Adinda dan Ruang oleh Aprini Harsalina
Adinda dan Ruang
oleh Aprini Harsalina
Malam telah berganti pagi, matahari siap memancarkan cahaya pagi yang indah dan menghangatkan. Di bawah lampu remang-remang yang menambah kefokusan seseorang dan juga kesan aesthetic pada bahan-bahan dengan warna lembut yang tergeletak di sekitarnya. Adinda terdiam sejenak, menerka dan memahami kembali pola-pola kain yang tengah digarisnya. Tangannya jeli kesana-kemari memutar-mutar kain hingga menemukan posisi yang pas.
Sudah terhitung sepuluh jam ia bergelut dengan segala perlengkapan itu. Di depannya ada sepasang manequin perempuan dan laki-laki yang nantinya akan ia jadikan model dari pakaian yang sedang ia rancang. Adinda menyukainya, setiap sudut ruang, setiap napas yang ia hembuskan di ruang ini membuat Adinda merasa hidup. Baginya, ruang ini adalah segalanya. Terlebih menjelanag terselenggaranya suatu lomba pakaian adat modern yang sudah sejak lama ia incar.
Tangannya boleh sibuk memotong-motong pola, tapi hati dan kepalanya jauh lebih sibuk dari gerakannya itu. Di kepalanya sedang tergambar berbagai benang yang tersimpul jadi satu, yang salah satunya saja sulit ia pecahkan dengan baik. Matanya sesekali terpejam, merasakan begitu peliknya pemikiran sendiri daripada tangan sendiri.
“Ma, duniaku berat sekali ya? Apa kali ini gagal juga ya, ma?” tanyanya saat mata hitam pekatnya itu terpandang pada sebuah lukisan seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum lembut.
Lukisan itu ialah lukisannya, dan yang terlukis ialah sang ibunda yang telah lama pergi meninggalkannya sendiri tanpa tiang untuk bersandar. Belasan tahun dengan tertatih-tatih ia bangun segalanya sendiri, kehilangan ayah sewaktu kecil kemudian kehilangan ibu ketika masa remaja adalah hal yang akan selalu menyakitkan untuk ia kenang. Semua itu memang sudah jauh dibelakang, tapi semua itu pula akan tetap abadi dalam setiap waktu dalam hidupnya.
Drrt drt drrt
Telepon genggam dengan case berwarna biru muda itu berdering memperlihatkan nama “Ayin” pada layarnya. Dua kali berdering akhirnya dengan gerakan malas Adin menjawab dering itu.
“Halo,” sapa Adinda pelan.
“Hai Adin, gimanaa? Sudah selesai rancangannya? Besok pagi kita minum kopi dulu yukk biar nyengerin pikiran kamu juga, jangan kelamaan dalam ruang sendiri ya,” sahut laki laki bernama Ayin itu manis.
“Besok ya? Aku ngejar deadlinenya nih, besok malem. Menurut kamu bisa nggak ya?” tanya Adinda seolah ragu.
“Hei, kemampuan kamu itu baik sekali. Kamu bisa kok ikut dan mengirimkan rancangan yang indah untuk perlombaan kali ini. Semoga tidak salah lagi deh mata curinya,” yakin Ayin.
“Kamu bisa kok, gapapa deh gausah besok ketemunya, nanti aja kalau kamu dah kelar semua. Aku tungguin kok.” Ayin benar-benar adalah sosok yang dibutuhkan Adinda kala ragu, bahkan dalam setiap langkahnya ada Ayin di sana, Ayin dengan segala penenangannya.
“Makasih ya, aku lanjut dulu ya, Abang,” pamit Adinda menutup telepon penuh penguatan itu.
Setelah semua potongan pola selesai, ia mulai menjahit satu persatu, menggabungkannya penuh dengan kehati-hatian. Sesekali ia pandangi jam yang sudah menuju dini hari itu, memastikan dirinya tidak melewati batas deadline pengumpulan. Perpaduan warna biru dan kuning yang digunakan dalam rancangan pakaian melayu modern itu membuat hidup ruangan serba abu milik Adinda.
Akhirnya, sore itu sepasang pakaian melayu dengan aksen melayu modern sudah terpasang dengan baik di mannequin milik Adinda lengkap dengan aksesoris yang melekat di beberapa bagian. Sang perancang masih sibuk menambahkan beberapa hal yang kurang di pakaian itu, ia menambahkan beberapa payet disekitar pergelangan tangan baju wanitanya. Memperbaiki letak tanjak dan songket agar semakin terlihat rapi ketika dipandang merupakan bagian dari bantuan yang bisa Ayin berikan pada wanita lembut itu.
Malam ini, sepasang mannequin itu akan mereka bawa ke museum Sang Nila Utama yang dua hari kedepan akan menjadi tempat penilaian dari beragam rancangan baju melayu modern. Adinda sempat pesimis setelah melihat cantiknya perpaduan warna dari pakaian pakaian melayu lain, aksen modern yang tampak jelas. Jika dibandingkan dengan miliknya yang masih mementingkan nilai-nilai pada pakaian itu sendiri, sepertinya ia akan kalah. Entah sudah berapa kali ia berkata akan kalah kepada dirinya sendiri sejak pengantaran itu.
