Lelaki yang Sempurna Meneteskan Tinta Oleh Annisa Luthfia

Lelaki yang Sempurna Meneteskan Tinta

Oleh Annisa Luthfia

Ibu bercerita padaku, bahwa pada suatu malam dia mendengar acara Dari Jauh  Kukirim Doa yang selalu disingkat DJKD di Radio Suara 33 yang berstasiun di  Kuala Lumpur, Malaysia. Seseorang yang bernama Sulaiman Ismail mengirim  doa dalam puisinya untuk Nurlela binti Hasan dan Sofiah binti Sulaiman, yang  kedua-duanya telah meninggal dunia.  

Hari-hari selanjutnya Ibu selalu menjadi suka mendengarkan Radio Suara 33 itu.  Kadang-kadang Ibu mengajak aku untuk mendengar bersama acara-acara tertentu  di radio tersebut. Suatu malam, ketika membuka Radio Suara 33, kami mendengar  puisi yang dikarang oleh orang yang bernama Sulaiman Ismail dibacakan oleh  penyiar radio Dahlan Dahari dalam acara DJKD. Para pendengar radio banyak juga  yang menelepon dan mengirim surat agar Sulaiman Ismail didatangkan lagi untuk  membaca puisi-puisinya. Sungguh elok tutur kata yang terangkai dalam puisi puisinya. Aku membayangkan dialah lelaki yang sempurna dalam meneteskan tinta  menulis puisi. Memang pantas kalau dia banyak peminat.  

Aku bertanya dengan penuh penasaran, benarkah Sulaiman Ismail itu adalah  ayahku?. Ibu meneteskan air mata. Dia menjawab. “Berdasarkan surat yang ibu  terima dari Papa Suardi, ayahmu telah mati tertembak polisi Malaysia dalam suatu  operasi penangkapan pengedar dadah”. Aku terdiam. Aku memeluk Ibu. Dalam  pelukannya aku menangis. Jawaban Ibu telah memupus harapanku.  

Dua tahun setelah berita kematian ayah, Ibu menikah dengan Papa Suardi. Walau  pada mulanya Ibu menolak ketika dilamar olehnya, atas desakan Kakek, Ibu  menikah juga. Ketika aku baru masuk sekolah kelas 1 SD, aku melihat ibu menangis  di malam hari. Ibu mengatakan, Papa Suardi menikah lagi. Ibu kecewa, akhirnya  menggugat cerai Papa Suardi di Pengadilan Agama Selatpanjang, maka,  berpisahlah hidup kami dengannya. Pak Suardi yang kini menjadi pejabat daerah, lelaki yang dulu aku pernah memanggilnya papa itu masih juga kerjanya kawin  cerai. Sungguh menyebalkan melihat lelaki ceking, perayu wanita yang selalu  dipanggil dengan nama Pencacai Tua. 

Ibu yang mulai pagi hari telah berjualan di kantin sekolah yang tak jauh dari rumah  kami, selalu saja ditemani oleh radio kesayangannya. Ibu mendengarkan apa saja  acara yang disajikan radio Suara 33 tersebut. Malam Senin dan Kamis adalah  malam yang ditunggu oleh Ibu. Pada malam tersebut ada acara DJKD. Malam  Kamis adalah malam siaran ulangnya. Acara yang kerap kali diselingi dengan puisi  yang dikirim para pendengar untuk kekasih dan sanak keluarga itu, juga selalu  diikuti dengan lagu-lagu yang seirama dengan kehidupan sang pengirimnya. Acara  yang dipandu Dahlan Dahari ini sangat sempurna bagi Ibuku. Karena itu, di zaman  yang sibuk dengan media sosial, teknologi informatika, telepon seluler, Ibu tak  tertarik dengan semua itu. Ibu tetap setia dengan siaran Radio Suara 33 acara DJKD.  

