Randai: Nafas Budaya dan Jiwa Kolektif Minangkabau - Naufal Faras Adena

 


Randai: Nafas Budaya dan Jiwa Kolektif Minangkabau
Karya: Naufal Faras Adena


Malam mulai turun di ranah Minang. Di halaman surau yang diterangi

lampu petromaks, orang-orang mulai berkumpul membentuk lingkaran besar.

Suara saluang mengalun dari kejauhan, diiringi tepukan galembong yang

berirama. Di tengah lingkaran, para pemuda berpakaian adat berdiri gagah,

dengan celana longgar berwarna hitam dan ikat kepala merah di dahi. Tiba-tiba,

terdengar teriakan kompak: “Hep! Hep!”. Langkah kaki menghentak tanah

serentak. Satu, dua, tiga — tubuh mereka berputar, menendang, menunduk, lalu

menepuk paha. Irama itu membentuk gelombang suara yang memantul ke dinding

bukit. Inilah Randai, kesenian kebanggaan masyarakat Minangkabau, Sumatera

Barat — perpaduan antara drama, tari, silat, musik, dan sastra yang membentuk

harmoni budaya yang luar biasa.

Randai lahir dari akar budaya masyarakat Minangkabau yang kental

dengan nilai gotong royong dan kebersamaan. Konon, bentuk awal Randai berasal

dari tradisi bagurau pertunjukan rakyat yang diadakan setelah panen padi atau

pesta adat. Dalam bagurau, masyarakat berkumpul di tanah lapang untuk bersuka

cita, sambil mendengarkan kisah-kisah rakyat yang disampaikan secara berirama.

Kata “randai” sendiri diyakini berasal dari kata “randah” yang berarti berputar

melingkar, menggambarkan bentuk pertunjukan di mana para pemain berdiri


membentuk lingkaran besar. Lingkaran itu bukan sekadar bentuk estetika,

melainkan lambang dari persatuan dan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi

atau lebih rendah dalam lingkaran; semua sejajar mencerminkan falsafah

Minangkabau: Duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah,

berdiri sama tinggi.) Filosofi ini memperlihatkan semangat demokratis dan

kolektivitas masyarakat Minangkabau. Randai bukan sekadar tontonan; ia adalah


refleksi dari cara hidup, nilai sosial, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-

temurun. Randai berfungsi ganda: sebagai hiburan rakyat dan sebagai media


pendidikan moral. Dalam setiap pertunjukannya, Randai mengisahkan cerita

rakyat, legenda, atau sejarah Minangkabau yang sarat pesan moral — tentang

kejujuran, keberanian, pengorbanan, dan keadilan.

Dahulu, Randai sering dipentaskan pada acara alek nagari (pesta

kampung), perayaan panen, atau pernikahan. Ia menjadi ruang tempat masyarakat

berkumpul, bersenda gurau, belajar, dan meneguhkan identitas. Di desa-desa,


Randai bukan hanya hiburan malam hari, tapi juga ajang pertemuan sosial. Orang-

orang datang membawa anak-anak mereka, duduk di tikar pandan, menyaksikan


pertunjukan hingga larut malam di bawah langit yang bertabur bintang. Randai

bukan sekadar tarian atau teater. Randai adalah seni pertunjukan kolaboratif yang

memadukan banyak unsur dalam satu kesatuan: drama, musik, tari, silat, dan

sastra lisan.

Inti pertunjukan Randai adalah kisah yang diangkat, biasanya berupa

legenda atau hikayat Minangkabau, seperti Cindua Mato, Siti Sabariah, Malin

Deman, atau Anggun Nan Tongga. Cerita disampaikan melalui dialog berirama

yang disebut gurindam atau pantun kaba. Bahasa yang digunakan adalah bahasa

Minangkabau klasik yang puitis dan penuh peribahasa, menggambarkan

ketinggian sastra lisan masyarakatnya. Gerak dalam Randai bersumber dari Silek

(silat Minangkabau). Setiap hentakan kaki, pukulan, dan lenggokan tubuh bukan

sekadar koreografi indah, tetapi memiliki makna simbolik: keberanian,

ketangkasan, dan kehormatan. Penari bergerak membentuk lingkaran besar,

berputar ke arah kanan, dengan tempo cepat atau lambat mengikuti alur cerita.


Setiap kali pergantian adegan, mereka menepuk paha, menendang, dan melangkah

serentak sambil berseru kompak. Gerakan ini disebut galombang, menjadi ciri

khas Randai yang memukau — menciptakan harmoni antara suara, tubuh, dan

ritme.

