisa diucapkan.
Ayahnya, Wibowo, berdiri tak jauh di belakang, wajahnya menatap kosong ke lembah. Bayu menoleh, menahan keresahan yang mendesak ke bibir. “Yah, ini siapa?” tanyanya lirih namun penuh tuntutan. Butuh waktu lama sebelum ayahnya menjawab. Suaranya terdengar seperti beban yang enggan diangkat. “Itu leluhur kita. Kakek buyutmu.” Bayu menunggu nama disebut, tetapi hening menggantung. “Namanya siapa?” Wibowo menunduk. Ia menghela napas dalam, seolah mengakui sesuatu yang memalukan. “Aku tidak yakin. Dulu pernah diberi tahu, tapi lupa.” Bayu terperanjat. “Lupa? Nama keluarga sendiri bisa lupa?” Dengan suara berat, Wibowo menambahkan, “Aku memang tidak bisa membaca aksara itu.”
Bayu terpaku. Kata-kata itu menamparnya, menegaskan jurang yang selama ini tak ia sadari. Nisan itu bukan lagi sekadar batu, melainkan dinding yang memutuskan mereka dari masa lalu. Ayahnya mencoba menenangkan dengan ucapan yang terdengar hambar. “Doa tidak butuh huruf. Tuhan mengerti meski tanpa aksara.” Namun Bayu merasa kata-kata itu justru semakin memperparah luka. “Tapi tanpa nama, bagaimana kita tahu siapa yang kita doakan?” Tak ada jawaban. Wibowo memilih berjalan menjauh, meninggalkan Bayu sendirian di antara nisan-nisan bisu.
***
Perjalanan pulang di atas sepeda motor tua berlangsung dalam hening. Bayu duduk di boncengan, membiarkan jalan berbatu mengguncang tubuhnya. Suara mesin yang kasar tidak mampu menutupi gema pertanyaan dalam kepalanya. Setelah lama menahan diri, ia berkata, “Kenapa kita tidak pernah diajari membaca huruf itu?” Ayahnya tidak menoleh. Tatapannya hanya lurus ke jalan. “Tidak semua hal
perlu dipelajari.” Bayu menahan amarah. “Tapi itu bahasa kita.” Jawaban yang datang membuat dadanya semakin sesak. “Bahasa yang tidak membuatmu diterima di kota.”
Bayu terdiam. Kalimat itu seperti vonis, seolah untuk bisa hidup di masa kini mereka harus mengorbankan masa lalu. Sesampainya di rumah tua bercat kusam, mereka disambut Mbah Ratri yang
berdiri dengan tongkat di teras. Tubuhnya renta, kulitnya keriput, namun matanya masih tajam. Ia menyambut cucunya dengan senyum getir. “Bayu, sudah besar sekali. Aku hampir tak mengenalimu.”
Bayu menyalami tangannya, merasakan hangat yang rapuh. Setelah duduk di kursi bambu yang berderit, Bayu memberanikan diri membuka percakapan. “Mbah, tadi aku ke makam. Ada tulisan di batu nisan. Aku tidak bisa membacanya.” Mbah Ratri terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Itu aksara kita, Nak. Aksara yang dulu jadi nyawa kampung ini.”
Bayu menoleh pada ayahnya yang duduk di sudut ruangan dengan wajah tertutup diam, lalu kembali pada neneknya. “Ayah tidak bisa membacanya.” Sekilas, sorot mata Mbah Ratri meredup. “Kami dulu sengaja lebih sering menulis dengan huruf latin. Katanya, biar mudah sekolah, biar bisa kerja di kota. Kami kira itu jalan maju.” Bayu menelan pahit kata-kata itu. “Kalau begitu, siapa yang akan melanjutkan?”
Tidak ada jawaban. Neneknya menunduk, ayahnya tetap membisu. Bayu merasa beban itu jatuh di pundaknya sendiri. Malam itu, ketika rumah tenggelam dalam sunyi, Bayu tidak bisa tidur. Ia berjalan ke ruang belakang yang jarang dibuka, dipenuhi debu dan bau kayu lembap. Di sana ia menemukan sebuah peti kayu kecil. Dengan hati-hati ia membukanya, dan di dalamnya ada buku tua dengan sampul kusam. Ia membuka lembar demi lembar, dan di sana ia melihat aksara-aksara yang sama seperti di batu
nisan. Guratan indah, penuh lengkung dan garis, seperti tarian yang asing sekaligus akrab. Bayu merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya. Seakan buku itu memanggilnya untuk membaca, untuk menghidupkan kembali suara yang hilang. Tetapi ia sadar, ia tidak tahu apa pun. Ia hanya menatap, merasa kalah oleh huruf-huruf yang seharusnya miliknya sendiri.