Pada suatu malam, di channel radio Suara 33 ibu mengajak aku yang telah  berbaring di tempat tidur untuk mendengarkan ungkapan hati tamu undangan di  acara DJKD. “Cepat Piah, cepat, ada bintang tamu istimewa di radio Suara 33”,  kata Ibu sambil menarik-narik tanganku. Aku bangun, mengikuti gerak langkah  kaki Ibu menuju kursi makan di dapur untuk mendengarkan radio. Aku mendengar  suara lantang dari penyiar radio itu, “Tuan-tuan dan Puan-puan yang mendengarkan  siaran ini di manapun berada, sebagaimana yang telah disampaikan di salam  pembuka tadi, bahwa kita kedatangan seorang tamu istimewa, yaitu Datuk  Sulaiman Ismail. Beliau adalah pujangga, seniman dan budayawan negara.”  

Di awal acara, penyiar radio meminta Datuk Sulaiman Ismail membaca puisi. Aku  dan ibu pun menyimak kata demi kata yang dilontarkan dari untaian puisinya. Puisi  yang punya makna mendalam, penuh keindahan dan dibacakan pula dengan suara  yang merdu. Aku memandang wajah ibu. Aku melihatnya menghela lengan baju  menghapus air mata bening yang jatuh di pipi. Aku heran, kenapa Ibu terlalu  menghayati puisi seseorang yang bergelar Datuk dari negara tetangga itu. Tapi aku takut untuk bertanya. Aku sekedar menebak, mungkin karena namanya mirip  dengan nama ayahku, mantan suaminya yang telah tiada. Setelah mendengar Datuk  Sulaiman Ismail membaca puisi, satu senandung lagu lawas Malaysia yang  dipopulerkan oleh Nash yang berjudul Pada Surga di Wajahmu didengarkan.  Selanjutnya, iklan yang silih berganti dengan iklan lainnya. Setelah jeda iklan  berakhir, acara masih dilanjutkan. Terjadi tanya jawab, antara penyiar radio dan  Datuk Sulaiman Ismail. Decak kagum mulai muncul, manakala Datuk Sulaiman  Ismail menyuguhkan diksi-diksi yang tepat pada setiap ungkapan kalimat yang  keluar secara langsung dari mulutnya. Begitu juga Ibu, rasanya tidak cukup puas  dia mendengar suara radio yang dibunyikan dalam volume maksimal. Telinganya  pula yang didekatkan ke radio. 

Di pertengahan acara, Datuk Sulaiman Ismail diminta untuk membacakan puisinya  lagi. “Puisi yang saya baca ini, teristimewa buat dua insan yang telah tiada, yang  telah mendahului saya di awal tahun 2000. Kehilangan mereka inilah yang  membuat saya tak berniat untuk kembali ke tanah kelahiran. Terimalah puisi saya  ini, sebagai ungkapan jiwa yang lebih dua puluh tahun saya pendam di dasar hati”,  kata Datuk Sulaiman Ismail. Puisi yang berjudul Selendang Penggendong Sofiah  itu dibacanya. Puisi itu mengisahkan tentang sehelai selendang istri yang  dibawanya merantau untuk menghapus segala rasa rindu. Selendang itu juga, selalu  dibuatkan kain penggendong si anak yang masih kecil. Kini selendang itu menjadi  harta termahal yang dimilikinya.  

Waktu sudah hampir tengah malam. Sebenarnya aku tidak mengantuk. Tapi wanita  yang penuh pengertian itu mempersilakan aku untuk tidur. Aku hanya mengangguk,  lalu beranjak ke kamar. Ibu mematikan radio. Beberapa saat kemudian ibu masuk  pula ke kamar, lalu membaringkan tubuhnya di sampingku. Dari ventilasi jendela,  aku mendengar bunyi Radio Suara 33 dari rumah tetangga. Aku mengetahui, Bang  Brother tetangga sebelah rumah, memang suka mendengarkan Radio Suara 33. Barang -barang jualan ibu ke sekolah. Bang  Brother datang menuju Ibu. Tak pernah dia datang sepagi itu.  

“Kak Lela malam tadi dengar Radio Suara 33 tak? Tahu siapa bintang tamu malam  tadi?”, sapa Bang Brother sambil tersenyum.  

“Dengar, tapi tak sampai habis. Iklannya banyak betul Tahu, Datuk Sulaiman bin  apalah namanya tu, yang sama dengan nama ayah  

Sofiah ni”, jawab Ibu dengan logat Melayu Selatpanjang sambil mengingat sesuatu.  

