We’re (Not) in Friend Zone
Karmila
Sahabat itu, manusia yang selalu ada dikondisi
dan waktu kapanpun. Manusia yang tidak akan pergi meninggalkanmu saat dunia
bahkan enggan menyapamu. Sahabat itu, bagian dari diri yang menutupi
kekuranganmu. Tapi, apa jadinya jika seorang laki-laki dan perempuan bersatu menjalin
pertemanan erat bagai akar yang menajalar di tanah. Kalian masih yakin hubungan
itu tidak membuahkan rasa lebih diantara keduanya?
- Unknown
\(^^)/
Seorang
laki-laki jangkung dengan ekspresi dinginnya memasuki kelas. Begitu duduk di
bangku, ia segera mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. Sudah menjadi kebiasaan
bagi Elfan menyiapkan 2 bungkus roti dan susu kotak untuk sarapan pagi. Jika
kalian berpikir itu untuk dirinya sendiri kalian salah. Karena roti dan susu
kotak itu kini sudah berpindah tangan ke perempuan di samping Elfan yang baru
saja datang dengan wajah kusut dan tengah misuh-misuh.
“Mama jahat banget sumpah! Serius! Mama udah gak
sayang lagi pasti sama gue!” ujar perempuan ini, sementara tangannya sibuk
membuka bungkus roti curian pemberian Elfan.
“Perasaan gue, tiap pagi lo musuhan mulu deh
sama tante Rosa. Kali ini masalahnya apa lagi, hm…?” tanya Elfan. “Gue cuma
minta tolong beliin telor bebek buat praktek prakarya, udah itu aja.” Elfan
yang tengah minum susu kotak itu hampir menyemburkannya ke arah Ara.
“Heh! Anak Pak Jamal! Itu tugas untuk praktek
hari ini, dan baru tadi pagi lo nyuruh tante Rosa beli telor bebek?! Kalo jadi
Pak Jamal, udah gue coret nama lo dari KK,” ujar laki-laki ini. “IH! KOK LO
JADI IKUTAN MARAH SIH?!” tanya ara dengan nada yang sedikit meninggi. Elfan
mengelus dadanya mencoba bersabar menghadapi manusia sensian di depannya ini.
Ia heran, mengapa bisa berteman 6 tahun dengan Ara.
Agar tidak memperkeruh suasana, Elfan memilih
diam. Tangannya terulur menepuk pelan puncak kepala Ara beberapa kali. “Udah,
gue gak marah kok. Habisin itu rotinya. Pasti lo belum sarapankan? Abis
berantem sama tante Rosa.” Bibir Elfan tertarik membentuk senyum simpul namun
sangat tulus. Senyum manis yang jarang laki-laki itu tampilkan selalu menjadi asupan vitamin
tambahan bagi Ara.
Mata
coklat Ara menerawang jauh dalam manik mata elang milik Elfan, mereka saling
diam beberapa saat. Ara memutus kontak mata itu saat seorang laki-laki berjalan
melintasi kelas mereka. Elfan dapat melihat perubahan dari tingkah Ara, yang
tiba-tiba menata rambutnya dengan senyum sumringah dan tatapan mata yang masih
lekat ke arah pintu.
“Lo lihat apaan?” tanya Elfan. “Arga! Arga
barusan lewat tadi! Ya ampun ganteng banget. Gue suka sama dia, tapi lo diem aja.
Jangan ember!” Elfan terdiam sejenak, perasaannya bercampur aduk. Ia sudah
kalah start kah? Tidak ada kalimat lain yang keluar selain, “Cie… cie… ternyata
lo suka manusia juga ya.”
“Ya iyalah woi! Lo kira gue apaan? Dugong?”
Tidak ada percakapan lain setelahnya. Kedua sahabat itu sibuk dengan pikiran
mereka masing-masing.
Kelas
semakin ramai dengan murid-murid yang mulai berdatangan. Ketukan di pintu
berhasil mengalihkan seluruh atensi ke sosok yang tengah berdiri di ambang
pintu.
“Permisi, Elfan bisa ikut gue bentar?” Elfan
yang merasa dipanggil segera mendekati Aletha yang setia berdiri di sana. Ara
memandangi punggung Elfan yang mulai menjauh. Beribu pertanyaan yang entah
berasal dari mana memenuhi kepalanya. “Aletha ada urusan apa sama El, perasaan mereka
gak dekat deh.” Ara menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pertanyaan tak
terjawab itu.
\(^^)/
Suasana
belajar mengajar di kelas berjalan dengan tenang. Seluruh murid sibuk dengan
buku dan pena mereka, sementara seorang guru terlihat berkutat dengan
laptop di depannya. Ara berusaha untuk
tidak kepoan, tapi mulutnya terlalu gatal untuk tidak bertanya pada Elfan
perihal panggilan Aletha tadi.
