Memicu Takdir
Khairul Rizky
Derum mesin mengaung ketika dinyalakan, ruang laboratorium
canggih tersebut memantulkan suara mesin pembangkit tenaga yang mengaliri
sebuah alat ciptaan baru seorang ilmuwan muda. Mesin waktu. Ya, benar-benar mesin
waktu, dengan perangkat yang kompleks menghubungkan antara kabin utama dan
panel kendali, di mana ilmuwan muda tersebut terlihat lebih tua dari usia
aslinya karena telah bekerja keras selama berbulan-bulan untuk menciptakan
mahakarya tersebut. Hari itu adalah percobaan terakhir untuk menguji apakah
mesin tersebut berfungsi dengan baik. Ketika derum mesin berhenti berbunyi,
ilmuwan tersebut muncul dari balik kabin dengan muka semringah bukan main.
Padahal lusuh pakaian dan kusam penampilannya tak dapat disembunyikan. Tampak
ia menghabiskan terlalu banyak waktu dalam laboratorium berdebu itu. Namun, ia
terlihat begitu puas, jelas karena teknologi futuristik ciptaannya telah
selesai dan teruji sesuai keinginannya.
"Namanya Dr. Sandro!" ucap Harfi, asisten sang
ilmuwan, pada Ardi, anak magang di laboratorium tersebut. "Dia disebut
ilmuwan gila karena terobsesi untuk menciptakan mesin waktu."
"Tapi dia berhasil, Pak," ujar Ardi.
"Ya, dengan menggadaikan seluruh hidupnya untuk proyek
ini. Ia menghabiskan kekayaannya, siang malamnya, kesehatannya, di tempat ini,
tak peduli sakit, tak peduli nasehat orang, puluhan kali gagal tak membuatnya
surut, bahkan aku lupa kapan terakhir ia makan. Lihatlah ia seperti mayat berjalan dengan penampilannya
itu. Semua demi mesin ini. Tujuan hidupnya cuma satu, pergi ke masa lalu,"
jelas Harfi.
"Boleh tau, kenapa?" tanya Ardi.
"Tiga tahun yang lalu, Risa, istrinya, tewas tertabrak
mobil. Sejak itu, Dr. Sandro mengalami kesedihan mendalam
hingga depresi dan berambisi untuk menciptakan mesin waktu, pergi ke masa lalu untuk
mencegah hal itu terjadi."
"Kecelakaan, ya?"
"Bukan, saat itu Risa berjalan kaki dari toko di
seberang jalan tak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba ada gelandangan berpenutup wajah,
yang mencegah Risa untuk menyeberang. Gelandangan tersebut menyampaikan sesuatu yang
membuat Risa terkejut dan ketakutan, setelah beberapa kali berbicara, gelandangan itu menarik-narik
tangan Risa ke arah pinggiran jalan. Karena ketakutan, Risa melepaskan diri dan
berlari menyeberangi jalan sehingga tak sadar ada mobil melintas."
Ardi bungkam. Ia memilih tak bertanya lagi, takzim saja
menatap Dr. Sandro yang kini kembali memasuki kabin utama dari perangkat mesin
waktunya. Sebelum pintu kabin tertutup, terlihat Dr. Sandro menutupi wajah
dengan masker. "Harfi, ini saatnya!" teriak sang ilmuwan gila dari
dalam kabin.
"Tapi, Pak ..."
"Tidak ada tapi-tapi, aku sudah menunggu ini lama
sekali!" potong Dr. Sandro.
"Baik, Pak!" Harfi tak lagi ingin protes. Ia turun
mendekati panel kendali. Mulai mengoperasikan mesin tersebut. Dalam hitungan
mundur sepuluh detik, ia mengirim Dr. Sandro yang lusuh dan tampak tak terurus
itu ke masa lalu.
***
Tibalah ia di tiga tahun lalu, di pinggir jalan. Sandro
melangkah hati-hati. Dilihatnya istrinya baru keluar dari toko, tak jauh di
seberang jalan tempat mereka tinggal. Ia tak berpikir lagi, langsung saja ia
berlari menghampiri istrinya tersebut. Tak peduli penampilannya yang seperti
orang gila.
"Risa, jangan menyeberang jalan!" ucapnya. Risa sendiri langsung terdiam
seketika dan tampak bingung. Sandro mengulangi perkataannya, dan Risa tetap
kebingungan.
"Nanti akan ada seseorang yang menganggumu di sini,
membuat kamu takut hingga terjadi sesuatu. Kamu harus percaya!" ujar
Sandro.
"Siapa kamu? Apa yang kamu bicarakan?" Risa mulai
curiga.
"Untuk kebaikan kamu, kamu harus ikut aku dan jangan
menyeberang, sebelum orang itu datang!" ucap Sandro.
"Orang aneh!" ujar Risa.
"Kumohon, ikutlah!" Mulai tak sabar, Sandro
mencengkeram lengan Risa dan menariknya ke pinggir jalan. Ia takut sekali akan
kehilangan lagi. Tetapi Risa yang tak mengenalnya dan tak percaya, justru
curiga dan ketakutan. Ia berontak dan melepaskan diri sekuat tenaga. Sandro
coba mendekap sang istri, tetapi kasip, pegangannya terlepas. Dalam ketakutan, Risa
berlari menyeberangi jalan. Saat itulah teriakan Sandro menggema mengiringi
benturan keras sang istri dengan mobil minivan yang datang dari arah tak
terduga. Risa pun tergeletak di tengah jalan, dengan kepala mengucurkan darah.
Sandro sendiri terduduk lemas di tempatnya tadi berdiri. Air
mata tak cukup menggambarkan perasaannya. Suaranya keburu habis untuk menangis.
Ia tak bisa berlari mendekati mayat sang istri, sebab orang sekitar mulai ramai
berdatangan. Ia merasa berdiri pun tak sanggup lagi, ketika ia menyadari hal
tersebut. Satu hal penting yang mestinya ia pahami. Sekarang ia pasrah, dan tak
ada lagi yang ia inginkan.
Dari balik saku celana ia mencabut sebilah pisau. Dengan
senyum dan sorot mata tertuju pada ceceran darah sang istri, tangannya mulai
mengayunkam pisau menuju jantung sendiri. Namun, seketika pisau itu jatuh
bergedenting ke trotoar semen, saat tubuh Sandro lenyap menjadi butiran sebelum
mata pisau sempat melukainya.
***
0 Komentar