“Iya Kak Lela. Dia itu memang Ayahnya Sofiah. Dia memang suami Kak Lela yang  dikabarkan mati dulu”, kata Bang Brother.  

“Mana engkau tahu?”, tanya Ibu dengan mata berbinar-binar.  

“Di akhir acara dia ada menyebutkan bahwa dia orang Selatpanjang dan...”, kata  Bang Brother.  

Hari semakin siang. Pada hari ini kepala sekolah dan guru-guru yang memenuhi kantin. Pak Misdar, menceritakan kepada kepala sekolah dan rekan sejawatnya  bahwa ayahku masih hidup di Malaysia, tadi malam tampil membaca puisi di Radio  Suara 33. Timbul kesal di hati aku dan Ibu, kenapa kami tak mendengar siaran  sampai habis tadi malam. Dari pembicaraan di kantin sekolah ini, dianjurkan ibu  dan aku untuk mendengarkan siaran ulang di malam Kamis nanti. Dari hari Senin  menjelang malam Kamis, yang hanya berjarak tiga hari, terasa tiga tahun aku dan  Ibu menantinya.  

Pada malam Kamis, satu persatu tetangga, guru-guru dan kepala sekolah datang ke  rumah kami. Mereka semua ingin mendengarkan siaran ulang DJKD. Tepat pukul  20.30 WIB, atau pukul 9.30 malam waktu Malaysia, acara DJKD pun mulai.  Walau hanya siaran ulang, namun suasana terasa hangat. Di penghujung acara  terdengarlah pertanyaan dari penyiar radio, “Datuk, kalau boleh saya bertanya, tiada pendamping hidup atau  belum menikah-nikah?”.  

Terdengarlah lelaki yang bergelar Datuk itu menjawab pertanyaan penyiar radio.  “Dengan hati yang berdebar, saya sampaikan segala kisah yang terpendam. Kiranya  kisah ini menjadi punca derita ataupun awal bahagia dari saya, tetap akan saya  ceritakan. Sebenarnya saya, hanyalah pendatang di sini, saya berasal dari  Selatpanjang, Riau, Indonesia. Manakala ada kesempatan saya merubah  kewarganegaraan, maka, saya pun berpindah menjadi warga negara Malaysia.  Kesedihan atas takdir yang menimpa hidup, adalah mana kala saya mendapat kabar  bahwa istri saya tercinta Nurlela binti Hasan dan anak saya yang berumur dua tahun  Sofiah binti Sulaiman mati karena kecelakaan di laut. Istri saya ke Malaysia pergi  melalui jalan gelap, menyeberang dari Pulau Rangsang secara ilegal. Kehilangan  mereka, adalah kehilangan segalanya bagi saya. Surat yang diberikan oleh kawan  saya Suardi masih saya simpan hingga saat ini. Artinya, bukan saya tak pernah  menikah. Cuma saya tidak menikah lagi. Bagi saya, kasih sayang tak dapat dibelah  bagi dan tiada gantinya”.  

Semua yang mendengar penuturan Datuk Sulaiman Ismail terpana. Ibu meneteskan  air mata. Begitu juga aku. Tapi kami semua tak dapat berbicara. Acara ditutup oleh  penyiar radio dengan lagu, Andaikan Kau Datang yang dinyanyikan oleh Koes  Plus. Setelah acara siaran ulang itu berakhir, orang-orang yang ada di rumah pun  berdiskusi. Memastikan apa sesungguhnya yang telah terjadi antara Ibu, Ayah dan  takdir yang menimpa kami.  

Beberapa saat kemudian, serombongan pemuda datang bersepeda motor sambil  membawa seseorang yang terikat tangannya. Aku melihat Pak Suardi dengan  pakaian yang kotor. Seorang pemuda menarik tali yang mengikat Pak Suardi.  Diduduknya Pak Suardi di tanah pada tengah halaman. Lalu seorang pemuda yang  berambut gondrong berkata sambil menunjuk kepala Pak Suardi, “Lelaki bedebah inilah punca segalanya”. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba