NASKAH
DONGENG YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA MENDONGENG PRAKTIKUM SASTRA KE-28 TINGKAT
SD SEDERAJAT, SMP SEDERAJAT, SMA SEDERAJAT SE-RIAU
1.
Dongeng Putri Kaca Mayang (Pekanbaru)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di
tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan bernama Gasib. Kerajaan ini sangat
terkenal, karena mempunyai seorang panglima gagah perkasa dan disegani,
Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu
pun kerajaan laindapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan Gasib jua mempunyai
seorang putri kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca
Manamanya.Meskipun demikian, tak seorang raja pun berani meminangnya. Mereka
merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima
Gimpam gagah berani itu.
Pada suatu hari, Raja Aceh
memberanikan dirinya meminang PutriKaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang
panglimanya tuk menyampaikan maksudpinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya
di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud
kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan
Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah tuk menyampaikan pinangan raja kami,”
lapor seorang utusan.
“Benar, Baginda! Raja kami bermaksud
meminang Putri Baginda bernamaPutri Kaca Mayang,” tambah utusan satunya.
“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia
tuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja
Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut
bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan
itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa
terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat tuk menyerang
Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja Gasib telah
mempersiapkan pasukan perang kerajaan tuk menghadapi serangan mungkin terjadi,
karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin
penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.
Rupanya segala persiapan Kerajaan
Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh
mengetahui Panglima Gimpam gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab
itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain tuk masuk ke negeriGasib. Maka
dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang muda! Apakah kamu
penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar,
Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan
darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu.
Karena mengetahui pasukan dilengkapi
dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak tuk
menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tak ingin menghianati negerinya.
“Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda
itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga
babak belur. Karena tak tahan dengan siksaan diterimanya, pemuda itu terpaksa
memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.
Berkat petunjuk pemuda itu, maka
sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan
anak buahnya. Saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang
penduduk. Raja Gasib sedang bercengkerama dengan keluarga istana tak mengetahui
musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit
Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah tuk
melawan sudah terlambat. Semua pengawal tak sempat mengadakan perlawanan telah
tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana
berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tak dapat berbuat apa-apa. Ia
hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh
prajurit Aceh. Putri Kaca Macantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam mendapat laporan
bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali
ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima
Gimpam sangat marah dan bersumpah tuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan
berjanji akan membawa kembali PutriKaca Make istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam
berangkat ke Aceh tuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa
lama sampailahPanglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri
menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah besar tuk
menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di
gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan
keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang dijinakkan itu ke istana tuk
diserahkan kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub
melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang
dipersiapkan tuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima
Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Matuk dibawa kembali ke istana Gasib.
Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Masedang sakit itu ke
Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin begitu
kencang membuat sang Putri susah tuk bernapas.
Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri
Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam tuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku
sudah tak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan
maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak.
Belum sempat Panglima Gimpam berkata
apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa
bersalah sekali, karena ia tak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam
keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan
perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Make hadapan Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib,
kedatangan Panglima Gimpam membawa jenazah sang Putri itu disambutoleh keluarga
istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut
berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Masegera dimakamkan di
Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin
hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. tuk menghilangkan bayangan putri amat
dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan tuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung
Ledang, Malaka.
Tuk sementara waktu, pemerintahan
kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima
Gimpampun berniat tuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya setia, membuat
Panglima Gimpam takingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan
orang lain. Ia pun tak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu
ada di depannya.
Akhirnya, atas kehendaknya sendiri,
Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan
baru, dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai tuk menyebut nama
ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam
masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.
2.
Dongeng
Lipat Kain/Si Lancang Kuning (Kampar)
Konon,
pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya
yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah
negeri bernama Kampar. Ayahsi Lancang sudah lama meninggal dunia. EmakLancang
bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak
tetangganya.
Pada
suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan
hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang
kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri
orang. “Emak, Lancangsudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi
merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya
emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kauboleh merantau,
tetapijangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah
pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.
Mendengar
jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah
membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan
lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya
terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknyasedih sekali akan
ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti
meloncat-lonta, lalu mendekati
emaknya dan memeluknya.
“Janganlah
bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah
kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun
menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi
tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh
berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di
dalam perjalanan nanti.”
Keesokan harinya, si Lancang pergi
meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping
dodak makanan kesukaan si Lancang.
Bertahun-tahun sudah si Lancang di
rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki
berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya
puncantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun
jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.
Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya
berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun
sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya
salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas
kapal,” tambahistri Lancang yang lainnya.
Si Lancang pun mengambulkan permintaan
istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka
kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun
membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk
berpesta di ataskapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas
dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si
Lancang semakin tampak.
Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh
penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan
menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah
merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai
…!” teriak seorang anak buah kapal.
Penduduk di sekitar Sungai Kampar
berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih
mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,”
kata guru mengaji si Lancang.
“Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau
dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu
kecil.Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancangkepada emak si Lancang yang
sedang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya hatiemak si Lancang
saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang!”
seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari
tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah
compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya
di pelabuhan.
Sesampainya di pelabuhan, emak si
Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia
tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anaksatu-satunya itu. Dengan
memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat
hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang
menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari
sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si
Lancang,” jelas perempuan tua itu.
Mendengar kegaduhan di atas geladak,
tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan
berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang
yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya
mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.
“Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat
merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua
renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin
aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak,
“Kelasi! Usir perempuan gila itu darikapalku!” Anak buah siLancang mengusir
emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali
Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya
hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua
itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka
anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.
Sesampainya di rumah,wanita malang itu
mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesungitu dan mengipasinya
dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan
kubesarkan dengan airsusuku. Namun setelahkaya, dia tidak mau mengakui diriku
sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan
berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang
Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancurberkeping-keping. Semua
orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian
menjauhi sungai.
“Emaaak …, si Lancang anakmu pulang.
Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang di tengah topan
dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si Lancang dan seluruh
istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.
Barang-barang yang ada di kapal si
Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam
kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri
Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.Sebuah gong terlempar dan jatuh di
dekat gubuk emak si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan.
Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan
dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak
tersisa.Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul
ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir
itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada
emaknya.
Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar
meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan oleh tingginya
curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si
Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi
Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar meluap,
sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman penduduk di
sekitarnya.
3.
Dongeng
Dayang Kumunah/Daipah
(Kuantan Singingi)
AIkisah di sebuah dusun di daerah Riau, hiduplah seorang
laki-laki tua bernama Awang Gading. Ia hidup sebatang kara karena istrinya
sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang anak.
Sehari-hari, pekerjaan Awang Gading adalah menangkap ikan di
sungai. Jika beruntung, ia akan mendapatkan banyak ikan yang bisa ditukar
dengan beras di pasar. Meskipun hidup sederhana, Awang Gading tak pernah
mengeluh. Ia bahagia dan selalu bersyukur dengan keadaannya itu.
Pagi itu, seperti biasanya Awang Gading pergi ke sungai.
Sambil berdendang, ia menanti ikan memakan umpannya. Tapi, sepertinya hari itu
bukanlah hari keberuntungannya. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, tapi
ikan itu lepas saat Awang Gading menarik pancingnya.
"Hmm... mungkin nasibku hari ini kurang balk. Lebih baik
aku pulang saja, aku akan kembali besok. Siapa tahu aku Iebih mujur,"
katanya sambil mengemasi peralatan pancingnya.
"Oweekkk... owekkk...," Tiba-tiba terdengar suara
bayi menangis. Langkah kaki Awang Gading terhenti. "'Suara tangis bayi
siapa itu?"
Ia mencari-cari sumber suara itu. Oh, ternyata suara bayi
merah yang tergeletak di semak-semak. Awang Gading menoleh ke kanan dan ke
kiri. Tak ada seorang pun di sana, lalu bayi siapa itu? Awang Gading bingung,
tapi akhirnya memutuskan untuk membawa dan merawat bayi itu. Ia menamainya
Dayang Kumunah.
Seluruh penduduk dusun menyambut kehadiran Dayang Kumunah
dengan sukacita. Kepala dusun pun mengunjungi rumah Awang Gading, "Bayi
ini adalah titipan dari raja penghuni sungai. Rawatlah dengan balk," kata
kepala dusun. Awang Gading sangat bahagia. Apalagi Dayang Kumunah tumbuh
menjadi gadis yang cantik clan berbudi luhur. Tingkah lakunya sopan, ia pun
ramah pada semua orang. Hanya satu kekurangannya, Dayang Kumunah tak pernah
tertawa.
Kecantikan Dayang Kumunah terdengar sampai ke telinga Awangku
Usop, seorang pemuda kaya dari luar dusun. Penasaran, Awangku Usop pun datang
berkunjung. Benar saja, ia Iangsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Dayang, maukah kau menikah denganku? Aku berjanji akan
membahagiakanmu," pinta Awangku Usop.
"Sebelum menikahiku, Kanda perlu tahu, aku adalah
penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya,
aku bersedia menjadi istri Kanda," jawab Dayang Kumunah. "Satu lagi,
jangan pernah memintaku untuk tertawa. Aku tak bisa dan tak boleh
melakukannya."
Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah.
Pesta pernikahan pun digelar dengan meriah. Semua tamu bersenang-senang.
Menurut mereka, Dayang Kumunah dan Awangku Usop adalah pasangan yang serasi.
Bertahun-tahun kemudian, rumah tangga Dayang Kumunah dan
Awangku Usop dihiasi oleh tawa riang lima orang anak. Dayang Kumunah
benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai istri dan ibu yang baik. Awangku Usop
tak pernah meragukannya. Namun suatu hari kebahagiaan mereka terusik. Awang
Gading meninggal. Dayang Kumunah sangat sedih sepeninggal ayah angkatnya itu.
Setiap hari mukanya murung. Biasanya, meskipun tak pernah tertawa, Dayang
Kumunah masih tersenyum.
Namun sekarang senyumnya tak pernah tampak lagi. Awangku Usop
tak ingin istrinya bersedih terus. Ia berusaha dengan segala cara agar Dayang
Kumunah kembali tersenyum.
Usahanya tak sia-sia. Perlahan-lahan, Dayang
Kumunah mulai merelakan kepergian ayah angkatnya dan menjalani kehidupannya
seperti biasa.
Tapi, Awangku Usop tak puas. Ia penasaran sekali, mengapa
Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Ia ingin agar sesekali istrinya tertawa,
menunjukkan kebahagiaan hidup bersamanya dan anak-anak.
Anak bungsu mereka mulai bisa berjalan. Cara berjalannya lucu
sekali. Dengan kakinya yang montok, ia tertatih-tatih berusaha berjalan lurus.
Awangku Usop dan kakak-kakak si Bungsu tertawa menggoda si bungsu. Si bungsu
pun tertawa terkekeh-kekeh dan berusaha mendekati ayahnya.
"Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau
tak ikut bergembira bersama kami? Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat
kelucuan si bungsu?" tanya Awangku Usop pada Dayang Kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi tak
boleh. Suaminya terus memaksa, akhirnya Dayang Kumunah tertawa juga. Ia tertawa
terbahak-bahak, karena memang tingkah polah si bungsu sangat menggemaskan. Saat
Dayang Kumunah tertawa, Awangku Usop dan anak-anaknya tertegun. Mereka melihat
insang ikan dalam mulut Dayang Kumunah. Hal itu menandakan bahwa ia keturunan
ikan. Dayang Kumunah tersentak, ia
menyadari kesalahannya serta berlari meninggalkan suami dan anak-anaknya.
"Dayang... tunggu... kau mau ke mana?" Awangku Usop
berlari mengejarnya. Kelima anaknya mengikuti dari belakang. Si bungsu
digendong oleh kakaknya.
Dayang Kumunah terus berlari menuju sungai. Sesampainya di
sungai, ia segera menceburkan diri. Aneh, tak lama kemudian tubuhnya berubah
menjadi ikan. Ikan itu berenang meninggalkan Awangku Usop dan anak-anaknya.
Awangku Usop sadar telah berbuat salah dan menangis menyesali
perbuatannya, "Mengapa aku memaksanya tertawa? Maafkan aku istriku,
kembalilah, kami semua membutuhkanmu," ratapnya.
Kelima anaknya juga menangis. Tapi semuanya sudah terlambat.
Meskipun telah menjadi ikan, Dayang Kumunah tetap cantik. Ikan jelmaan Dayang
Kumunah itu berkulit mengkilat tanpa sisik, wajahnya cantik, dan ekornya
bagaikan sepasang kaki wanita yang bersilang.
Masyarakat menyebutnya ikan patin. Karena itulah banyak
masyarakat Riau yang tidak mau menyantap ikan patin. Mereka beranggapan ikan
patin adalah jelmaan Dayang Kumunah yang masih merupakan kerabat mereka.
4.
Dongeng
Putri 7 (Dumai)
Putri Tujuh adalah dongeng atau
cerita rakyat mengenai asal mula Kota Dumai di provinsi Riau.
Pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai
berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah
oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang
putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh
putri tersebut,putri bungsulah yang paling cantik, nama nya Mayang Sari. Putri
Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut
bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai
delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai
bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang
Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu
sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau,
ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang matayang sedang mengamati
mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang
kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari
balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan
salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari.
Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala
bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya,
ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran
Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu,
sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran
mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang
Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat
kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut
oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga
Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun
menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di
antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya
sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri
tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu. Mengetahui pinangan
Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran.
“Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada
maksud mengecewakan Tuan.
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung
belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang
Mengurai.”
Mendengar laporan itu,sang Raja pun naik
pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangerantak lagi peduli dengan
adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya
tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para
panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Pertempuran antara kedua kerajaan di
pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi. Di tengah berkecamuknya
perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan
dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan
terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya
makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan
untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala.
Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran
antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat,
pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri
Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya
hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang
sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai. Pada suatu senja, pasukan Pangeran
Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah
pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat
mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke
badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan
Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang
Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang
Kuala. Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk
lemas menahan sakit langsung bertanya,
“Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa
maksud kedatanganmu ini?”.
Sang Utusan menjawab, “Hamba datang
untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan
peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah
dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk,
malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke
negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya.” kata utusan Ratu Cik
Sima menjelaskan.
Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik
Sima itu, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai
peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera
pulang ke Negeri Empang Kuala. Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas
mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah
terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak
bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau
bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan, Sedangkan perang antara
Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya,
maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik yang
diberi judul Tujuh putri yang berbunyi:
“
|
Umbut
mari mayang diumbut.
Mari
diumbut di rumpun buluh.
Jemput
mari dayang dijemput.
Mari
dijemput turun bertujuh.
Ketujuhnya
berkain serong.
Ketujuhnya
bersubang gading.
Ketujuhnya
bersanggul sendeng.
Ketujuhnya
memakai pending.
|
”
|
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota
Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala
ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai.
5.
Dongeng
Penghulu 3 Lorong (Indragiri Hulu)
Pada zaman dahulu, ketika ibukota
Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara
bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasadan
menguasai ilmu bela diri. Mereka mahirmenggunakan senjata,lincah mengelak
serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdikpula berkelit. Mereka hidup rukun
dan salingmembantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada suatu hari, mereka pergi untuk
mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya
jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain, Tiga Bersaudara ini
akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap di tempat tersebut.
Sementara itu, di istana, Raja Indragiri
sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi
bertindaksemena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan
memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah
laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar
Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto
Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut.
Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri
segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba
diKoto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala,Sabila, Jati, dan
Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana
di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja,
mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.
Sesampai di hadapan Raja, mereka pun
memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Rajamemanggil kami,”
tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini saudara-saudara,
kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk Dobalang yang
telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar jawaban sang
Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja.
Sebagai bekal, masing-masing mengajukan
perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan
duabuah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila Jati meminta pedang Jawi
yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan “Muhammad”. Jo Mahkota meminta
lembing dengan sarungemas dan suasa.
Setelah Raja memenuhisemua perlengkapan
yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan
sebuah perahuyang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai Tinggi, mereka
langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga
bersaudara punbertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang
larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empat pantang larang yang harus
dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:
Pertama, dilarang bersorak dan
bertepuktangan. Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah. Ketiga, dilarang
menyingsingkan lengan baju. Keempat, dilarang memutar keris ke depan.
“Siapa yang melanggar peraturan tersebut
dianggap kalah,” tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya.
Kemudian ketiga bersaudara bertanya
lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab, “Tanah Inuman di kiri
Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari
gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang dipertaruhkan
Datuk Dobalang, ketigabersaudara diam sejenak. Mereka berpikir bagaimana cara
mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk Dobalang. Karena
kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar serentak, “Kami
memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar dan
panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,”
Sesungguhnyamereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak dapat
dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa
menyadari kebodohannya.
Setelah kedua belah pihak menetapkan
taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai
anak muda,kapan kita laksanakanpertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang.
“Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita
laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di
gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada
hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua
penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan
itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening.
Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam
betinanya. Beradulah kedua ayamtersebut dengan seru. Baru beberapa saat
pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau
(serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hinggabersorak,
bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang
dibuatnya, dilanggarnya sendiri.
Berkali-kali Tiga Bersaudara
mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun
yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak
peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat
tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka punhabis. Sambil bersiap
mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam:
“Penat mau bergalah coba-coba mengalas,
Penat hendak mengalah dicoba membalas.”
Ternyata benar. Baru saja gurindam itu
lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka
dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka
mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung
dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang
mengayunkan kerisnyake arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang
memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.
Suasana di gelanggan semakin gaduh.
Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya
perkelahian antara Datuk Dobalangdengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan
sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk
Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan
menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena
ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik,
sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak
disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara
tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja
Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas
jatuh tersungkur ke tanah.
Penduduk yang hadir di gelanggang itu
segera mengerumuni mayat yang tergeletakitu. Mereka ingin memastikan apakah
Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar
decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara
mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai
Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa
dihantui rasa takut.
Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan
jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja
Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara
mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada
Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku,
hadiah apa yang kalianinginkan?” seru sang Raja menawarkan.
Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang,
emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak
lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala
mewakili saudara-saudaranya.
Sang Raja tidak mengerti apa maksud
perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para menteri dan orang-orang
tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan Tiga Bersaudara
tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk mencari tahu apa yang
dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk Tuhan, akhirnya mereka
menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara adalah pangkat. Ketiga
Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong . Tiala
diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan
bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu
Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota
diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu
bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.
Atas anugerah pangkat yang mereka
terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah, Tiada boleh akal buruk, Budi merangkak,
Menggunting dalam lipatan, Memakan darah di dalam, Makan sumpah 1000 siang 1000
malam. Ke atas dak bapucuk, Ke bawah dak baurat, Dikutuk kitab Al-Qur‘an 30
juz.
Tiga Bersaudara selanjutnya menerima
hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih,
rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga
hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi,
perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri
dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat
agama dengan taat.
Sejak peristiwa di atas, ketiga orang
bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal
Kecamatan Peranap).
6.
Dongeng
Putri Hijau di Pekaitan (Rokan Hilir)
Pada zaman dahulu, Malaysia dikenal
dengan nama Tanah Semenanjung Melayu. Di sana, ada wilayah nan bernama Gunung
Ledang. Di Gunung Ledang itu, tersebutlah seorang putri nan beranjak dewasa,
Putri Hijau namanya. Putri Hijau sangat cantik. Tubuhnya ramping, tinggi
semampai. Wajahnya gemilang bagai lilin didulang, pipinya cerah bagai bintang
timur, rambutnya ikal manan seludang, panjang dan hitam. Suaranyapun
lemah-lembut penuh sopan.
Maka gak heran, banyak pangeran dan
raja nan ingin mempersuntingnya. Bahkan, Sultan Mansursyah, Raja Malaka
menitahkan Laksemana Hang Tuah tuk meminang Putri Hijau. Namun putri nan pandai
itu selalu menolakanya dengan halus hingga gak membuat kecewa. Raja Melaka
berikutnya, yaitu Sultan Mahmud Marhum Dijulang juga mengalami nasib sama saat
meminang Putri Hijau.
Konon, Putri Hijau selalu menolak
lamaran-lamaran itu karena ia mendambakan seorang suami nan tiada cacat pada
kulit kepalanya, tiada bekas luka maupun bekas kudis. tuk menemukan lelaki
idaman hatinya, ia memutuskan turun dari Gunung Ledang. Dengan Menyamar sebagai
seorang perempuan tua, ia menjelajahi berbagai negeri seorang diri. Kerajaan
besar seperti Melaka, Petukal, Cina dan Keling telah ia jelajahi. Namun, lelaki
nan diidamkannya belum juga ditemukan.
Suatu hari, sampailah ia di Kerajaan
Deli Tua. Di kerajaan ini penyamarannya diketahui oleh Raja Aceh dan Raja Cina.
Keduanya kemudian memperebutkanPutri Hijau tuk diperistri hingga terjadi
pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran itu, banyak prajurit kedua belah pihak
nan meninggal. Raja Cina pun terluka parah dan nyawanya gak dapat diselamatkan.
“Aku harus lari dari tempat ini selagi prajurit nan menjagaku lengah,” gumam
Putri Hiaju diantara hiruk-pikuk pertempuran. Kemudian dengan diam-diam Putri
Hijau meninggalkan Deli Tua.
Berhari-hari Putri Hiaju terus
berjalan menghindari kejaran prajurti Aceh maupun Cian. Dan, sampailah ia di
sebuah kerajaanbesar bernama Pekaitan nan terletak di utara muara Sungai Rokan,
menghadap ke Selatan Melaka.
Pekaitan dipimpin oleh seorang raja nan bergelar nan Dipertuan Besar Sungai Daun. Raja ini suka berpesta, berfoya-foya, dan bermain catur, hingga urusan kerajaan sering diabaikan. Untunglah Pekaitan memiliki aparat kerajaan nan cakap dan setia. Urusan pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada Datuk Bendahara, keamanan negeri diserahkan kepada Datuk Panglima Nayan nan gagah perkasa dan sakti, administrasi keluar masuk kapal diserahkan kepada Datuk Syahbandar, sedangkan urusan keamanan lingkungan istana negara diserahkan kepada Datuk Panglima Penjarang.
Pekaitan dipimpin oleh seorang raja nan bergelar nan Dipertuan Besar Sungai Daun. Raja ini suka berpesta, berfoya-foya, dan bermain catur, hingga urusan kerajaan sering diabaikan. Untunglah Pekaitan memiliki aparat kerajaan nan cakap dan setia. Urusan pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada Datuk Bendahara, keamanan negeri diserahkan kepada Datuk Panglima Nayan nan gagah perkasa dan sakti, administrasi keluar masuk kapal diserahkan kepada Datuk Syahbandar, sedangkan urusan keamanan lingkungan istana negara diserahkan kepada Datuk Panglima Penjarang.
Datuk Panglima Penjarang adalah
seorang pemuda nan gagah perkasa dan tampan. Selain itu, ia juga sakti. Ia
hanya tinggal berdua dengan ibundanya, Danan Seri Bulan.
Ayahnya telah lama meninggal dunia.
Meskipun tampan, Datuk Panglima Penjarang belum memiliki istri. Ia selalu
menolak perempuan pilihan ibundanya karena belum cocok. Sementara itu, setelah
sampai di Pekaitan, Putri Hijau kembali menyamar dan berjalan
terbungkuk-bungkuk seperti perempuan tua sambil menyandang bungkusan kain.
Setiba di depan istana Pekaitan, ia berpapasan dengan seseorang nan membuat
terpesona. “Maafkan hamba, Tuan. Izinkan hamba bertanya, siapakah gerangan
Tuan?” tanya Putri Hijau.
“Namaku Datuk Panglima Penjarang. Aku
panglima hulubalang pengawal istana Baginda nan Dipertuan Besar Pekaitan. Kalau
boleh tahu, Makcik dari mana? Saya belum pernah melihat Makcik.” Datuk Panglima
Penjarang sangat heran mendengar suara perempuan di depannya nan lembut dan
melihat cahaya matanya nan bening, gak seperti suara dan mata perempuan tua.
“Hamba Zaitun, Tuan. Hamba sebatang
kara, ibarat bulu halus nan terbang kian-kemari terbawa angin,” kata Putri Hijau.
Karena iba, Datuk Panglima Penjarang kemudian meminta Zaitun tinggal di
rumahnya tuk membantu dan menemani ibundanya.
Walaupun tampak seperti perempuan
tua, tetapi Zaitun sangat rajin dan cekatan. Ia pandai pula memasak. Nasi nan
ditanaknay berbau harum dan rasanya berlemak. Begitu pula lauk nan dimasaknya,
salalu nikmat dimakan. Oleh karena itu, Datuk Panglima Penjarang dan ibundanya
amat menyanani Zaitun.
“Makcik Zaitun, kepalaku agak pening hari ini. Mungkin karena kurang tidur tadi malam. Maukah Makcik memijit-mijit sejenak?” pinta Datuk Panglima Penjarang suatu hari.
“Makcik Zaitun, kepalaku agak pening hari ini. Mungkin karena kurang tidur tadi malam. Maukah Makcik memijit-mijit sejenak?” pinta Datuk Panglima Penjarang suatu hari.
“Tentu, Tuanku. Hamba bersedia,”
jawab Zaitun. Pucuk dicinta, ulam tiba, kata Zaitun dalam hati kemudian mulai
memijit. Pijitan Zaitun sangat lembut hingga Datuk Panglima Penjarang tertidur.
Kesempatan ini digunakan Zaitun tuk memeriksa kepala Datuk Panglima Penjarang.
Ternyata kulit kepala Datuk Panglima Penjarang tiada cacat sedikitpun. Malam
harinya, Datuk Panglima Penjarang berada di istna. Ada beberapa kapal
mencurigakan berlabuh di Pekaitan. Kapal-kapal tersebut sesungguhnya kapal
perang dari Aceh, yaitu dari Kerajaan Kuala Panjang. Mereka diutus tuk mencari
Putri Hijau.
Malam telah larut, Datuk Panglima
Penjarangdan Panglima Nayan serta anak buahnya masih berjaga-jaga. Menjelang dini
hari, Datuk Panglima Penjarang menapaki jalan sepi menuju rumahnya. Ia melihat
seberkas cahaya hijau memancar berserak di angkasa menerangi langit Negeri
Pekaitan. Cahaya indah tersebut memancar dari rumahnya. Rupanya Zaitun gak
dapat memejamkan matanya. Ia merasa bahagia telah menemukan lelaki nan
diidam-idamkannya. Ia telah jatuh cinta pada Datuk Panglima Penjarang. Dan saat
berbahagia itulah tubuhnya mengeluarkan cahaya berwarna hijau.
Di saat nan sama, dua hulubalang
Kuala Panjang nan bernama Lakaida dan Lasamak duduk di anjungan kapal.
“Benar dugaan Baginda, Putri Hijau
berada di sini! Lihat cahaya itu!” seru Hulubalang Lakaida gembira sambil
menunjuk cahaya hijau di langit Pekaitan.
Rupanya orang-orang Kuala Panjang dan
orang Pekaitan tahu bahwa cahaya hijau nan amat indah itu memancar dari tubuh
Putri Hijau. Mereka menduga Putri Hijau bersembunyi di rumah Datuk Panglima
Penjarang. Esok harinya, orang-orang Kuala Panjang nan dipimppin Hulubalang
Lakaida dan Hulubalang Lasamak bermaksud mencari Putri Hijau di rumah Datuk
Panglima Penjarang. Sebelum sampai di tempat nan dituju, mereka dihadang
prajurit pimpinan Datuk Panglima Nayan dan Datuk Bendahara nan juga mempunyai
maksud sama. Pertempuran dahsyat dua kerajaan pun gak dapat dielakkan.
Sementara itu, Putri Hijau telah
mengakui siapa dirinya kepada Datuk Panglima Penjarang dan Danan Seri Bulan.
Datuk Panglima Penjarang nan telah jatuh cinta pada Putri Hijau kemudian
berniat menikahinya. Pertempuran sangat dahsyat itu dimanfaatkan oleh Datuk
Panglima Penjarang dan Putri Hijau tuk melarikan diri.
“Cepatlah, anak-anakku!” teriak Danan
Seri Bulan gak sabar. Lalu, cepat-cepat Danan memasangkan capil berhiaskan
manik-manik di kepala Putri Hijau. Seketika, lenyaplah Putri Hiaju dari
pandangan mata. Hanya Datuk Panglima Penjarang dan Danan Seri Bulanlah nan
dapat melihatnya. Datuk Panglima Penjarang dan Putri Hijau berlutut memohon doa
restu di hadapan Danan Seri Bulan. Kemudian mereka menuju tepi sungai gak jauh
dari rumahnya.
“Kita berangkat menghulu Sungai Rokan!” perintah Datuk Panglima Penjarang kepada anak buahnya nan berada di perahu Landak Menari miliknya.
“Kita berangkat menghulu Sungai Rokan!” perintah Datuk Panglima Penjarang kepada anak buahnya nan berada di perahu Landak Menari miliknya.
Keesokkan paginya mereka berhenti di
sebuah teluk nan teduh. Kesempatan itu digunakan Datuk Panglima Penjarang tuk
merayu Putri Hijau agar bersedia menjadi istrinya, namun Putri Hijau gak
memberikan jawaban karena harinya ragu-ragu. Datuk Panglima Penjarang kemudian
menjuluki tempat itu dengan nama Sangku Duo, nan artinya ragu-ragu.
Hari berikutnya Datuk Panglima
Penjarang berlayar dan merapatkan Landak Menari ke tepi sungai. Ia kembali
membujuk Putri Hijau, namun Putri Hijau gak memberikan jawaban. Karena ditempat
itu Datuk Panglima Penjarang melakukan pembujukan, maka tempat itu diberinya
nama Pembujukan.
Landak Menari kembali berlayar dan
berhenti di suatu tempat nan indah di tepi Sungai Rokan. Kesempatan itu pun
kembali digunakan Datuk Panglima Penjarang tuk merayu Putri Hijau. Putri Hijau
menerima pinangan Datuk Panglima Penjarang. Alangkah gembiranya hati Datuk
Panglima Penjarang, kemudian tempat itu diberi nama Padang Pendapatan.
Dua hari kemudian, tibalah mereka
Siarangarang. Konon ditempat itulah Datuk Panglima Penjarang dan Putri Hijau
menikah. Datuk Panglima Penjarang membangun sebuah mahligai nan besar dan
uindah tuk Putri Hijau. Dalam mahligai itulah Datuk Panglima Penjarang dan
putri hjau tinggal dengan penuh kebahagiaan. Jauh kemudian hari, konon mahliagi
Purti Hijauu itu berubah menjadi subuah gua. Oleh penduduk, gua itu disebut gua
Putri Hijau.
Gua itu terletak di luar kota
Siarangarang. Pada waktu-waktu tertentu, orang-orang nan lewat di depan gua
tersebut melihat ada cahaya kemilau nan amat indah memancar dari dalam gua.
Konon cahaya kemilau nan amat indah itu berasal dari capil Putri Hijau nan
masih tersimpan di dalam gua itu.
Nama Sangko Duo, pembujukkan,
Pendapatan, dan Siarangarang masih abadi sampai sekarang. Padang Pendapatan
merupakan sebuah Desa nan terletak di sebela hulu Pembujukkan dan di sebelah
hilir Desa Danau Raya. Danau Raya sendiri terletak di sebelah hilir Kota Siarangarang.
Siarangarang masuk wilayah Kec. Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau
7.
Dongeng Ketobong Keramat (Pelalawan)
Alkisah pada zaman dahulu kala, di
negeri Pelalawan berkuasalah seorang raja yang dikenal sebagai Raja Pelalawan.
Penduduknya hidup tenteram, sejahtera dan rukun. Namun, di antara penduduk
tersebut, terdapat seorang laki-laki setengah baya yang hidup sangat miskin.
Meskipun miskin, ia gemar menolong orang lain. Setiap hari ia pergi menajuh di
Sungai Selempaya yang mengalir di negeri itu. Dari hasil menangkap ikan itulah
ia bisa menghidupi istri dan anak-anaknya.
Sela in
menangkap ikan, si Miskin itu memiliki kepandaian mengobati orang sakit.
Kepandaiannya itu ia gunakan untuk menolong setiap orang yang datang kepadanya.
Karena ia suka menolong orang sakit, maka ia pun dipanggil Bomo Sakti (Tabib
Sakti). Ia sangat pandai mengambil hati masyarakat. Jika ada orang membutuhkan
pertolongannya, ia tidak pernah menolak. Selain itu, ia juga tidak pernah
meminta bayaran atas bantuan yang telah diberikannya. Sifatnya yang rendah hati
itu, membuat masyarakat di negeri Pelalawan senang kepadanya. Berbeda dengan
bomo-bomo lainnya, mereka memiliki sifat angkuh. Untuk setiap obat yang
diberikan kepada orang sakit, ia selalu meminta bayaran yang sangat tinggi dan
selalu menolak apabila dimintai pertolongannya oleh orang miskin.
Suatu hari, kepandaian Bomo Sakti
mengobati orang sakit itu terdengar oleh Raja Pelalawan. Maka diutuslah dua
orang pengawal istana untuk menjemput Bomo Sakti untuk dibawa ke istana.
Sesampainya di hadapan raja, Bomo Sakti langsung memberi hormat, “Ampun Baginda
Raja! Ada apa gerangan Baginda memanggil saya menghadap?” tanya Bomo Sakti
penasaran. “Wahai Bomo Sakti! Aku sudah mendengar tentang kepandaian kamu
mengobati orang sakit. Bersediakah kamu aku angkat menjadi bomo di istana ini?”
tanya Baginda Raja kembali.
“Ampun beribu ampun, Baginda! Saya
ini hanya orang miskin dan bodoh. Tuhanlah yang menyembuhkan mereka, saya hanya
berusaha melakukannya,” jawab Bomo Sakti merendah. Baginda Raja pun mengerti
kalau Bomo Sakti menerima tawarannya itu dengan bahasa yang sangat halus.
Akhirnya, Bomo Sakti pun diangkat menjadi bomo resmi di Kerajaan Pelalawan.
Sejak itu, Bomo Sakti semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Kehidupan
keluarganya berangsur-angsur menjadi makmur. Meskipun namanya sudah terkenal di
mana-mana, Bomo Sakti tetap bersikap rendah hati. Ia masih mengerjakan
pekerjaannya yang dulu yaitu pergi menangkap ikan di sungai Selempaya.
Suatu waktu, Baginda Raja memanggil
Bomo Sakti menghadap kepadanya. Setelah Bomo Sakti menghadap, Baginda Raja pun
berkata, “Wahai Bomo Sakti, sudah lama aku menginginkan anak. Aku sudah
mendatangkan bomo dari berbagai negeri, namun belum ada yang berhasil. Untuk
membuktikan kesetiaanmu padaku, aku berharap kamu mau mengobati permaisuriku
agar kami bisa mendapatkan keturunan,” pinta Raja Pelalawan dengan penuh
harapan. Karena permintaan raja, Bomo Sakti tidak bisa menolak. “Hamba akan
berusaha, Baginda! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengabulkan keinginan Baginda,”
jawab Bomo Sakti dengan rendah hati.
Setelah itu, Bomo Sakti pun
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan takdir Tuhan Yang Mahakuasa,
usahanya berhasil. Beberapa hari setelah diobati, permaisuri pun mengandung.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, genaplah 9 bulan kandungan
permaisuri. Maka lahirlah seorang putri yang cantik jelita. Sejak itu, semakin
masyhurlah nama bomo yang sakti itu. Raja dan permaisuri serta seluruh penduduk
negeri Pelalawan sangat senang dan gembira menyambut kelahiran sang Putri kecil
yang cantik itu. Akan tetapi, Bomo Sakti yang telah berhasil mengobati sang
permaisuri justru merasa menyesal, karena telah melanggar larangan yang pernah
ditetapkan oleh gurunya. Larangan tersebut adalah ia tidak dibenarkan mengobati
orang yang sehat dan orang yang sudah mati. Jika ia melanggar larangan itu,
hidupnya akan teraniaya.