“Psst… El!” panggil Ara pelan. Elfan berdehem
kecil menanggapi panggilan itu. “Abis diapain lo sama Aletha?” Pertanyaan dari
Ara berhasil memecah konsentrasi laki-laki ini.
“Pertanyaan lo ambigu, tapi kalo gak dijawab
rambut kece gue lo jambak.”
“Makanya dijawab Samsul,” ketus gadis ini. “Gak
ada, gue gak diapa-apain sama Aletha. Dia cuma nanya tentang projek ekskul
mading, kan gue pernah ikutan lomba.”
Ara
mengangguk lega, kenapa ia merasa lega? Entahlah, rasanya beban pikirannya
lepas begitu saja mendengar jawaban Elfan. Elfan terlihat kembali menulis,
sementara Ara masih memandangi wajah Elfan dari samping. Ia harus mendiskusikan
rencananya dengan Elfan tapi ia malu. “Kalo ada yang mau lo omongin kasih tau,
jangan mandangi gue. Gue tau kok, gue ganteng,” cetus laki-laki ini dengan
percaya dirinya. “Dih, pede banget lo! Tapi emang iya sih, gue mau ngomongin sesuatu
sama lo.” Lagi, Elfan memusatkan perhatiannya pada Ara.
“Jadi gini, sebenarnya gue… suka sama Arga.
Rencananya gue mau nembak dia nanti pas ekskul pramuka. Menurut lo gimana?
Murahan gak sih kalo cewek nembak duluan?”
Elfan bisa merasakan ada yang retak di dalam
hatinya, jantungnya mencelos. Elfan merasa semua tenaganya hilang. “Woi!
Menurut lo gimana El? Malah bengong.” Ara menepuk pelan pundak laki-laki di
depannya. “Ha? Oh, itu, ng— nggak apa kok. Cewek juga punya hak untuk nyatain
perasaan mereka. Btw, semangat ya!” Elfan tersenyum getir, berbeda dengan Ara
yang melebarkan senyum senangnya. “Makasi ya, emang paling benar itu diskusi
sama lo.” Setelah berkata demikian, Ara mulai menulis di buku catatannya. Elfan
sudah kehilangan semangat menulisnya. Perkataan Aletha beberapa jam yang lalu
menggema di telinganya.
“Gue
suka sama lo El, tapi gue tau kok. Lo suka sama Ara kan? Gue ngomong gini ke lo
karena gue sesak nahan ini sendirian. Yang namanya perasaan itu emang gak enak
kalau dipendam. Lagian hubungan kalo diulur terus ada kemungkinan bisa putus,
sama seperti layangan. Jika sudah putus jangan menangis layangan itu terbang
tinggi. Salah sendiri ngulur benangnya kepanjangan.” Aletha menatap wajah Elfan
dengan sendu, “Elfan, kalau lo beneran cinta sama Ara harus berani ungkapin.
Kalau enggak, ya lo harus kuatkan diri melihat Ara mencintai orang lain.”
\(^^)/
Lonceng
pulang dan jam ekskul menggema diseluruh penjuru sekolah. Ara dan Elfan juga
sudah siap-siap untuk ke ruang ekskul mereka masing-masing. Elfan memandangi
Ara yang tengah merapikan rambutnya. “Ra…” panggil Elfan. “Ya? Kenapa?” –“harus
berani ungkapin. Kalau enggak, ya lo harus kuatkan diri melihat Ara mencintai
orang lain.”—
“Lo beneran mau nembak Arga?” tanya laki-laki ini. “Iya,
gue gugup banget ini.” Tanpa aba-aba, tangan Elfan meraih kedua tangan Ara. –
“harus berani ungkapin.”— “Gue mau ngomong, sebenarnya gue…” Ara masih
memandangi Elfan melanjutkan ucapannya. “Gue… Cuma mau bilang semangat! Gue
yakin Arga pasti bakal nerima lo.” Sial! Elfan tidak kuat, nafasnya tercekat
begitu saja. “Makasi banyak El. Lo emang teman terbaik yang gue punya. Kalo
gitu gue pergi dulu ya?” Ara melepas genggaman Elfan dan berjalan menjauh.
Bersamaan dengan air mata Elfan yang luruh begitu saja. Buku-buku tangan Elfan
memutih akibat genggamannya yang terlalu kuat menahan diri untuk tidak
berteriak bahwa dia sangat mencitai Ara dan ingin gadis itu berbalik padanya.
“Ara, gue gak hanya teman lo. Gue suka sama lo. Dan gue terlalu takut buat
ungkapin itu.” Tak ada yang bisa diubah, Elfan berjalan pelan meninggalkan
ruangan yang menjadi saksi kerapuhan hatinya.
– THE END –
0 Komentar