Suara ayahnya terdengar dari belakang. “Untuk apa kau membukanya?” Bayu menoleh, mendapati Wibowo berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang. “Aku ingin tahu,” jawab Bayu dengan suara bergetar. “Aku ingin membaca nama mereka.” Ayahnya melangkah masuk, suaranya dingin. “Membaca aksara itu tidak akan membuatmu hidup lebih baik. Dunia tidak menunggu orang yang sibuk menggali masa lalu.” Bayu menggenggam buku itu erat, matanya menatap tajam. “Kalau kita tidak tahu siapa kita, apa gunanya hidup di dunia ini?”
Kata-kata itu membuat ruangan kembali hening. Wibowo menunduk, seakan ucapan anaknya menampar luka yang selama ini ia sembunyikan. Namun ia tetap berkata lirih, “Aku memilih melupakannya agar kalian bisa diterima. Jangan salahkan aku.” Bayu ingin membalas, tetapi melihat wajah ayahnya yang lelah, ia menahan diri. Ia sadar luka itu tidak hanya miliknya, melainkan juga milik ayahnya, dan barangkali milik seluruh generasi yang pernah memilih meninggalkan sesuatu dem bertahan.
***
Keesokan harinya, Bayu kembali ke makam seorang diri. Jalan setapak yang ia lalui masih sama, berbatu dan dipenuhi rumput liar, tetapi langkahnya kini terasa berbeda. Di tangannya ia membawa buku tua yang semalam ia temukan, dan dengan hati-hati ia letakkan di pangkuannya ketika duduk di depan nisan yang kemarin membuatnya resah. Ia membuka halaman demi halaman, menatap huruf-huruf yang belum bisa ia pahami, guratan lengkung yang baginya seperti rahasia yang dijaga
berabad-abad.
Angin gunung berhembus pelan, membuat daun jati berdesir, seakan ikut menyimak kegundahannya. Di tengah hening itu, Bayu berbisik pelan, “Aku belum bisa membaca namamu. Tapi aku berjanji akan belajar.” Suaranya bergetar, seakan janji itu tidak hanya ia ucapkan pada batu, melainkan pada dirinya sendiri, pada darah yang mengalir di tubuhnya, pada arwah yang ia yakini masih menjaga tanah ini.
Air matanya menetes, bukan karena sedih semata, melainkan karena ia merasa sedang berdiri di hadapan sesuatu yang lebih besar dari dirinya: sejarah yang selama ini dibiarkan terkubur, identitas yang direlakan hilang demi disebut maju. Ia sadar, ucapannya mungkin terdengar naif, tapi di hatinya janji itu adalah ikatan, seperti tali yang menghubungkan dirinya dengan masa lalu yang terputus. Nama yang tertinggal di batu nisan itu bukan sekadar huruf yang terukir, melainkan panggilan agar ia menjaga warisan yang nyaris punah. Ia menatap nisan itu sekali lagi, dan dalam kebisuannya ia merasa ada gema yang samar, suara yan tak terdengar telinga tetapi mengguncang hati, berkata bahwa warisan kata bukan
hanya tentang bahasa, melainkan tentang keberanian untuk tetap mengingat ketika dunia meminta kita melupakan.
Dan di sanalah ia duduk, di antara nisan-nisan tua, merasakan dirinya bagian dari rantai yang rapuh. Ia tahu, tugasnya bukan sekadar hidup di masa kini dengan segala tuntutannya, melainkan memastikan agar nama-nama itu tetap terjaga. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Di balik huruf-huruf yang masih bisu itu, ia menemukan panggilan yang jelas: belajar, menjaga, dan meneruskan. Bayu menutup buku tua di pangkuannya. Ia mengusap nisan itu perlahan, seakan menyentuh tangan seseorang yang telah lama pergi. Lalu ia berdiri, menatap langit yang mulai memucat, dan dalam hati ia berjanji sekali lagi bahwa nama-nama itu tidak akan hilang. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan makam. Di belakangnya, nisan- nisan tetap berdiri diam, tetapi bagi Bayu, mereka bukan lagi sekadar batu. Mereka adalah suara yang akan ia bawa pulang, suara yang menuntunnya agar ingatan tidak pernah mati.
.png)
0 Komentar