Jejak Garuda di Tribun
oleh: Rafy Gunawan
Langit Medan sore itu diselimuti awan kelabu, seolah menantang semangat yang baru saja Adi bangun. Dari kejauhan, Stadion Teladan menggema seperti gong besar yang dipukul ribuan tangan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Adi berdiri tegap, mengenakan syal merah putih dan ulos biru yang melingkar di bahunya—warisan ayahnya dari Balige. Tapi hari ini, ulos itu terasa lebih berat dari biasanya.
Bagi Adi, sepak bola bukan sekadar permainan. Ia adalah medan tempat bahasa dan budaya bersatu, seperti bunyi gondang yang tak akan hidup tanpa irama tortor. Tapi kadang, di tengah sorak sorai dari Aceh hingga Papua, Adi bertanya dalam hati: Apakah semangat Batakku ini cukup kuat untuk bersaing, atau justru akan tenggelam?
“Ingot ma, Di,” gumamnya mengingat kata ayah. “Kinantan itu bukan cuma ayam putih. Ia simbol keberanian, kemurnian hati, dan semangat yang pantang mundur. Jaga itu, atau budaya kita lenyap seperti tortor tanpa gondang. Kalau kau pegang roha itu, takkan pernah punah warisan kita.”
Kini kata-kata itu kembali menggema di benak Adi, mendorongnya maju meski keraguan masih menggelayut.
Di tribun utara, kelompok suporter sudah bersiap dengan koreografi mereka. Mereka menamakan diri Laskar Ayam Kinantan—nama yang diwariskan dari legenda tim Medan Putra tempo dulu. Tak hanya nama, tapisemangatnya pun hidup.
“Horas Medan! Garuda di dada!” teriak mereka, suara berpadu dengan dentuman drum dan teriakan “Ewako!” dari kelompok suporter Makassar yang duduk di sisi kanan stadion.
Adi memandang sekeliling: ada suporter dari Aceh dengan kopiah meukutop, dari Jawa membawa bendera besar bertuliskan Suroboyo Wani, dan dari Papua yang mengibarkan kain bermotif cenderawasih. Di tengah riuh itu, bahasa-bahasa daerah berbaurseperti simfoni. Tak ada yang merasa asing. Semua satu: Indonesia.
Pertandingan malam itu adalah kualifikasi Piala Asia. Lawannya berat, tapi semangat suporter lebih besar dari rasa gentar. Adi ditunjuk memimpin koreografi utama: gambar Garuda raksasa dengan tulisan “Bhinneka Tunggal Ika” di bawahnya. Mereka sudah berlatih berminggu-minggu di lapangan Universitas Sumatera Utara.
Namun, beberapa jam sebelum kick-off, langit Medan berubah muram. Hujan deras turun tanpa ampun, mengubah lapangan jadi lumpur dan kain koreografi basah kuyup. Cat mulai luntur, dan beberapa anak muda mulai panik.
“Kak, kainnya robek di ujung! Udah nggak sempat diperbaiki!” teriak Rina, teman Adi dari Bandung, suaranya nyaris hilang di deru air. Di sampingnya, suporter Aceh dengan kopiah meukutop bergumam, “Sawak, bangkit! Jangan biarkan hujan ini matikan api kita.” Sementara itu, anak Papua di barisan belakang menambahkan, “Cenderawasih tak gentar badai—ayo,saudara!”
Adi menelan ludah, keraguan tadi sempat muncul lagi: Apakah Kinantan bisa terbang di tengah ini? Tapi ia ingat ayah. “Sai tolu sahala dohot roha,” gumamnya pelan—hanya dengan kekuatan pikiran, tenaga, dan hati, kita bisa bertahan.
Ia menatap Rina dan yang lain, lalu tersenyum tipis. “Tenaga boleh habis, tapi roha kita jangan. Horas untuk Batak,sawak untuk Aceh—satu suara, satu Garuda!”
