Sesal
Dwi Mar’atus Sholihah
Kata
“keluarga” bagi sebagian orang
berarti ‘tempat berkeluh kesah’ ,
‘tempat terbaik’ , atau ‘tempat curhat segala hal’. Tetapi tidak bagi Zena,
seorang gadis kaya raya berusia 18 tahun dengan rambutnya yang nan panjang dan
hitam, berhidung mancung, serta bermata biru bak warna lautan. Ia sangat
menginginkan sosok keluarga yang mampu mendengarkan segala keluh kesahnya. Ibu
Zena, seorang karyawati di salah satu perusahaan properti di Surabaya. Ayah
Zena, seorang direktur di perusahaan Batu Bara. Mereka jarang menghabiskan
waktu dirumah apalagi bercengkrama dengan Zena. Mereka lebih sering
menghabiskan waktu dikantor. Ketika mereka pulang, Zena sudah tertidur. Disaat
mereka pergi, Zena masih belum terbangun dari ranjang empuknya. Saat hari libur
atau akhir pekan, Zena selalu mengajak ibunya bercerita “Ma, semalam temanku
ada yang terjatuh, hahahaha”. Ibunya menjawab “besok besok aja ya
ceritanya,mama lagi sibuk” lalu ia pun mencari ayahnya. Respon ayahnya pun sama
“maaf, papa lagi sibuk kerjaan. Jangan diganggu”. Zena lalu pergi kekamarnya
dan menangis. Yang ia inginkan sebenarnya bukanlah uang, namun waktu bersama
keluarganya.
Setiap pagi, yang menyambut zena
dengan ramah adalah Bi Ros, seorang perempuan tua berusia 58 tahun dengan
rambut yang hampir memutih seluruhnya, serta bermata sayu. Bi Ros telah bekerja
sebagai pembantu rumah tangga dan telah merawat Zena sejak kecil hingga
sekarang berusia 18 tahun.
Di suatu pagi dengan mentari yang bersinar cerah, seperti biasa Bi
Ros selalu bertanya kepada Zena “Non, mau sarapan apa?” “gausah bi, nanti sarapan di sekolah aja
bareng temen-temen” jawab Zena sambil menyisiri rambutnya. Tanpa ia sadari,
rambut-rambut berjatuhan dari kepalanya. “Rambutku kok rontok ya? Kayaknya
harus ganti shampo mungkin aku gak cocok pakai shampo yang itu”. Kepala Zena
pun sering sakit namun ia berfikir ia hanya stress makanya sering sakit kepala.
Semakin hari, rontok di rambut Zena semakin parah dan bahkan hampir botak,
kepalanya pun terasa semakin sakit. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke
dokter sendirian karna ia tau bahwa orang tuanya gak mungkin punya waktu untuk
menemaninya ke dokter.
Setelah pemeriksaan selesai, Dokter
memberi surat kepada Zena. “surat ini tolong berikan kepada orang tuamu, ini
hasil pemeriksaan tadi” kata dokter.”Baiklah Dokter, terimakasih” Ucap Zena. Di
perjalanan, Zena membaca surat yang diberikan dokter. Ia terkejut karena di
surat itu tertulis bahwa ia mengalami kanker otak stadium 4. Ia pun bingung dan
menangis. Sesampai dirumah, surat dari Dokter diberikan ke orang tuanya. Namun
bukannya dibaca, tetapi hanya dipegang-pegang lalu dibuang. Mereka kira Zena
hanya mengalami penyakit biasa. Zena berusaha mengobati penyakit yang
dideritanya dan berserah diri kepada Allah berharap penyakitnya disembuhkan.
Ternyata tidak, semakin lama penyakit
yang zena derita semakin parah.
Pada suatu malam, sakit kepala Zena
tidak bisa tertahan dan akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya tanpa
diketahui kedua orang tuanya. Pagi harinya, seperti biasa Bi Ros membangunkan
Zena “Non, bangun! Sudah jam 6!” tidak ada jawaban dari dalam kamar. Lalu Bi
Ros mencoba lagi “Non, bangun! Sudah jam 6 lewat, Non? Non?” Bi Ros khawatir lalu mendobrak pintu kamar
Zena dan mendapati Zena sudah terbujur kaku. Lalu Bi Ros pun menelpon kedua
majikannya sambil menangis “Buk, Pak, Non Zena!” “Zena kenapa?” tanya mereka.
“Non Zena me . . . meninggal” mereka pun terkejut dan langsung pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, mereka melihat banyak warga sudah berkumpul di rumahnya.
Mereka menangis dengan kencangnya. Rasa penyesalan dan kekecewaan pada diri
sendiri pun menyelimuti. Tetapi, apalah arti sebuah penyesalan. Semua sudah
terjadi. Zena telah meninggalkan mereka
untuk selama-lamanya.
0 Komentar