Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

 Euforia & Disforia

Fadilah Tulzahra

 

            “Alid main dulu Ma!” teriak gadis berusia duabelas tahun di depan rumahnya. Seusai memakai sendal, langkah kaki-kaki rampingnya bergerak cepat meninggalkan halaman rumah dengan begitu semangat. Bahkan dalam berlari, Alid tersenyum lebar memikirkan apa saja yang ada di dalam kepalanya dengan random. Tentang hal apa saja yang akan dia lakukan bersama dengan anak laki-laki bernama Vee.

Namanya terdengar cukup aneh. Mungkin karena Vee adalah anak laki-laki keturunan Indonesia dan berdarah Jerman. Vee yang notabene-nya adalah tetangga Alid, pastinya juga sudah menjadi teman bermain Alid sejak mereka masih kecil. Mungkin dari umur tiga tahun, mungkin?

Dengan langkah kaki semangatnya, Alid berlari dengan kencang sampai-sampai ia kelihatan seperti sedang menyaingi kecepatan gerak angin. Ia hanya terlalu senang kalau boleh jujur. Setelah dua minggu pulang dari kampung Mamanya, Alid ingin melepas rindu bermain dengan Vee setelah sekian lama. Rindu Vee banyak-banyak, katanya. Bahkan saking rindunya Alid sampai lupa membawa oleh-oleh yang ia persiapkan untuk Vee. Payah!

Hehe, tidak papa, besok-besok masih dibawa, pikir Alid.

Saat hendak melewati gang sempit yang menghubungkan lapangan bermain dengan komplek rumahnya, Alid melihat seorang wanita yang kira-kira seusia Ibunya sedang mengangkat kotak kardus dengan hati-hati. Ibu-ibu itu terlihat kesusahan. Ia mengerang aduh saat meletakkan kardus itu di tanah.

“Siang Tante, mau Alid bantuin gak?”

Wanita itu terkejut dengan suara anak kecil yang tiba-tiba terdengar olehnya. Kemudian wanita itu langsung mencari sumber suara, “eh? Kenapa nak?” balas wanita itu dengan ramah.

“Anu itu, Alid pengen bantuin Tante angkat kardusnya. Boleh ga Tan?”

“loh, emangnya kamu kuat?”

Alid langsung mengangguk semangat, “kuat kok Tan. Ini liat, lengan Alid aja punya otot. Kuat kok kalo angkat beginian mah, kecil.”

Ibu-ibu itu terkekeh kecil melihat tingkah Alid yang menurutnya sangat menggemaskan. Baru kali ini di dalam hidupnya mendapati gadis kecil yang menawari pertolongan. Biasanya mereka terkadang malu-malu dan juga takut kalau sudah melihat wajahnya. Karena faktor tahi lalat di bawah hidung.

“Ya sudah kalau kamu maksa yo ndak papa, kamu angkat kardus yang isinya baju-baju saja ya.”

“Siap Tan!!”

Wanita bernama Desi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Alid. Memperhatikan layaknya seorang Ibu yang kagum akan sikap anaknya. Padahal mereka baru pertama kali bertemu, dan entah mengapa Alid bisa mencuri hati Desi dalam waktu singkat. Sungguh Alid anak yang ajaib.

Desi kemudian berasumsi jika cara dan sikap elok Alid mungkin didapati karena pola asuh orang tua gadis kecil itu. Entah siapa mereka, tapi yang jelas mereka telah berhasil menjadikan Alid sebagai anak yang manis dan juga baik hati. Sopan kepada masyarakat dan ramah ke semua orang. Mereka orang tua yang mengagumkan.

“Tante, abis itu Alid bawa apalagi?” tersadar dari lamunannya, Desi kemudian menoleh kearah sumber suara— melihat Alid yang sedang berdiri manis seolah ingin diberi sebuah perintah lagi. Desi memperhatikan wajah gadis kecil di depannya. Alid yang memiliki rambut panjang yang tergerai bebas, pipi bersemu merah seolah ia baru saja main di bawah panas, dan bibir yang mungil dan sedikit berisi.  Desi terkagum, beruntung sekali orang tua gadis ini.

“Tante?”

“Eh?” kembali, Desi lagi-lagi sedang berkelana di dalam dunia pikirannya. Membuat Alid menanti dengan bibir mengerucut bersama raut ekspresi bingung. Buru-buru Desi mengibaskan tangannya agar gadis itu berhenti menolong. “Ga usah nak, Tante bisa sendiri kok, kamu lanjut main saja sana.”

Alid lalu berekspresi menimbang-nimbang, “tapi nanti kalo Tante capek, gimana dong?”

Senyum kecil Desi terulas kesekian kali berkat ungkapan perhatian itu. “Ga papa sayang, Tante bisa kok, kamu tenang saja. Bentar lagi adeknya Tante mau datang buat nolongin. Kamu ga usah khawatir.”

“Serius?” tanya Alid yang belum yakin.

“Iya sayang. Nama kamu Alid ‘kan?” tanya Desi yang dibalas anggukan oleh Alid. “Nah Alid, adeknya Tante itu namanya Denada, Alid kenal ga?”

“Denada? Mbak Denada ya? Yang kakak-kakak cantik kuliah jadi Dokter itu. Oh Alid kenal Tante!!”

Lalu sembari mencolek hidung Alid, Desi pun berkata, “nah, mbak Denada itu yang bentar lagi bantuin Tante, jadi Alid gak usah khawatir, Tante nanti ada yang nolongin kok.”

Alid mencari kebohongan disetiap kata yang Desi ucapkan, tapi nihil sebab rasanya wanita itu benar-benar terlihat sangat jujur. “Bener ya? Tante ga bohongin Alid ‘kan?”

“Iya sayang. Ih, kamu ini susah banget buat percaya sama orang.”

“Hihi, ya udah deh, Alid percaya. Kalo gitu Alid pamit dulu ya Tante, mau janjian ketemuan sama teman di lapangan.”

“Ya sudah, kamu hati-hati ya Alid, makasi loh sudah mau nolongin Tante.”

“Sama-sama Tante. Alid pergi dulu, dadah Tante.”

“Dah Alid.”

Melihat Alid yang sudah berjalan jauh dari rumahnya, Desi pun kemudian mengembuskan nafas. Hatinya teduh sekali memandangi gadis kecil seperti Alid. Desi benar-benar menginginkan seorang buntalan mungil di sisinya seperti disaat ini. “ Ya Allah, kapan ya saya punya anak?” sembari memandangi perutnya, Desi pun tersenyum sedih. Tersadar akan kenyataan pahit yang lain. Yakni bekas jahitan di bawah perut dan rahim. Ia kembali menerima torehan luka batin lagi, menyadari fakta bahwa sampai kapan pun ia tak akan memiliki malaikat kecil di sampingnya.

End


Profil Singkat


Fadilah Tulzahra. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra dan Indonesia Universitas Riau. Mulai berkuliah di Universitas Riau pada tahun 2021. Sekarang sudah semester 2 berada di kelas 2021C.



Posting Komentar

0 Komentar