Mereka pun bergerak bersama. Tanpa peduli hujan, mereka membentangkan kain merah putih yang berat oleh air, tangan-tangan saling menggenggam. Di sela teriakan dan basahnya baju, terdengar lagu yang tiba-tiba muncul dari barisan belakang:
“Tanah airku tidak kulupakan…”
Suara itu kecil, lalu disambut oleh yang lain—dari Aceh, Jawa, hingga Papua. Dalam sekejap, stadion berubah menjadi lautan suara yang menyanyikan “Indonesia Pusaka”. Lalu lagu itu berganti, campur aduk antara dialek dan logat:
“Horas Medan! Garuda di dada!” “Ewako Indonesia!” “Jayapura tetap merah putih!” Bahasa daerah melebur jadisatu bahasa: bahasa semangat.
Saat peluit tanda kick-off berbunyi, koreografi pun berhasil terbentang sempurna. Di layar stadion, Garuda raksasa membentang megah di tengah hujan, di bawahnya tertulis kata-kata dari bahasa Batak kuno:
“Sada roha,sada bangsa—satu hati,satu bangsa.”
Kamera televisi menyorot wajah Adi yang tersenyum. Ia tahu, malam itu bukan
hanya Garuda yang terbang—tapi juga jejak bahasa yang kembali bernapas lewat kata-kata dan sorak suporter.
Pertandingan berlangsung sengit. Timnas tertinggal satu gol di babak pertama. Tapi di menit ke-70, pemain sayap dari Papua berhasil menyamakan kedudukan. Stadion bergemuruh, dan lagu “Garuda di Dadaku” menggema. Dua puluh menit kemudian, Indonesia membalikkan keadaan menjadi 2–1.
Hujan tak lagi terasa dingin. Air mata dan air hujan bercampur di pipi Adi. Ia menatap ke langit, lalu menunduk pada ulos di pundaknya.
“Ayah,” bisiknya pelan, “Kinantan itu tak pernah menyerah. Kini semangatnya hidup di tribun.”
Setelah pertandingan usai, Adi berjalan keluarstadion bersama Rina.Jalanan penuh lumpur, tapi langkah mereka ringan. Di kejauhan, suara gondang masih terdengar dari warung kopi pinggir jalan. Aroma kopi Mandailing bercampur dengan tawa suporter yang bernyanyi di bawah hujan.
“Kau tahu, Rin?” kata Adi. “Sepak bola ini bukan cuma tentang bola. Ini tentang kata. Tentang bagaimana ‘Horas’, ‘Ewako’, dan ‘Jayapura’ bisa duduk di satu tribun, bernyanyi lagu yang sama.”
Rina tersenyum lebar, meski hujan masih rintik. “Jadi… Garuda itu bukan hanya lambang negara, ya?”
“Bukan,” jawab Adi pelan, ulos di bahunya terasa lebih ringan sekarang. “Ia adalah
bahasa kita—‘Horas’, ‘Sawak’, ‘Ewako’—yang hidup di dada setiap orang yang cinta negerinya. Kinantan tak lagi ragu; ia terbang bersama sayap keragaman.”
Beberapa bulan kemudian, Adi kembali ke Balige. Di rumah tua di tepi Danau Toba, ia bercerita kepada anak-anak kampung tentang malam itu.
“Garuda itu tak akan pernah mati,” katanya. “Ia hidup di kata ‘Horas’, di sorak ‘Merdeka!’, dan di lagu yang kita nyanyikan bersama. Bahasa-bahasa kita adalah sayapnya.”
Anak-anak itu menatap langit, membayangkan Garuda terbang di atas Danau Toba. Mereka bergumam ikut: “Sai tolu sahala dohot roha.”
Adi tersenyum—kini bukan lagi gumaman sendirian, tapi janji satu bangsa. “Selama hati, tenaga, dan kata kita bersatu—budaya kita takkan hilang. Ia akan terus hidup, bersorak di tribun, menyalakan merah putih di dada setiap anak bangsa.”
Anak-anak bergumam ikut: “Sai tolu sahala dohot roha.”
Adi tersenyum, tapi tiba-tiba hujan rintik lagi di Danau Toba—seperti pengingat malam Medan.
“Lihat,” katanya, “bahkan langit ikut bernyanyi. Budaya kita takkan hilang; ia terbang abadi, dari tribun ke danau, menyatukan hati satu bangsa. Sebab bahasa bukan sekadar kata, tapi denyut yang menyatukan bangsa.”
.png)
0 Komentar