Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

 We’re (Not) in Friend Zone

Karmila

 

Sahabat itu, manusia yang selalu ada dikondisi dan waktu kapanpun. Manusia yang tidak akan pergi meninggalkanmu saat dunia bahkan enggan menyapamu. Sahabat itu, bagian dari diri yang menutupi kekuranganmu. Tapi, apa jadinya jika seorang laki-laki dan perempuan bersatu menjalin pertemanan erat bagai akar yang menajalar di tanah. Kalian masih yakin hubungan itu tidak membuahkan rasa lebih diantara keduanya?

- Unknown

\(^^)/

            Seorang laki-laki jangkung dengan ekspresi dinginnya memasuki kelas. Begitu duduk di bangku, ia segera mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Elfan menyiapkan 2 bungkus roti dan susu kotak untuk sarapan pagi. Jika kalian berpikir itu untuk dirinya sendiri kalian salah. Karena roti dan susu kotak itu kini sudah berpindah tangan ke perempuan di samping Elfan yang baru saja datang dengan wajah kusut dan tengah misuh-misuh.

“Mama jahat banget sumpah! Serius! Mama udah gak sayang lagi pasti sama gue!” ujar perempuan ini, sementara tangannya sibuk membuka bungkus roti curian pemberian Elfan.

“Perasaan gue, tiap pagi lo musuhan mulu deh sama tante Rosa. Kali ini masalahnya apa lagi, hm…?” tanya Elfan. “Gue cuma minta tolong beliin telor bebek buat praktek prakarya, udah itu aja.” Elfan yang tengah minum susu kotak itu hampir menyemburkannya ke arah Ara.

“Heh! Anak Pak Jamal! Itu tugas untuk praktek hari ini, dan baru tadi pagi lo nyuruh tante Rosa beli telor bebek?! Kalo jadi Pak Jamal, udah gue coret nama lo dari KK,” ujar laki-laki ini. “IH! KOK LO JADI IKUTAN MARAH SIH?!” tanya ara dengan nada yang sedikit meninggi. Elfan mengelus dadanya mencoba bersabar menghadapi manusia sensian di depannya ini. Ia heran, mengapa bisa berteman 6 tahun dengan Ara.

Agar tidak memperkeruh suasana, Elfan memilih diam. Tangannya terulur menepuk pelan puncak kepala Ara beberapa kali. “Udah, gue gak marah kok. Habisin itu rotinya. Pasti lo belum sarapankan? Abis berantem sama tante Rosa.” Bibir Elfan tertarik membentuk senyum simpul namun sangat tulus. Senyum manis yang jarang laki-laki itu  tampilkan selalu menjadi asupan vitamin tambahan bagi Ara.

            Mata coklat Ara menerawang jauh dalam manik mata elang milik Elfan, mereka saling diam beberapa saat. Ara memutus kontak mata itu saat seorang laki-laki berjalan melintasi kelas mereka. Elfan dapat melihat perubahan dari tingkah Ara, yang tiba-tiba menata rambutnya dengan senyum sumringah dan tatapan mata yang masih lekat ke arah pintu.

“Lo lihat apaan?” tanya Elfan. “Arga! Arga barusan lewat tadi! Ya ampun ganteng banget. Gue suka sama dia, tapi lo diem aja. Jangan ember!” Elfan terdiam sejenak, perasaannya bercampur aduk. Ia sudah kalah start kah? Tidak ada kalimat lain yang keluar selain, “Cie… cie… ternyata lo suka manusia juga ya.”

“Ya iyalah woi! Lo kira gue apaan? Dugong?” Tidak ada percakapan lain setelahnya. Kedua sahabat itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

            Kelas semakin ramai dengan murid-murid yang mulai berdatangan. Ketukan di pintu berhasil mengalihkan seluruh atensi ke sosok yang tengah berdiri di ambang pintu.

“Permisi, Elfan bisa ikut gue bentar?” Elfan yang merasa dipanggil segera mendekati Aletha yang setia berdiri di sana. Ara memandangi punggung Elfan yang mulai menjauh. Beribu pertanyaan yang entah berasal dari mana memenuhi kepalanya. “Aletha ada urusan apa sama El, perasaan mereka gak dekat deh.” Ara menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pertanyaan tak terjawab itu.

\(^^)/

            Suasana belajar mengajar di kelas berjalan dengan tenang. Seluruh murid sibuk dengan buku dan pena mereka, sementara seorang guru terlihat berkutat dengan laptop  di depannya. Ara berusaha untuk tidak kepoan, tapi mulutnya terlalu gatal untuk tidak bertanya pada Elfan perihal panggilan Aletha tadi.

“Psst… El!” panggil Ara pelan. Elfan berdehem kecil menanggapi panggilan itu. “Abis diapain lo sama Aletha?” Pertanyaan dari Ara berhasil memecah konsentrasi laki-laki ini.

“Pertanyaan lo ambigu, tapi kalo gak dijawab rambut kece gue lo jambak.”

“Makanya dijawab Samsul,” ketus gadis ini. “Gak ada, gue gak diapa-apain sama Aletha. Dia cuma nanya tentang projek ekskul mading, kan gue pernah ikutan lomba.”

            Ara mengangguk lega, kenapa ia merasa lega? Entahlah, rasanya beban pikirannya lepas begitu saja mendengar jawaban Elfan. Elfan terlihat kembali menulis, sementara Ara masih memandangi wajah Elfan dari samping. Ia harus mendiskusikan rencananya dengan Elfan tapi ia malu. “Kalo ada yang mau lo omongin kasih tau, jangan mandangi gue. Gue tau kok, gue ganteng,” cetus laki-laki ini dengan percaya dirinya. “Dih, pede banget lo! Tapi emang iya sih, gue mau ngomongin sesuatu sama lo.” Lagi, Elfan memusatkan perhatiannya pada Ara.

“Jadi gini, sebenarnya gue… suka sama Arga. Rencananya gue mau nembak dia nanti pas ekskul pramuka. Menurut lo gimana? Murahan gak sih kalo cewek nembak duluan?”

Elfan bisa merasakan ada yang retak di dalam hatinya, jantungnya mencelos. Elfan merasa semua tenaganya hilang. “Woi! Menurut lo gimana El? Malah bengong.” Ara menepuk pelan pundak laki-laki di depannya. “Ha? Oh, itu, ng— nggak apa kok. Cewek juga punya hak untuk nyatain perasaan mereka. Btw, semangat ya!” Elfan tersenyum getir, berbeda dengan Ara yang melebarkan senyum senangnya. “Makasi ya, emang paling benar itu diskusi sama lo.” Setelah berkata demikian, Ara mulai menulis di buku catatannya. Elfan sudah kehilangan semangat menulisnya. Perkataan Aletha beberapa jam yang lalu menggema di telinganya.

            “Gue suka sama lo El, tapi gue tau kok. Lo suka sama Ara kan? Gue ngomong gini ke lo karena gue sesak nahan ini sendirian. Yang namanya perasaan itu emang gak enak kalau dipendam. Lagian hubungan kalo diulur terus ada kemungkinan bisa putus, sama seperti layangan. Jika sudah putus jangan menangis layangan itu terbang tinggi. Salah sendiri ngulur benangnya kepanjangan.” Aletha menatap wajah Elfan dengan sendu, “Elfan, kalau lo beneran cinta sama Ara harus berani ungkapin. Kalau enggak, ya lo harus kuatkan diri melihat Ara mencintai orang lain.”

\(^^)/

            Lonceng pulang dan jam ekskul menggema diseluruh penjuru sekolah. Ara dan Elfan juga sudah siap-siap untuk ke ruang ekskul mereka masing-masing. Elfan memandangi Ara yang tengah merapikan rambutnya. “Ra…” panggil Elfan. “Ya? Kenapa?” –“harus berani ungkapin. Kalau enggak, ya lo harus kuatkan diri melihat Ara mencintai orang lain.”—

“Lo beneran mau nembak Arga?” tanya laki-laki ini. “Iya, gue gugup banget ini.” Tanpa aba-aba, tangan Elfan meraih kedua tangan Ara. – “harus berani ungkapin.”— “Gue mau ngomong, sebenarnya gue…” Ara masih memandangi Elfan melanjutkan ucapannya. “Gue… Cuma mau bilang semangat! Gue yakin Arga pasti bakal nerima lo.” Sial! Elfan tidak kuat, nafasnya tercekat begitu saja. “Makasi banyak El. Lo emang teman terbaik yang gue punya. Kalo gitu gue pergi dulu ya?” Ara melepas genggaman Elfan dan berjalan menjauh. Bersamaan dengan air mata Elfan yang luruh begitu saja. Buku-buku tangan Elfan memutih akibat genggamannya yang terlalu kuat menahan diri untuk tidak berteriak bahwa dia sangat mencitai Ara dan ingin gadis itu berbalik padanya. “Ara, gue gak hanya teman lo. Gue suka sama lo. Dan gue terlalu takut buat ungkapin itu.” Tak ada yang bisa diubah, Elfan berjalan pelan meninggalkan ruangan yang menjadi saksi kerapuhan hatinya.  – THE END –


Profil Singkat


Karmila. Lahir di Kota Dumai pada 04 Januari 2003. Seorang mahasiswa aktif di Universitas Riau, Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


Posting Komentar

0 Komentar