Malam mulai turun di ranah Minang. Di halaman surau yang diterangi
lampu petromaks, orang-orang mulai berkumpul membentuk lingkaran besar.
Suara saluang mengalun dari kejauhan, diiringi tepukan galembong yang
berirama. Di tengah lingkaran, para pemuda berpakaian adat berdiri gagah,
dengan celana longgar berwarna hitam dan ikat kepala merah di dahi. Tiba-tiba,
terdengar teriakan kompak: “Hep! Hep!”. Langkah kaki menghentak tanah
serentak. Satu, dua, tiga — tubuh mereka berputar, menendang, menunduk, lalu
menepuk paha. Irama itu membentuk gelombang suara yang memantul ke dinding
bukit. Inilah Randai, kesenian kebanggaan masyarakat Minangkabau, Sumatera
Barat — perpaduan antara drama, tari, silat, musik, dan sastra yang membentuk
harmoni budaya yang luar biasa.
Randai lahir dari akar budaya masyarakat Minangkabau yang kental
dengan nilai gotong royong dan kebersamaan. Konon, bentuk awal Randai berasal
dari tradisi bagurau pertunjukan rakyat yang diadakan setelah panen padi atau
pesta adat. Dalam bagurau, masyarakat berkumpul di tanah lapang untuk bersuka
cita, sambil mendengarkan kisah-kisah rakyat yang disampaikan secara berirama.
Kata “randai” sendiri diyakini berasal dari kata “randah” yang berarti berputar
melingkar, menggambarkan bentuk pertunjukan di mana para pemain berdiri
membentuk lingkaran besar. Lingkaran itu bukan sekadar bentuk estetika,
melainkan lambang dari persatuan dan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi
atau lebih rendah dalam lingkaran; semua sejajar mencerminkan falsafah
Minangkabau: Duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi.) Filosofi ini memperlihatkan semangat demokratis dan
kolektivitas masyarakat Minangkabau. Randai bukan sekadar tontonan; ia adalah
refleksi dari cara hidup, nilai sosial, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-
temurun. Randai berfungsi ganda: sebagai hiburan rakyat dan sebagai media
pendidikan moral. Dalam setiap pertunjukannya, Randai mengisahkan cerita
rakyat, legenda, atau sejarah Minangkabau yang sarat pesan moral — tentang
kejujuran, keberanian, pengorbanan, dan keadilan.
Dahulu, Randai sering dipentaskan pada acara alek nagari (pesta
kampung), perayaan panen, atau pernikahan. Ia menjadi ruang tempat masyarakat
berkumpul, bersenda gurau, belajar, dan meneguhkan identitas. Di desa-desa,
Randai bukan hanya hiburan malam hari, tapi juga ajang pertemuan sosial. Orang-
orang datang membawa anak-anak mereka, duduk di tikar pandan, menyaksikan
pertunjukan hingga larut malam di bawah langit yang bertabur bintang. Randai
bukan sekadar tarian atau teater. Randai adalah seni pertunjukan kolaboratif yang
memadukan banyak unsur dalam satu kesatuan: drama, musik, tari, silat, dan
sastra lisan.
Inti pertunjukan Randai adalah kisah yang diangkat, biasanya berupa
legenda atau hikayat Minangkabau, seperti Cindua Mato, Siti Sabariah, Malin
Deman, atau Anggun Nan Tongga. Cerita disampaikan melalui dialog berirama
yang disebut gurindam atau pantun kaba. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Minangkabau klasik yang puitis dan penuh peribahasa, menggambarkan
ketinggian sastra lisan masyarakatnya. Gerak dalam Randai bersumber dari Silek
(silat Minangkabau). Setiap hentakan kaki, pukulan, dan lenggokan tubuh bukan
sekadar koreografi indah, tetapi memiliki makna simbolik: keberanian,
ketangkasan, dan kehormatan. Penari bergerak membentuk lingkaran besar,
berputar ke arah kanan, dengan tempo cepat atau lambat mengikuti alur cerita.
Setiap kali pergantian adegan, mereka menepuk paha, menendang, dan melangkah
serentak sambil berseru kompak. Gerakan ini disebut galombang, menjadi ciri
khas Randai yang memukau — menciptakan harmoni antara suara, tubuh, dan
ritme.