Jika berladang, padinya takkan
berisi. Jika mencari ikan, takkan dapat. Jika berlayar, angin berhenti. Jika
beternak, takkan berkembang biak. Oleh karena itu, ia berniat untuk berhenti
menjadi bomo. Akan tetapi, jika ia berhenti begitu saja, tentu Baginda Raja
akan murka kepadanya. Ia pun kemudian mencari akal bagaimana caranya agar ia
bisa berhenti menjadi bomo tanpa membuat Baginda Raja merasa kecewa.
Setelah beberapa lama berpikir, Bomo
Sakti pun menemukan cara yang baik. Keesokan harinya, ia mengutarakan isi
hatinya kepada Raja Pelalawan. “Ampun, Baginda Raja! Bukannya hamba tidak
hormat terhadap titah Baginda. Tadi malam hamba bermimpi bertemu dengan seorang
kakek. Ia menyuruh hamba berhenti menjadi bomo. Jika hamba tidak menuruti
perkataan kakek itu, maka keluarga hamba akan teraniaya,” cerita Bomo Sakti
pada Raja.
Mendengar cerita Bomo Sakti, Baginda
Raja bisa memakluminya. “Baiklah, Bomo Sakti. Aku rela kamu berhenti
menjadi bomo kerajaan ini,” jawab Baginda Raja tersenyum. Sejak saat itu, Bomo
Sakti resmi berhenti menjadi bomo. Penduduk negeri pun tidak lagi datang untuk
meminta bantuannya. Bomo Sakti kembali menjalani hidupnya sebagai penajuh untuk
menghidupi keluarganya.
Seiring dengan berjalannya waktu,
sang Putri pun sudah berumur lima belas tahun. Sebagai anak satu-satunya, sang
Putri sangat disayangi oleh Baginda Raja dan permaisuri. Ke mana pun ia pergi
selalu dikawal oleh puluhan dayang-dayang. Suatu hari, sang Putri jatuh sakit
keras. Penyakitnya semakin hari semakin parah. Sudah puluhan bomo didatangkan
dari berbagai negeri, namun belum ada seorang pun yang bisa menyembuhkan sang
Putri. Baginda raja dan permaisuri semakin cemas melihat kondisi putrinya yang
semakin lemas. Dalam suasana cemas itu, tiba-tiba Baginda Raja teringat dengan
Bomo Sakti yang pernah dilantiknya sebagai bomo resmi kerajaan lima belas tahun
yang lalu. Maka diperintahkannya beberapa pengawal untuk mencari Bomo Sakti
itu. Sudah berhari-hari pengawal istana mencari Bomo Sakti, namun tak kunjung
mereka temukan. Karena terlalu lama menahan sakit, akhirnya dengan kehendak
Tuhan Yang Mahakuasa, meninggallah Putri Kerajaan Pelalawan tersebut.
Tersebarlah berita kematian sang Putri hingga ke seluruh pelosok Negeri
Pelalawan. Baginda Raja sangat sedih dan menyesal, karena Bomo Sakti yang
sangat diharapkan untuk menyembuhkan putrinya tidak pernah datang.
Melihat putri tunggalnya telah
meninggal, Baginda Raja segera mengutus beberapa pengawal untuk mencari Bomo
Sakti yang selama ini belum berhasil ditemukannya. Malam itu juga dengan susah
payah pengawal istana berhasil menemukan Bomo Sakti di sebuah pondok dekat
sungai Selempaya. Karena Baginda Raja yang memanggil, maka berangkatlah Bomo
Sakti ke istana. Sesampainya di istana, Raja berkata, “Hai Bomo Sakti,
hidupkanlah kembali putriku ini. Buktikanlah kesetiaanmu sekali lagi kepadaku.
Jika kamu menolak permintaanku, maka
kamu dan keluargamu akan aku pancung di depan orang ramai.” Mendengar
ancaman Baginda Raja, Bomo Sakti pun menjadi ketakutan. Demi keselamatannya dan
keluarganya, terpaksalah ia menuruti kehendak rajanya. Saat itu juga Bomo Sakti
segera mempersiapkan perlengkapan untuk upacara pengobatan yang belum pernah
dilakukannya.
Bomo Sakti mulai menyalakan puluhan
lilin dan memasangnya di seluruh sudut istana. Kemudian membakar kemenyan
hingga baunya menyebar ke seluruh ruangan. Semua yang hadir di tempat itu harus
diam di tempat masing-masing. Sambil membaca doa, Bomo Sakti menepungtawari
sang Putri yang sudah meninggal itu. Setelah itu, ia pun memukul ketobong
sambil mengucapkan doa. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat, setiap kali ia
memukul ketobongnya tampak ketobong itu seperti berapi-api. Setelah hampir dua
jam lamanya ia memukul ketobongnya sambil membaca doa, selubung yang menutupi
sang Putri tiba-tiba bergerak. Semua orang yang melihat kejadian itu sangat
kagum bercampur rasa takut. Tak lama, terdengar sang Putri bersin. Kemudian
sang Putri duduk, seolah-olah baru bangun tidur. Akhirnya, sang Putri pun hidup
kembali.
Baginda Raja dan permaisuri sangat
senang atas hidupnya kembali putri tunggalnya itu. Sebaliknya, Bomo Sakti
merasa sangat menyesal menghidupkan kembali sang Putri. Ia pun segera kembali
ke perahunya yang tertambat di tepi sungai. Sambil mengayuh perahunya
meninggalkan Kerajaan Pelalawan, Bomo Sakti menangis karena telah melanggar larangan
gurunya yang kedua kalinya. Tengah mengayuh perahunya, ia melihat pengawal
istana sedang mengejarnya di belakang. Tak lama, ia mendengar suara teriakan
dari arah perahu itu. “Hai Bomo Sakti! Tungguuu…tungguuu…! Baginda Raja
memanggilmu kembali ke istana!” teriak seorang pengawal. Bomo Sakti terus saja
mengayuh perahunya. Ia tidak menghiraukan suara teriakan itu.
Setelah sampai di muara sungai,
perahu Bomo Sakti tiba-tiba berhenti. Tak lama kemudian, perahu pengawal pun
menyusul dan mendekati perahu Bomo Sakti. Sebelum turun dari perahunya, Bomo
Sakti berpesan kepada pengawal istana yang mengejarnya. “Hai Pengawal,
sampaikan kepada rajamu, perintahnya telah saya laksanakan, hingga saya harus
melanggar perintah guru saya. Saya bersumpah tidak akan menginjak bumi
Pelalawan ini selagai saya masih hidup,” tegas Bomo Sakti kepada pengawal.
Setelah itu, ketobong yang digunakan untuk menyembuhkan sang Putri dibuangnya
ke dalam sungai.
Ketika ketobong itu dibuang,
tiba-tiba air sungai menjadi berombak. Pada saat itu pula, Bomo Sakti melompat
ke darat sambil berteriak, “Jika kalian sampai di Pelalawan, sampaikan salamku
kepada istri dan anak-anakku. Katakan kepadanya, jika mereka ingin bertemu
denganku, suruh mereka datang ke Selempaya setiap hari Jumat pagi.” Setelah ia
berpesan, tiba-tiba ombak kembali menjadi tenang. Namun, dari dalam air
terdengar bunyi ketobong seperti dipukul orang. Bomo Sakti pun menghilang dan
tak pernah kembali.
Sejak peristiwa itu, masyarakat
setempat mempercayai bahwa Bomo Sakti masih hidup sebagai orang hunian (makhluk
halus). Masyarakat yang menajuh di Sungai Selempaya sering melihatnya dalam
wujud seperti manusia biasa. Konon, hingga kini apabila terjadi hujan panas,
sering terdengar bunyi ketobong di sungai itu.
8.
Dongeng
Dedap Durhaka (Bengkalis)
Konon dahulu
kala hiduplah sebuah keluarga miskin di sebuah desa terpencil. Keluarga ini
terdiri dari seorang Bapak yang Bernama Ujang sedangkan seorang Ibu bernama si
Topang dan anaknya bernama Dedap. Karena kemiskinan itulah akhirnya mereka
terpaksa mencari kayu atau rotan di dalam hutan dan kadangkala juga berburu.
Dedap adalah seorang anak yang sangat rajin membantu ke dua orang tuanya.
Ketika ia mulai beranjak remaja,
Dedap mulai memikirkan kemiskinan dan segala kekurangan keluarganya itu. Suatu
hari dalam ketermenungannya, ia berpikir untuk pergi merantau, mencoba nasib di
negeri orang. Hal itulah akhirnya ia sampaikan kepada kedua orang tuanya.
Hingga pada suatu malam, berkatalah Dedap kepada Ibu dan Bapaknya.
“Wahai Ibu dan Ayah. Kiranya ada hal
yang hendak ananda sampaikan kepada ibu dan ayah.” kata Dedap membuka kata.
Mendengar anak semata wayangnya itu,
Ibunya bertanya, “Apa gerangan yang hendak ananda sampaikan wahai anakku?” kata
ibunya
“Telah lama ananda berpikir tentang
hidup kita yang serba kekurangan ini. Jadi ananda berhajat hendak pergi
merantau. Hendak melihat negeri orang, mencoba mengadu nasib. Seandainya
beruntung, murah rejeki, ananda akan segera pulang.” kata Dedap berhati-hati.
Mendengar pernyataan anaknya itu, Ibu
dan Bapak Dedap sangat bersedih hati. “Untuk apa ananda pergi merantau nak?
Bukankah di sini semuanya sudah lengkap. Ada ibumu, bapakmu dan dedap.” kata
ibunya memelas.
Begitu juga dengan ayahnya. “Dedap
anakku, sungguh hidup merantau itu banyak duka ketimbang sukanya nak. Lebih
baik anakku tetap di sini, bersama kita mencari rezeki di tanah ini.” kata
Ayahnya pula.
Berbagai alasan mereka kemukakan agar
anaknya dapat berpikir jernih untuk tidak meninggalkan mereka akan tetapi hajat
Dedap sudah begitu bulat. “Ayah dan ibu, sesungguhnya Dedap hanya berniat
merubah nasib keluarga kita ini agar tidak terus menerus hidup dalam
kemiskinan. Dedap berjanji kalau sudah berhasil, Dedap pasti kembali lagi dan
kita bisa hidup bahagia seperti orang lain” ucap Dedap sangat yakin.
Sehingga akhirnya dengan sangat
terpaksa kedua orang tua Dedap merelakan anaknya untuk merantau ke negeri
orang. Ibunya hanya bisa berpesan sambil menitikkan air mata. “Pandai-pandailah
engkau membawa diri di kampung orang nak, di mana bumi dipijak, di situlah
langit dijunjung. Dan ketahulilah olehmu nak, modal dalam kehidupan itu ialah
kejujuran. Jika berjanji harus ditepati, janganlah sesekali engkau mungkir,
Nak!”
Begitu senang hati Dedap mendapat
restu dari kedua orang tuanya itu. Ia pun berkata “Tak usahlah Ibunda dan
Ayahnda khawatir. Pandai-pandailah Dedap membawa diri di kampung orang
nantinya.” Katanya dengan raut wajah berseri-seri.
Tepat pada hari yang telah
ditetapkan, ada sebuah tongkang berlabuh di kuala sungai untuk mencari muatan.
Seperti biasanya, di samping memuat barang-barang dagangan, tongkang itu juga
membawa penumpang yang hendak berlayar ke Singapura dan negeri lainnya seperti
Melaka.
Pada saat kapal tongkang itu
berangkatlah terjadi perpisahan antara anak dan ibu serta Bapak. Dedap pun
pergi merantau dengan berbekal pais keluang kesukaannya.
“Ayo berangkat…!” seru salah seorang
ABK Kapal. Ibu Dedap pun melambaikan tangan kepada anaknya seraya berkata,
“Hati-hati naakk…setelah sampai ke rantau yang dituju, jangan lupa memberi
kabar kepada kami” seru ibunya disertai tangis.
“Baiklah Ibu, Ayah. Dedap Berjanji
setelah berhasil kelak, Dedap akan kembali.” kata Dedap sambil melambaikan
tangannya di pinggir tongkang itu.
Hari berganti hari dan bulan berganti
bulan dan tahun berganti tahun, ternyata kabar yang diharapkan oleh Ibu dan
Ayah Dedap tidak seperti yang diharapkan. Kabar dari Dedap tak kunjung diterima
oleh kedua orang tua itu. Hal itulah membuat hati mereka menjadi bertambah
sedih. Setiap hari mereka dirundung kerisauan tentang keberadaan anaknya.
Sementara itu, Dedap yang telah
sampai ke negeri orang, hidupnya mulai membaik. Hal itu merupakan berkat kerja
keras bertahun-tahun dan kejujurannya. Dedap akhirnya dipercayakan menjalankan
perniagaan milik Saudagar Tinggi. Dan sejak itulah Dedap tidak lagi dipanggil
Dedap tetapi Saudagar Muda.
Hingga pada suatu ketika, karena
kepercayaan Saudagar Tinggi kepada Dedap begitu kuat, ia pun menawari putrinya
untuk dijadikan istri kepada Dedap. “Wahai Dedap, kiranya aku lihat hidupmu
sekarang sudah pun berkecukupan, hanya saja ada yang kurang.” kata saudagar
tinggi.
“Terima kasih wahai Saudagar Tinggi,
semua itu berkat tunjuk ajar dan kepercayaan yang diberikan kepada saya.” ucap
Dedap merendah. Tapi kalau boleh saya tahu, apakah kekurangan yang Saudagar
maksudkan?” tanya Dedap ingin tahu.
“Kiranya jikalau engkau tidak
keberatan, aku berencana menikahkan putriku dengan engkau wahai Dedap sebab aku
kira, engkaulah lelaki yang nantinya bisa menjaga anakku satu-satunya itu.”
kata Saudagar Tinggi.
Mendengar pernyataan Saudagar Tinggi,
Dedap menahan suka karena betapa beruntungnya dia dijodohkan dengan anak
Saudagar Tinggi. Disamping itu, ia juga sudah lama memendam rasa suka kepada
anak Saudagar Tinggi tersebut.
Akhirnya Dedap pun tidak menolak
tawaran dari Saudagar Tinggi itu. Dengan tidak menunggu waktu yang lama,
pernikahan pun dilangsungkan selama sepekan. Bermacam acara dibuat oleh
Saudagar Tinggi dalam rangka pesta pernikahan anaknya itu.
Setelah seminggu acara pernikahan,
Saudagar Tinggi menyuruh ke dua anaknya untuk berbulan madu dengan menggunakan
sebuah kapal yang telah disediakan untuk pengantin baru tersebut.
Berlayarlah akhirnya perahu Dedap dan
istrinya beserta anak buah kapal yang cukup ramai. Dalam pelayaran tersebut,
Dedap sempat berpikir bahwa kinilah saatnya menunjukkan keberhasilan yang telah
diperoleh kepada masyarakat di kampungnya. “Aku harus menunjukkan pada
masyarakat kampung, bahwa aku juga bisa kaya.” batinnya di dalam hati.
Setelah perahu Dedap merapat di muara
salah satu sungai di Pulau Padang, Dedap memerintahkan kepada anak buahnya
untuk mengambil air tawar serta menyuruh anak buahnya untuk mengabarkan kepada
orang kampung bahwa kapal Dedap sudah berlabuh di muara. “Wahai anak buahku,
mengingat persedian air kita sudah mulai mengurang, maka aku perintahkan kapal
kita berlabuh di pulau itu. Dan carilah air secukupnya untuk keperluan kita ke
depannya.” perintah Dedap kepada beberapa anak buahnya.
“Baik, Saudagar.” kata salah saorang
anak buahnya. Kemudian beberapa dari mereka pun segera turun dari kapal dan
mencari air tak lupa pula untuk mengabarkan kepulangan Dedap kepada orang
kampung. Akhirnya tersilah Kabar kepulangan Dedap di semerata kampung itu,
“Dedap sudah pulang…Dedap Sudah kaya raya…Dedap sudah pulang…dengan membawa
sebuah kapal besar..hoi orang kampung, Dedap sudah pulang…” pekik salah seorang
anak buahnya.
Berita itu pun sampailah ke hadapan
orang tuanya, dengan bergegas orang tuanya turun ke laut menuju ke kapal Dedap.
Namun sebelum turun, Ibu Dedap masih sempat memasakkan masakan kesukaan anaknya
yaitu Pais Kekah Panggang Keluang. Dia berkat di dalam hati, “Pastilah Dedap
sudah rindu dengan masakanku ini,” katanya membatin.
Sesampai di laut dan melihat kapal
yang begitu megah, air mata ke dua orang tua itu pun menitik tanpa disadarinya.
Barangkali sebagai bukti kerinduan bercampur kebahagian menyatu menjadi satu.
Dalam hati Ibu Dan Ayah Dedap, sepertinya tidak percaya, Dedap pulang membawa
kapal yang demikian besar. Dan di dalam hati mereka berharap bertemu kembali
dengan anaknya untuk melepas lara, pelerai duka.
Kedua orang tua itu pun pergi
mendekati anak buah Dedap yang berdiri di haluan kapal. “Nak….bolehkah kami
menjumpai Dedap?” tanya Ibunda Dedap.
“Siapa kalian berdua ini, ha?” Sergah
ABK kapal.
Dengan sedikit gementar, Ibunya Dedap
menjawab, “Kami berdua ini adalah orang tua kandung Dedap.” katanya.
“Mana mungkin, orang tua Saudagar
kami bentuknya hodoh seperti kalian berdua ini!”
“Betul nak…kami inilah orang tua
kandung Dedap. Sudah lama sekali kami menanti kepulangannya. Berilah kami izin
untuk bertemu dengan Dedap.” pinta Ibu Dedap memelas.
“Tidak…Tidak mungkin. Jangan hendak
mengaku-mengaku sembarangan orang tua tak sadar diri. Enyahlah segera dari
kapal kami ini sebelum saya halau kalian berdua. Cepat!” Anak buah kapal Dedap
marah-marah hingga beberapa yang lain juga ikut kemudian ikut marah-marah.
Namun kemudian ada salah seorang dari ABK kapal yang tidak setuju atas
perlakuan kawan-kawannya yang lain.
“Tidak baik kita memperlakukan orang
tua serupa itu. Lebih baik kita persilakan mereka naik ke kapal kita dahulu,
barulah kemudian kita tanyakan maksud kedatangannya. Manalah benar adanya bahwa
kedua orang tua ini adalah orang tua kandung Saudagar kita.” jelas ABK yang
baik hati itu dan dia pun mempersilakan kedua orang tua Dedap untuk naik ke
kapal. Tetapi kemudian, justru oleh ABK kapal kehadiran ke dua orang tua Dedap
itu menjadi bulan-bulanan dan cemoohan dari ABK-ABK yang lainnya.
Mendengar suasana gaduh di luar itu
akhirnya Dedap dan istrinya keluar. Betapa terkejutnya Dedap melihat kedua
orang tua yang renta itu. Sungguh tiba-tiba ia diserang rasa malu di hadapan
istrinya. Karena ke dua orang tua hodoh yang sedang berada di atas kapalnya itu
yak lain adalah orang tuanya.
Melihat Dedap berpakaian bersih dan
disampingnya ada pula seorang perempuan cantik jelita, bukan main gembira hati
Ibundanya itu. Ia pun segera mendekat dan berkata “Dedap..dedap anakku. Ini ibu
dan bapakmu datang, Nak! Syukurlah engkau sudah pulang” katanya ibunya mulai
mengiba menahan sedih dan suka.
Mendengar seruan dari orang tua yang
renta itu, sambil menahan malu, dedap membentak “Tidak…kau orang tua bukanlah
Ibu dan Ayahku. Orang tuaku sudah lama mati.”
“Benar Dedap. Aku ini ibundamu dan
ini ayahndamu, apakah kau telah lupa nak?” Kata Ibunya berusaha meyakinkan.
Tiba-tiba istri Dedap pun ikut
berkata “Hei orang tua tak tahu diuntung. Jangan mentang-mentang Dedap sudah
menjadi kaya, kalian orang tua yang entah dari mana asal usulnya mengaku orang
tua Dedap. Mana mungkin, Dedap yang kaya raya ini punya orang tua seperti
kalian yang miskin, hodoh dan kotor.” kata istri Dedap.
Ibu Dedap tak mau mengalah, ia terus
meyakinkan Dedap bahwa dialah Ibu kandungnya. Dedap…inilah ibumu Nak. Ini ada
ibu bawakan makanan kesukaanmu nak, ini pais keluang…makanlah nak!” kata
ibundanya sambil menyerahkan seberkas makanan tersebut.
Begitu Ibunya mendekat, Dedap
melempar makanan kesukaannya itu dan menolak ibunya. “Pergilah engkau wahai
orang tua tak tahu malu. Enyahlah engkau dari hadapanku” Bentak Dedap sambil
menolak Ibunya sekuat tenaga.
Ibunya pun terpelanting jatuh seiring
dengan makanan pais kekah panggang keluang yang jatuh berserakan di lantai
kapal. Lalu ibundanya pun menangis sejadi-jadinya. Ketika kembali hendak
mendekat dan berusaha meyakinkan anaknya Dedap bahwa dialah Ibu kandungnya,
Ayah Dedap menahan dan menggelengkan kepala.
“Sampai hati engkau Dedap. Begitu
engkau sudah kaya, kau lupakan aku yang sudah melahirkan dan membesarkan
engkau. Lupa engkau dengan janji yang telah kau ucapkan kepada kami sebelum
engkau berlayar dulu” Ibunya dan Ayahnya pun pergi meninggalkan kapal milik
Dedap dengan berurai air mata dan hati yang luka.
Setibanya di muara sungai, sang ibu
pun menengadahkan tangan, berdoa kepada Tuhan atas kedurhakaan anaknya itu.
“Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, dengarkanlah pengaduan hambamu yang daib ini.
Engkau yang mengetahui, aku telah mengandung anakku Dedap selama 9 bulan dengan
bersusah payah. Jika sekiranya benar bahwa dia adalah anakku, maka engkau
timpakanlah malapetaka yang maha dahsyat kepada anakku Dedap yang mendurhaka.
Sesungguhnyalah engkau maha perkasa dan maha adil.”
Baru saja selesai doa ibu dedap.
Tibalah badai dan tufan disertai kilat dan petir sambung menyambung. Angin yang
begitu kencang itu menderu membantai dan menimpa kapal si Dedap. Akhirnya kapal
itu pun karam diterjang ombak dan angin yang sangat dahsyat.
Di antara itu pula terdengar teriakan
Dedap, “Tolooooonggg…ampunkan anakmu ibuuuu..toloonngg ampunkan aku. Benarlah
kiranya, engkau adalah ibuku…ampunkan anakmu ini toooloooonng.” Tetapi semua
sudah terlambat, angin semakin mengamuk tak kenal ampun. Kapal Dedap beserta
muatannya lainnya tenggelam di telan laut.
Setelah selang beberapa lama
peristiwa tenggelamnya kapal Dedap, menurut masyarakat setempat muncullah
sebuah pulau yang menyerupai kapal si Dedap yang kemudian disebut oleh
masyarakat “Pulau Dedap”. (Pulau Dedap berada di Kecamatan Putripuyu, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Provinsi Riau)
9.
Dongeng
Batang Tuaka (Indragiri Hilir)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau,
Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka.
Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai
(tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan
harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk
hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan
di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan
demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya,
Tuaka.
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar
sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari.
Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang.
“Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang menggendong
kayu apinya.” kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan.
“Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang
ada padamu juga banyak.” jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya.
Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan
oleh suara desisan yang cukup keras.
“Mak! Suara apa itu?” tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya
itu suara ular berdesis,” jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka,
dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya
mereka sedang memperebutkan sebuah benda.
“Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi,”
perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah
pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus
menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit.
”Apa yang mereka perebutkan, Mak?” tanya Tuaka. “Mak juga tak
tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita,” jawab Emak Tuaka
dengan suara berbisik.
Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut
akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke
tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan
ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau,
yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu
tampak kesakitan oleh luka-lukanya.
“Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,”
kata Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak.
”Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah,”
jawab Emak Tuaka.
Tuaka memasukkan ular itu ke dalam keranjang yang dibawa
emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari
daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di
tubuh ular itu, sedangkan Tuaka sibuk memberinya minum air sejuk.
Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu
tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam
lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya
terheran-heran, lalu mereka mengamati parmata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka
kepada emaknya. “Berangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita
sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar.
Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup misikin lagi,”
jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emaknya.
Keesokan harinya, Tuaka pergi ke bandar yang ramai dengan
para saudagar. Sesampai di bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari
saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua
saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka
pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang pertama itu kepada emaknya.
Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar
yang sepertinya belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu,
kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya,
saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkeliau itu.
“Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin
memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan
membelinya,” kata sang Saudagar. “Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan
hanya tinggal membayarnya,” desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia.
“Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh
ikut denganku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya,” kata sang
Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar.
“Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik,” jawab
Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini
pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik
(Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang
perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan
diperolehnya nanti.
Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian
permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada
ibu dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun
kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok
rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya
bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup
sendirian, entah makan entah tidak.
Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah
Tuaka berlabuh di kampung halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan
kampung halamannya tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada
istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di
sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak
seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin.
Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh
emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang
bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak
terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal
megah Tuaka.
“Tuaka, Anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak!” teriak Emak
Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu. “Siapa gerangan
wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya?” tanya
istri Tuaka dengan wajah tidak senang.
“Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang
gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka dari
atas kapal.
“Ya, usir dia jauh-jauh dari sini,” tambah istri Tuaka sambil
bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera
mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal.
Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan
menjauhi kapal Tuaka. “Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka
kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya, ratap Emak Tuaka.
Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap,
tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor
burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah
menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia
sangat mencintai anaknya.
Burung elang dan
burung punai tersebut
terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua
burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar.
Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat
mengganti kata sungai ke dalam bahasa Melayu menjadi batang, sehingga nama
Sungai Tuaka berubah menjadi Batang Tuaka. Sejak itu pula, daerah di sekitar
muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan
Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir,
Riau, Indonesia.
Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu
sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala
di sekitar muara sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada
siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa
suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun
kepada emaknya.
10.
Dongeng
Burung Punai (Pelalawan)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau,
hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama
Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya
sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa
kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi
luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah
bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik
si Bujang. Setiap hari sang Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di
sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan
berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau
merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia
tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan
berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa
diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan
Bujang.
Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti
Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang
tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu.
Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di
kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji.
Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya
dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu
pulang ia dijemput oleh emaknya.
Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah
sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang
jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka
yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka
terkadang lupa pulang untuk makan siang.
Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan
teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya
mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru
mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati
kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang
diharapkannya itu.
Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang
dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu.
Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau?
Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak
jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing?”
Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk.
Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya.
“Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa
makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah
lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing?” ujar sang ayah.
Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani
membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun,
omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata
orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap
hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan
mengatakan, kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.
Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah
tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya.
Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya, “Barangkali inilah
resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin
dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan
saja, tidak usah kita hiraukan.” Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun
mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si
Bujang.
Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah
lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji
ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan
mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang
tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari,
hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak
nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.
Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak
gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya
sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah
kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka
belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah
si Bujang sambil bernyanyi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Tumbuh
bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Tumbuh
bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu bulu
tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah seluruh
tubuhnya ditumbuhi bulu. Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor Burung Punai.
Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap, kemudian ia
terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang tuanya.
Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon kayu
ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik
menyiangi rumput. Ia pun bernyanyi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu, ibu
Bujang berkata kepada suaminya.
”Bang, coba dengarkan suara burung yang bernyanyi di atas
pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang.” Ayah Bujang langsung berdiri dan
menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya telinganya baik-baik
untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara anaknya.
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah Bujang pun
yakin bahwa itu adalah suara Bujang.
“Benar, Adikku! Itu suara anak kita,” kata sang Ayah dengan
yakin.
Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang. “Nak, kemarilah! Ini nasi!
Dari atas pohon kayu ara itu, burung punai itu menjawab, “Tidak, Emak! Saya sudah menjadi Burung Punai,
Saya makan buah kayu ara.” Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan
buah ara dari satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat
nasib anaknya itu. Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu
hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang
lain. Kemudian ia bernyanyi lagi.
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
“Kemarilah,
anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu!” bujuk emaknya agar si Bujang yang telah
menjadi Burung Punai itu mau mendekat.
”Tidak,
Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara,” jawab Burung Punai
itu menolak ajakan emaknya.
Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah Bujang menebang
pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu
terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi dengan nada dan lagu
yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang pohon tempat ia
hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan kemudian benyanyi.
Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan
ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah
habis. Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena
sudah berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di
dalam hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai
selama-lamanya.
11.
Dongeng
Batu Belah Batu Betangkup (Rokan Hilir)
Konon, pada zaman dahulu
ada sebuah desa yang berada di pesisir laut Natuna (sekarang kawasan Tanjung
Batu Kecamatan Pemangkat), masih banyak terdapat pepohonan nan rimbun dan
berlatar belakang Gunung Gajah yang menambah keindahan panoramanya.
Di cakrawala awan biru
berarak perlahan-lahan, kicauan burung terdengar bercanda lincah di pepohonan,
sang ombak pun menambah gemuruh suasana di kawasan Tanjung Batu yang kita kenal
sekarang.
Mata pencarian
masyarakatnya pada masa itu dominan menangkap ikan di laut. Tampak seorang ibu
setengah baya bernama 'Mak Masnah' sedang menggendong kayu api yang didapatnya
dari hutan, pekerjaan Mak Masnah sehari-hari adalah mencari kayu api di hutan
kemudian ia jual di pasar dan berladang untuk menghidupi keluarga kecilnya.
Mak Minah menjadi tulang
punggung keluarga sejak ditinggalkan oleh sang suami melaut yang tidak pernah
kunjung pulang.
Dari suaminya, ia
dikaruniai 2 (dua) anak yang mempunyai paras cantik dan tampan bernama Yanti
(putri sulung) berumur 12 tahun dan Zoel (putra bungsu) berumur 3 tahun.
Demi 2 (dua) buah hati
kesayangannya, Mak Masnah harus membanting tulang setiap harinya agar kedua
anaknya tidak kelaparan.
Meskipun sudah bekerja
dengan sangat keras, terkadang Mak Masnah tidak mendapatkan kayu api sesuai
keinginan, akan tetapi ia tidak mengeluh karena selalu mengingat anak-anaknya. Ia
tidak berani untuk berkeluh kesah yang tiada gunanya karena tidak tahan melihat
bayangan anak-anaknya yang kelaparan dibenaknya.
Hingga pada suatu hari,
Mak Masnah pulang dari hutan untuk mencari kayu api dan hasilnya tidak seperti
yang ia bayangkan, dan kalau dijual tidak mencukupi untuk makannya pada hari
itu.
Mak Masnah pun pergi ke
tepi laut yang banyak berhamparan bebatuan menjorok ke laut. Disana banyak ikan
tembakul, dan Mak Masnah pun mencari kesana kemari mencari ikan tembakul yang
biasa berjalan di pantai yang penuh lumpur dengan sirip dan ekornya.
Ikan tembakul hidup di 2
(dua) alam seperti katak, bentuknya mirip ikan gabus mempunyai mata yang besar
menjorok ke luar mirip mata iguana. Orang setempat menyebutnya ikan Tembakul
untuk berukuran besar dan Ikan Nengok untuk yang berukuran kecil (biasa hidup
di air payau berlumpur).
Dua jam Mak Masnah mencari
ikan tembakul, badannya penuh lumpur dan merasa cukup untuk tangkapannya hari
ini, ia pun langsung pulang kerumahnya karena ia sudah sangat lapar, dan tidak
sabar mau memasak ikan dan telur tembakul untuk kedua anaknya.
Sesampai di gubuk tuanya,
Mak Masnah langsung membersihkan ikan tembakul untuk di ambil telurnya dan
setelah itu siap untuk memasaknya. Akan tetapi, ia lupa kalau persediaan kunyit
dan jahe sudah habis. Biasanya Mak Masnah untuk keperluan bumbu dapur hanya tinggal
mengambil di kebun belakang gubuk tuanya.
Sembari mau mengambil
kunyit dan jahe, Mak Masnah pun merebus telur tembakul hanya dengan garam. “Yanti,
cepat kemari. Ibu mau ke belakang rumah sebentar mau mengambil kunyit dan jahe.
Tolong, lihat masakan Ibu di dapur", kata Mak Masnah dengan suara lantang.
“Iya, bu......” jawab Yanti
sambil mengendong adiknya.
“Adikmu tolong di jaga
baik-baik, jangan biarkan bermain api dan tunggu sampai Ibu kembali ya nak.
Rebusan telur tembakul masih belum diberi rempah. Ingat, jangan di makan dulu
dan tunggu sampai Ibu kembali." kata Mak Masnah sambil mengambil tanggui
(caping).
"Baik, bu...",
jawab Yanti.
Sejam kemudian, setelah si
Ibu pergi, tiba-tiba adiknya menangis karena kelaparan. Yanti pun bingung harus
berbuat apa, sedangkan si Ibu sudah berpesan agar tidak menggangu telur
tembakulnya. Tapi sang adik semakin lama semakin kuat suaranya.
Yanti pun dengan sangat
terpaksa harus melanggar amanat orangtuanya karena sang adik yang terus menangis,
semakin lama semakin keras. Karena perut Yanti juga ikutan berbunyi yang
menandakan lapar, ia pun ikut memakan telur tembakul. Tanpa mereka sadari,
telur tembakul hasil rebusan ibunya habis tanpa sisa.
Waktu semakin sore, si Ibu
pun masih belum kunjung pulang, matahari sudah mulai tenggelam. Tak lama
kemudian, terdengar orang membuka pintu rumahnya dan tidak lain tidak bukan
adalah Mak Masnah.
Dengan keringat bercucuran
dan tubuh yang tampak letih dan lesu, ia sangat terkejut melihat telur tembakul
yang ia masak tadi sudah tidak bersisa. Betapa sedihnya Mak Masnah dengan
kelakuan anaknya yang tidak bisa menjaga amanah orangtuanya.
Namun apa hendak dikata,
nasi sudah menjadi bubur, penyesalan selalu datang kemudian, walau Yanti
berusaha meminta maaf tapi sakit hati ibunya masih belum hilang. Si ibu terus
menangis karena ulah kedua anaknya, mau pergi ke pantai lagi pun hari sudah
gelap dan ibu merasa kemponan telur tembakul. Dengan derai air mata Mak Masnah
menyudahkan segalanya. Pada keesokan harinya Mak Masnah menyiapkan bubur seperiuk
untuk anak-anaknya.
Setelah itu ia pergi
meninggalkan anaknya yang masih tertidur ke arah pantai dan mendekati sebuah
batu keramat di kawasan Tanjung Batu sambil berbicara dan menangis. Batu
tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang.
Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.
Disisi lain, tak selang
beberapa menit sang anak terbangun dan langsung menyantap hidangan yang
ditinggalkan ibunya. Tengah asyik makan, Yanti tersadar kalau ibunya akan
meninggalkannya. Maka bergegaslah Yanti dan Zoel menyusul ibunya.
“Wahai Batu Belah Batu
Batangkup, telanlah saya hingga leher. Saya kemponan telur tembakul, Saya tak
sanggup lagi hidup dengan kedua anak saya yang tidak patuh kepada orang
tuanya,” kata Mak Masnah.
Batu betangkup pun
kemudian menelan tubuh Mak Masnah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah
sebagian rambutnya saja.
Anak-anak Mak Masnah
kebingungan mencari ibunya, hingga sampailah mereka di batu keramat dan mereka
mereka menemukan ujung rambut Mak Masnah yang terurai ditelan batu belah batu
betangkup. Kedua anaknya spontan menangis histeris melihat kenyataan kalau
orangtuanya sudah meninggalkannya selama-lamanya.
"Ibu.... Ibu....
maafkan kami, pulang Bu pulang, kasihan Zoel kelaparan susu kalau Ibu tidak pulang,"
ratapan Yanti sambil membelai rambut ibunya.
“Wahai Batu Belah Batu
Batangkup, kami membutuhkan ibu kami. Tolong keluarkan ibu kami dari perutmu,”
ratap Yanti kembali.
“Tidak!!! Kalian sudah
membuat hati ibu kalian sakit dan patah. Kalian tidak menyayangi dan
menghormati ibumu,” jawab Batu Belah Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan
menangis.
0 Komentar