Musik Randai dimainkan dengan alat tradisional seperti saluang (seruling

bambu khas Minang), talempong (gong kecil dari logam), rebana, gendang, dan

kadang bansi. Irama musik mengikuti alur cerita: lembut ketika adegan sedih,

cepat dan menghentak ketika pertempuran terjadi. Musik tidak hanya sebagai

pengiring, tetapi juga pengikat suasana dan emosi penonton. Setiap bagian dalam

Randai biasanya dibuka dengan nyanyian. Lagu-lagu tradisional seperti dendang

kaba atau dendang gurindam dinyanyikan oleh pemain sambil bergerak

melingkar. Liriknya berisi nasihat, pantun, atau pengantar adegan berikutnya.

Melalui nyanyian ini, nilai-nilai moral dan filosofi Minangkabau disampaikan

secara lembut dan mengalir.

Busana pemain Randai adalah bagian penting dari pertunjukan. Laki-laki

mengenakan galembong hitam, yaitu celana longgar yang memudahkan gerakan

silat, dipadukan dengan baju hitam berlengan panjang dan selempang kain di

pinggang. Kepala mereka dihiasi destar atau tengkuluk, penutup kepala khas

Minang yang melambangkan kehormatan. Perempuan, jika ikut bermain,

memakai baju kurung basiba dengan kain sarung songket dan kerudung. Warna

kostum biasanya disesuaikan dengan karakter tokoh: hitam untuk ksatria, merah

untuk pemberani, hijau untuk tokoh spiritual, dan kuning untuk bangsawan. Tata

rias pemain sederhana namun tegas, menonjolkan ekspresi wajah agar terlihat

jelas di tengah pertunjukan malam hari. Karena Randai biasanya dimainkan di

ruang terbuka, cahaya lampu petromaks atau obor menjadi pencahayaan utama —

menciptakan suasana magis dan dramatis.

Dalam kehidupan modern, Randai menghadapi tantangan besar. Televisi,

internet, dan hiburan digital menggeser minat masyarakat. Banyak anak muda

Minang lebih mengenal film luar negeri daripada kisah Cindua Mato. Sanggar


Randai di beberapa nagari mulai sepi, dan hanya beberapa maestro tua yang masih

mengajarkan teknik lamanya. Selain itu, perubahan fungsi sosial juga

memengaruhi eksistensi Randai. Dahulu, ia adalah pusat kegiatan sosial desa; kini

hanya tampil di festival atau acara pariwisata. Akibatnya, makna spiritual dan

nilai kebersamaan yang dulu kuat mulai memudar.

Namun, masih ada upaya pelestarian. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat,

melalui Dinas Kebudayaan, memasukkan Randai sebagai Warisan Budaya

Takbenda Indonesia sejak tahun 2011. Beberapa sekolah dan universitas di

Padang dan Bukittinggi juga mulai menjadikan Randai sebagai muatan lokal dan

bahan penelitian. Meski terancam punah, Randai menunjukkan daya hidup yang

luar biasa. Seniman muda mulai bereksperimen dengan bentuk baru:

menggabungkan Randai dengan teater modern, musik kontemporer, bahkan film.

Di tangan mereka, Randai menjadi media yang lentur, bisa tampil di panggung

internasional tanpa kehilangan ruhnya.

Setiap detik dalam Randai adalah perayaan hidup: ada tawa, ada air mata,

ada semangat juang. Dalam lingkaran Randai, waktu seolah berhenti. Yang tersisa

hanyalah suara, gerak, dan jiwa yang berpadu dalam kesatuan budaya. Randai

bukan hanya warisan budaya — ia adalah cermin jiwa Minangkabau. Dalam

lingkarannya, tersimpan makna mendalam tentang kehidupan: bahwa manusia

tidak bisa hidup sendiri; setiap langkah, setiap hentakan, bergantung pada yang


lain. Randai mengajarkan bahwa kekuatan sejati lahir dari kebersamaan. Jika lilin-

lilin di malam Tari Inai Riau melambangkan cahaya keheningan, maka lingkaran


Randai di Minangkabau adalah nyala semangat yang tak padam. Dua-duanya

sama: keduanya berbicara tentang manusia, adat, dan kehidupan yang berakar

pada rasa. Ketika para pemain Randai melangkah ke tengah lingkaran, menepuk

paha, dan berteriak “hep!”, seolah mereka berkata pada dunia:

Posting Komentar

0 Komentar