Musik Randai dimainkan dengan alat tradisional seperti saluang (seruling
bambu khas Minang), talempong (gong kecil dari logam), rebana, gendang, dan
kadang bansi. Irama musik mengikuti alur cerita: lembut ketika adegan sedih,
cepat dan menghentak ketika pertempuran terjadi. Musik tidak hanya sebagai
pengiring, tetapi juga pengikat suasana dan emosi penonton. Setiap bagian dalam
Randai biasanya dibuka dengan nyanyian. Lagu-lagu tradisional seperti dendang
kaba atau dendang gurindam dinyanyikan oleh pemain sambil bergerak
melingkar. Liriknya berisi nasihat, pantun, atau pengantar adegan berikutnya.
Melalui nyanyian ini, nilai-nilai moral dan filosofi Minangkabau disampaikan
secara lembut dan mengalir.
Busana pemain Randai adalah bagian penting dari pertunjukan. Laki-laki
mengenakan galembong hitam, yaitu celana longgar yang memudahkan gerakan
silat, dipadukan dengan baju hitam berlengan panjang dan selempang kain di
pinggang. Kepala mereka dihiasi destar atau tengkuluk, penutup kepala khas
Minang yang melambangkan kehormatan. Perempuan, jika ikut bermain,
memakai baju kurung basiba dengan kain sarung songket dan kerudung. Warna
kostum biasanya disesuaikan dengan karakter tokoh: hitam untuk ksatria, merah
untuk pemberani, hijau untuk tokoh spiritual, dan kuning untuk bangsawan. Tata
rias pemain sederhana namun tegas, menonjolkan ekspresi wajah agar terlihat
jelas di tengah pertunjukan malam hari. Karena Randai biasanya dimainkan di
ruang terbuka, cahaya lampu petromaks atau obor menjadi pencahayaan utama —
menciptakan suasana magis dan dramatis.
Dalam kehidupan modern, Randai menghadapi tantangan besar. Televisi,
internet, dan hiburan digital menggeser minat masyarakat. Banyak anak muda
Minang lebih mengenal film luar negeri daripada kisah Cindua Mato. Sanggar
Randai di beberapa nagari mulai sepi, dan hanya beberapa maestro tua yang masih
mengajarkan teknik lamanya. Selain itu, perubahan fungsi sosial juga
memengaruhi eksistensi Randai. Dahulu, ia adalah pusat kegiatan sosial desa; kini
hanya tampil di festival atau acara pariwisata. Akibatnya, makna spiritual dan
nilai kebersamaan yang dulu kuat mulai memudar.
Namun, masih ada upaya pelestarian. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat,
melalui Dinas Kebudayaan, memasukkan Randai sebagai Warisan Budaya
Takbenda Indonesia sejak tahun 2011. Beberapa sekolah dan universitas di
Padang dan Bukittinggi juga mulai menjadikan Randai sebagai muatan lokal dan
bahan penelitian. Meski terancam punah, Randai menunjukkan daya hidup yang
luar biasa. Seniman muda mulai bereksperimen dengan bentuk baru:
menggabungkan Randai dengan teater modern, musik kontemporer, bahkan film.
Di tangan mereka, Randai menjadi media yang lentur, bisa tampil di panggung
internasional tanpa kehilangan ruhnya.
Setiap detik dalam Randai adalah perayaan hidup: ada tawa, ada air mata,
ada semangat juang. Dalam lingkaran Randai, waktu seolah berhenti. Yang tersisa
hanyalah suara, gerak, dan jiwa yang berpadu dalam kesatuan budaya. Randai
bukan hanya warisan budaya — ia adalah cermin jiwa Minangkabau. Dalam
lingkarannya, tersimpan makna mendalam tentang kehidupan: bahwa manusia
tidak bisa hidup sendiri; setiap langkah, setiap hentakan, bergantung pada yang
lain. Randai mengajarkan bahwa kekuatan sejati lahir dari kebersamaan. Jika lilin-
lilin di malam Tari Inai Riau melambangkan cahaya keheningan, maka lingkaran
Randai di Minangkabau adalah nyala semangat yang tak padam. Dua-duanya
sama: keduanya berbicara tentang manusia, adat, dan kehidupan yang berakar
pada rasa. Ketika para pemain Randai melangkah ke tengah lingkaran, menepuk
paha, dan berteriak “hep!”, seolah mereka berkata pada dunia:
.png)
0 Komentar