Ayin sendiri jelas memiliki persepsi berbeda, baginya pakaian melayu modern yang dibawa oleh Adinda malam ini sungguh memukaukan mata. Perpaduan warna yang pas,
semuanya susunan dan aspek-aspek kemelayuan di pakaian tersebut juga sangat pas. Kesopanan pun sangat tergambar ketika pakaian itu tergambarkan, melayu identik dengan hal tersebut. Kurung teluk belanga yang dipadu dengan tile memanjang membuat kesan jenjang
pada pemakainya, dan bawahannya berupa songket dengan motif khas Riau. Esoknya selepas mengantarkan dan menyiapkan semua perlengkapan pameran itu, Adinda memilih untuk menyibukkan diri di kampus. Hatinya sedang teramat kacau, pikirannya buyar sekali, ia dan Ayin bukanlah sepasang kekasih. Baginya mungkin begitu, tapi bagi Ayin mereka hanyalah sebatas mantan yang tidak tahu caranya jadi mantan. Mata Adinda akan selalu berbinar ketika notif ataupun hal-hal kecil yang memancing percakapan antara mereka hadir mengisi kesehariannya.
Akhir-akhir ini percakapan mereka hanya sekedar cerita di ujung hari, itu pun jika salah satunya ingat. Adinda sungguh tak masalah dengan hal tersebut, hanya saja kadang ia rindu dengan semua kebahagiaan diawal perkenalan dan fase-fase kasmaran itu. Meskipun ia tahu, semuanya takkan pernah lagi sama seperti dulu. Ia sadar diri seberapa banyak ia menyakiti Ayin, tapi lihatlah Ayin tetap meladeni semua tingkah Adinda yang sebenarnya sangat jahat itu.
Mata hitam milik Adinda kosong, sama seperti hatinya yang tak tahu dimana. Malam itu usai mengantar semua hal-hal yang berkaitan dengan pameran bersama Ayin. Mereka memang sempat menikmati secangkir kopi susu di teras rumah Adinda, tapi tak lama. Keduanya sempat mengobrol dan saling menyemangati, tetapi semuanya seolah terbawa ketika raga lelaki yang sampai kini ia jadikan sandaran itu pamit pulang.
Malam kembali berganti menjadi pagi. Adinda sudah siap dengan semua penjelasan menariknya tentang apa yang ia peragakan di pameran hari ini. Kurung teluk belanga dengan warna biru muda menghiasi tubuh mungilnya, pashmina silk biru tua mempercantik tampilannya. Sepasang sepatu putih dengan hak 3cm terpasang cantik di kaki kecil milik Adinda. Dengan langkah yang rapi, ia mengayunkan kakinya menuju museum Sang Nila Utama.
Ruangan itu sudah ramai sekali, manusia-manusia penyuka seni dan fashion sudah berkumpul. Mereka semua sibuk mengamati baju-baju kurung yang tercipta dari tangan-tangan anak muda masa kini. Mampukah Adinda meraih penghargaan itu? Adinda sungguh meragu akan semua itu. Ia menggenggam tangannya sendiri, menguatkan dirinya. Sebentar lagi namanya, dan ia harus menjelaskan semuanya dengan baik.
Empat puluh lima menit yang berharga, Adinda berhasil menjelaskan dengan baik termasuk makna terhadap motif-motif yang digunakan. Ia sudah duduk kembali dengan tenang di meja peserta. Bibir mungilnya terus merapal doa penuh pengharapan, berharap kali ini ia berhasil membuktikan pada semua pihak yang telah lama menganggap ia mati. Hidupnya telah lama hancur, semuanya tak pernah sesuai dengan ekspetasinya, termasuk pameran kali ini.
Sore itu, semua akan langsung diumumkan. Sehabis ashar, meminta banyak pengharapan baik pada-Nya Adinda kembali berusaha duduk dengan tenang di ruangan itu. Kakinya bergerak-gerak gusar, tangannya mendingin, raut wajahnya tergambar sekali penuh lelah dan pasrah. Mata dan telinga fokus kedepan, melihat pewara membacakan pengumuman.
“Juara 1 diraih oleh Adinda Maysika!” seru sepasang pewara tersebut lantang. Adinda terdiam lama, pasalnya saat juara 3 dan 2 dibacakan ia sungguh sudah menyerah dan pasrah bahwa ia tidak akan menjadi juara pada pameran desain baju melayu kali ini. Lihatlah, sekarang Tuhan memberikan dan mengabulkan doa-Nya. Juara 1 ditambah dengan juara kategori terfavorit, sungguh hatinya gembira sekali. Matanya berkaca, mulutnya mengucap syukur tanpa henti.
Sejatinya, setiap hal sulit akan terlewati, ada dan tiada yang menemani. Semua hal dalam hidup harus dijalani dengan sepenuh hati dan berpasrah tentang akhir dari semuanya pada-Nya. Itulah prinsip Adinda semenjak ia kehilangan semuanya dan hanya bisa berpegangan pada doa-doa yang selalu ia harapkan menembus langit. Hari ini, semua doa itu terlangitkan dengan baik. Yakinlah semua doa baik akan terkabulkan, asal sesuai dengan usaha dan ketabahan dalam perjalanannya.
Ialah Adinda perempuan kuat yang hatinya pun sekuat baja, tekadnya mengembangkan budaya dengan segala bentuk agar budaya melayu tetap eksis di dunia modern. Ia mencintai budayanya, ruangnya, dan semua akan menjadi baik kala doa-doa terbayar meskipun dalam kesendirian.
Komentar
Posting Komentar