Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

 Believe

Nur Afni Widari


Aku memulai semuanya dari sini. Ini bukanlah pertama kalinya aku mengalami kejadian ini. Aku harap inilah yang terakhir. Dengan suara yang sama saat mataku mulai terbuka. Tapi, ada yang berbeda kali ini. Ah, ya aku baru sadar. Ini bukanlah tempat yang sama seperti biasa yang ku alami. Huft, akhirnya ada yang berbeda kali ini, aku sudah lelah mengalami kejadian yang sama terus menerus.

Desiran ombak laut menyentuh kaki telanjangku, suara angin yang begitu merdu, angin yang berhembus kencang membuat rambutku menutupi mataku. Angin kencang menyelusup pepohonan serta burung-burung yang berterbangan mengarungi langit dengan suara kicauan dan kepakkan sayap mereka, membangunkan ku yang tengah mencoba membuka mata dari silau matahari yang hendak naik.

“Yaa!”

Ah, aku kenal dengan suara ini. Entah kapan dia akan berbicara dengan lembut kepadaku.Saat pertama aku mengalami kejadian ini, dia adalah orang pertama yang aku lihat saat aku terbangun dari tempat yang tidak pernah aku ketahui. Aku merasa heran, entah kenapa hanya aku dan dia yang ada disini dan ya satu lagi, dia sangat mirip sekali waktu aku masih berumur 18 tahun. Sampai sekarang pun aku bertemu beberapa kali dengannya, aku tidak pernah tau siapa namanya. Aku sudah bertanya beberapa kali setiap kami bertemu dan dia hanya membalasnya dengan muka datarnya itu. Membuat rasa kesalku padanya menjadi berkali-kali lipat. Satu, dua, tiga-empat?

“Ah, kepalaku”, ringisku tak kuasa. “Aishh, berhentilah memukul kepalaku!” ujarku.

Dan dia terus melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Akhirnya, aku mengikuti langkahnya dengan perasaan kesal. Apa yang terjadi? Aku sedang berada dimana? Kenapa aku ada di sini?

Selama berjalan dengannya, pertanyaan itu selalu berputar dikepalaku.

“Kau akan segera tau, jadi hindari pikiran-pikiran aneh itu!”

“Aku padahal ingin menikmati pemandangan, tapi kau malah berpikir yang aneh begitu”

“A-apa, aku berpikiran aneh?”, ujarku. “Apa kau membaca pikiranku?”

Dan ya, dia lagi-lagi membalas pertanyaanku dengan muka datarnya itu.

“Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita, aku yakin kau pasti sudah bosan saat terbangun melihat wajar datarku ini kan?”

Ya ampun, dia benar-benar seorang cenayang.

“Beritau aku dimana sekarang, kenapa tempat ini berbeda dari biasanya?”, tanyaku padanya.

“Kan sudah ku katakan ini adalah pertemuan terakhir kita, jadi aku ingin membuat kesan yang baik padamu karena selama beberapa terakhir ini aku selalu bersikap kasar padamu, tapi aku melakukannya untuk tujuan yang baik.”

“Apa yang baiknya, sedangkan aku tidak merasakan kebaikan itu”, jengkel ku.

“Penyesalan diwajahmu itu mengalir seperti air laut didepan sana. Singkirkan pikiran-pikiran aneh mu itu dan dengarkan apa yang kau sesali.”

Setelah bercerita dengan diriku dikehidupan yang lalu, sepertinya aku mengetahui tempat ini. Walaupun aku sudah berusaha melupakannya, aku tetap tidak bisa menghapus kenangan itu. Semua yang telah aku alami, disetiap detik yang kujalani begitu terasa menyakitkan. Aku berpikir kehidupanku sangat menyedihkan bukan?

“Namun, perlu kau ketahui bahwa pikiranku berbeda dengan mu walaupun wajah kita mirip. Aku tidak berpikir hidupku menderita seperti yang kau bayangkan. Aku sudah berusaha keras dalam hidupku dan juga orang tersayang yang berada di sekelilingku. Namun ada satu hal yang membuatku menyesal.”

“Tapi, dengarkan ini baik-baik, kau tidak hidup kembali dengan takdir hidup yang menyedihkan. Jadi kau harus memanfaatkan kesempatan yang diberikan pencipta. Genggamlah kebahagiaan yang sudah ada didepan matamu dengan sekuat tenaga, jangan membuat dirimu menyesal kembali. Jangan menyimpan penderitaan mu seperti diriku yaitu dirimu dimasa lalu dan menjadi sia-sia!”

Mendengarkan hal yang ia katakan membuat bola mataku membulat, untung saja tidak sampai keluar.

“Aku yakin kau pasti sudah paham maksudku. Sebenarnya aku merasa bersalah kepadamu. Kau pasti merasa kaget dan ketakutan saat hal itu terjadi. Semoga kau bisa melupakan kejadian tersebut jangan sampai menghantui kehidupanmu terus menerus dan kembalilah kepada orang yang mencintaimu dengan hidup bahagia dengannya.”

Entah kenapa perasaan kesalku langsung hilang begitu saja mendengar perkataanya. Aku merasakan tangan yang lembut menyentuh tanganku dan mengucapkan kata-kata penenang bagiku. Hal tersebut membuatku benar-benar tertegun.

“Bagaimana kau hidup selama ini? Apakah aku benar-benar bisa melupakan semua kejadian itu?, tanyaku padanya.

“Ya ampun, kau ini benar-benar tidak mendengarkan perkataanku, kau malah menanyakan pertanyaan aneh. Bukankah seharusnya itu yang kita berdua lakukan, melupakan apa yang sudah terjadi dimasa lalu dan pergi dari hidup kita?”

“Hey, jika kau terus merasa sendiri dan terus berada pada zona mu itu, apakah hidup yang akan kau jalani dimasa depan akan baik, apakah kau pikir semua bisa baik-baik saja?”

Ya ampun, aku benar-benar lelah jika berdebat dengannya ini tidak ada habisnya. Tentu ini tetap tidak bisa. Ah, dia ini.

“Apakah kau pikir semua itu mudah melupakan apa yang sudah terjadi dimasa lalu, aku yang merasakan sakit, kesedihan dan kelelahan yang juga kau alamikan? Bagaimana kau bisa berpura baik-baik saja!”, protesku padanya.

“Lalu apa yang akan kau lakukan jika terus mengingat rasa sakit itu, katakanlah!”

Aku terdiam mendengar hal tersebut. Dia ada benarnya, hidup ini memang tidak berjalan lancar sejak awal. Aku bisa hidup bahagia tanpa rasa sakit. Hal apa lagi yang aku harapkan, aku tak bisa hidup dengan layak dan memang salahku dan aku membenci perasaan ini. Serta emosi yang selalu ku redam. Semua ini karena ingatan atas penderitaan yang ku alami. Jika begini terus, aku akan merasa tinggal sendiri selamanya dan membuat penderitaan bagi orang di sekelilingku.

“Kau benar”

Aku punya keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku dan menyayangiku dengan tulus. Rasa kehilangan, kesedihan dan kenangan pahit terasa cepat menghilang dan merasa semua hal itu tidak pernah terjadi dalam hidupku. Sehingga membuatku mencintai ia hingga sisi terburuknya. Inilah diriku yang nyata.

“Ya kau memang seorang yang aneh karena mengingat kehidupan sebelumnya”

Aku mendengus kesal mendengar ucapannya. “Jadi kamu jangan pergi dariku, oke?”

Dia menggeleng “aku tidak punya banyak waktu”

Dia menggeleng.

Pamitan.

Perlakuan itu terasa familiar karena baru saja terjadi? Haruskah aku menyesal? Tapi karena apa?

?!

Apa kau sudah gila, dia pergi ke depan. Iya melangkah pergi kearah hamparan bebas laut yang mengerikan. Jangan takut, oke?

Jangan takut, jika kau mengarungi lautan maka laut juga akan menjadi temanmu. Dia berkata begitu padaku. Namun tetap saja…

Jangan sakit.

Apa itu pamitan? Atau permintaan?

……

Aku tersedak air asin hingga tenggorokanku perih. Laut itu memaksa airnya masuk lewat mulut dan hidungku, kakiku terluka karena menginjak batu karang atau hewan laut lainnya.

Seakan-akan menolak ajakan pertemananku seperti yang dia katakan. Jika laut menerima pertemananku, bisakah dia menolongku lagi kali ini? Sekali lagi saja.

…..

Rasanya baru sekejap aku memejamkan mata setelah kejadian itu terulang kembali. Tapi aku sungguh berterima kasih. Astaga air mataku mengalir terus tanpa alasan. Kedua pasangan suami istri kini berbalik menatap seorang anak gadis yang diam di atas ranjang pesakitan. Aku kemudian menoleh, ya anak gadis itu adalah aku. Aku meraih tubuh kedua orang tuaku ke dalam pelukan hangat. Terisak menghapus segala jarak yang pernah menghalangiku. Aku terpisah karena keegoisan dan penyesalan yang ku buat sendiri di dunia yang aku ciptakan. Tapi dengan hal itu, aku tumbuh untuk mempercayai apa yang terjadi. Pernyesalan akan hilang dengan kepercayaan yang kembali pada ikatan dan pulang bersama.

Selama ini aku selalu mencoba menghindar adalah pilihan terbaik, sehingga aku sering lupa bahwa berdamai dengan rasa sakit adalah obat mujarab untuk segala macam penyesalan yang aku alami selama ini. Aku benar kan? Memaafkan diri sendiri, menerima rasa sakit dan mencintai diri sendiri, hal yang mudah tapi sangat sulit untuk dilakukan.

Believe.

==END==


Profil Singkat


Nur Afni Widari. Lahir di Pekanbaru, 16 Juni 2003. Asal Daerah Pekanbaru, Rumbai. Alamat di Jalan Umban Sari Atas Perumahan Aliyah Syifa Amal IV Nomor 5 Kelurahan Umban Sari, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Sastra dan Indonesia Universitas Riau, kelas 2021A. Yakinlah akan satu hal, bahwa pelangi sesudah badai adalah kebenaran. Nomor Hp : 0852-6443-7295



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba