Euforia & Disforia
Fadilah
Tulzahra
“Alid main dulu Ma!” teriak gadis
berusia duabelas tahun di depan rumahnya. Seusai memakai sendal, langkah
kaki-kaki rampingnya bergerak cepat meninggalkan halaman rumah dengan begitu
semangat. Bahkan dalam berlari, Alid tersenyum lebar memikirkan apa saja yang
ada di dalam kepalanya dengan random. Tentang hal apa saja yang akan dia
lakukan bersama dengan anak laki-laki bernama Vee.
Namanya terdengar cukup aneh. Mungkin karena Vee
adalah anak laki-laki keturunan Indonesia dan berdarah Jerman. Vee yang notabene-nya
adalah tetangga Alid, pastinya juga sudah menjadi teman bermain Alid sejak
mereka masih kecil. Mungkin dari umur tiga tahun, mungkin?
Dengan langkah kaki semangatnya, Alid berlari dengan
kencang sampai-sampai ia kelihatan seperti sedang menyaingi kecepatan gerak
angin. Ia hanya terlalu senang kalau boleh jujur. Setelah dua minggu pulang
dari kampung Mamanya, Alid ingin melepas rindu bermain dengan Vee setelah
sekian lama. Rindu Vee banyak-banyak, katanya. Bahkan saking rindunya
Alid sampai lupa membawa oleh-oleh yang ia persiapkan untuk Vee. Payah!
Hehe, tidak papa, besok-besok masih dibawa,
pikir Alid.
Saat hendak melewati gang sempit yang menghubungkan
lapangan bermain dengan komplek rumahnya, Alid melihat seorang wanita yang
kira-kira seusia Ibunya sedang mengangkat kotak kardus dengan hati-hati.
Ibu-ibu itu terlihat kesusahan. Ia mengerang aduh saat meletakkan kardus
itu di tanah.
“Siang Tante, mau Alid bantuin gak?”
Wanita itu terkejut dengan suara anak kecil yang
tiba-tiba terdengar olehnya. Kemudian wanita itu langsung mencari sumber suara,
“eh? Kenapa nak?” balas wanita itu dengan ramah.
“Anu itu, Alid pengen bantuin Tante angkat
kardusnya. Boleh ga Tan?”
“loh, emangnya kamu kuat?”
Alid langsung mengangguk semangat, “kuat kok Tan.
Ini liat, lengan Alid aja punya otot. Kuat kok kalo angkat beginian mah,
kecil.”
Ibu-ibu itu terkekeh kecil melihat tingkah Alid yang
menurutnya sangat menggemaskan. Baru kali ini di dalam hidupnya mendapati gadis
kecil yang menawari pertolongan. Biasanya mereka terkadang malu-malu dan juga
takut kalau sudah melihat wajahnya. Karena faktor tahi lalat di bawah hidung.
“Ya sudah kalau kamu maksa yo ndak papa, kamu angkat
kardus yang isinya baju-baju saja ya.”
“Siap Tan!!”
Wanita bernama Desi itu hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Alid. Memperhatikan layaknya seorang Ibu yang kagum
akan sikap anaknya. Padahal mereka baru pertama kali bertemu, dan entah mengapa
Alid bisa mencuri hati Desi dalam waktu singkat. Sungguh Alid anak yang ajaib.
Desi kemudian berasumsi jika cara dan sikap elok Alid
mungkin didapati karena pola asuh orang tua gadis kecil itu. Entah siapa
mereka, tapi yang jelas mereka telah berhasil menjadikan Alid sebagai anak yang
manis dan juga baik hati. Sopan kepada masyarakat dan ramah ke semua orang.
Mereka orang tua yang mengagumkan.
“Tante, abis itu Alid bawa apalagi?” tersadar dari
lamunannya, Desi kemudian menoleh kearah sumber suara— melihat Alid yang sedang
berdiri manis seolah ingin diberi sebuah perintah lagi. Desi memperhatikan
wajah gadis kecil di depannya. Alid yang memiliki rambut panjang yang tergerai
bebas, pipi bersemu merah seolah ia baru saja main di bawah panas, dan bibir
yang mungil dan sedikit berisi. Desi
terkagum, beruntung sekali orang tua gadis ini.
“Tante?”
“Eh?” kembali, Desi lagi-lagi sedang berkelana di
dalam dunia pikirannya. Membuat Alid menanti dengan bibir mengerucut bersama
raut ekspresi bingung. Buru-buru Desi mengibaskan tangannya agar gadis itu
berhenti menolong. “Ga usah nak, Tante bisa sendiri kok, kamu lanjut main saja
sana.”
Alid lalu berekspresi menimbang-nimbang, “tapi nanti
kalo Tante capek, gimana dong?”
Senyum kecil Desi terulas kesekian kali berkat
ungkapan perhatian itu. “Ga papa sayang, Tante bisa kok, kamu tenang saja.
Bentar lagi adeknya Tante mau datang buat nolongin. Kamu ga usah khawatir.”
“Serius?” tanya Alid yang belum yakin.
“Iya sayang. Nama kamu Alid ‘kan?” tanya Desi yang
dibalas anggukan oleh Alid. “Nah Alid, adeknya Tante itu namanya Denada, Alid
kenal ga?”
“Denada? Mbak Denada ya? Yang kakak-kakak cantik
kuliah jadi Dokter itu. Oh Alid kenal Tante!!”
Lalu sembari mencolek hidung Alid, Desi pun berkata,
“nah, mbak Denada itu yang bentar lagi bantuin Tante, jadi Alid gak usah
khawatir, Tante nanti ada yang nolongin kok.”
Alid mencari kebohongan disetiap kata yang Desi
ucapkan, tapi nihil sebab rasanya wanita itu benar-benar terlihat sangat jujur.
“Bener ya? Tante ga bohongin Alid ‘kan?”
“Iya sayang. Ih, kamu ini susah banget buat percaya
sama orang.”
“Hihi, ya udah deh, Alid percaya. Kalo gitu Alid
pamit dulu ya Tante, mau janjian ketemuan sama teman di lapangan.”
“Ya sudah, kamu hati-hati ya Alid, makasi loh sudah
mau nolongin Tante.”
“Sama-sama Tante. Alid pergi dulu, dadah Tante.”
“Dah Alid.”
Melihat Alid yang sudah berjalan jauh dari rumahnya,
Desi pun kemudian mengembuskan nafas. Hatinya teduh sekali memandangi gadis
kecil seperti Alid. Desi benar-benar menginginkan seorang buntalan mungil di
sisinya seperti disaat ini. “ Ya Allah, kapan ya saya punya anak?” sembari
memandangi perutnya, Desi pun tersenyum sedih. Tersadar akan kenyataan pahit
yang lain. Yakni bekas jahitan di bawah perut dan rahim. Ia kembali menerima
torehan luka batin lagi, menyadari fakta bahwa sampai kapan pun ia tak akan
memiliki malaikat kecil di sampingnya.
—End—
0 Komentar