Oleh Fadilah Tulzahra
"Alid, ngapain diam di situ? Cepetan ke sini."
"Eh? I-iya sebentar...." kembali menggapai kesadaran, aku segera bergegas untuk berjalan menuruni beberapa anak tangga milik tempat penginapan— mengejar rekanku yang sedang berinteraksi dengan salah satu penduduk setempat.
Kami sedang berada di salah satu desa terpencil bernama Kanor Raga. Tempat di mana sawah dan gunung hijau membentang begitu luas mengelilingi desa. Indah sekali. Seolah membuatku berpikir bahwa semua manusia fana yang ada di muka bumi, harus menyaksikan pemandangan ini.
Penduduk setempat bilang namanya tercipta dari bahasa Sanskerta. Yakni Anor raga. Memiliki arti sopan santun, sikap bertutur baik dan perilaku positif lainnya. Aku tidak tahu mengenai alasan pasti apa yang menyebabkan desa ini bisa dinamai seperti itu. Belum ada jawabannya, dan aku masih bertanya-tanya.
Omong-omong, bukan tanpa alasan aku memilih untuk mendedikasikan menjadi seorang relawan. Ini semua karena kehidupan masyarakat urban monoton yang membuat kepalaku terasa begitu jenuh. Aku butuh angin segar. Kehidupanku di kota seperti kaset video rusak yang selalu menampilkan gambar itu-itu.
Lalu kemudian aku menemukan sebuah program relawan dari selebaran pengumuman website terverifikasi di internet. Tanpa ragu dan berpikir panjang lagi, aku langsung mengambil keputusan itu secara percaya diri. Izin orang tua sudah kudapati, pun mereka juga menyetujui jika aku memiliki kegiatan lain selama liburan semester kali ini.
Perkenalan anggota, pengenalan program, pembekalan, lalu keberangkatan. Semua sudah kujalani dengan hati yang lapang. Jadi setibanya eksistensi kami di
tempat ini, semua masyarakat langsung menyambut dengan penuh kehangatan. Aku senang. Terutama pada anak-anak kecil yang berlaku sangat sopan padaku.
Kumpulan anak-anak itu terlihat berbeda dari anak-anak yang kulihat di kota. Mereka lebih ramah, mudah tersenyum, bertutur kata yang baik dan sangat jarang berwajah masam. Layaknya nama arti nama desa mereka.
Manakala aku tadinya melihat seorang anak yang terjatuh dari sepeda, seluruh dari mereka langsung bergotong royong untuk membantu. Salah seorang darinya langsung bergegas meminta pertolongan orang dewasa dan sisanya menenangkan sang teman yang tengah terluka.
Sungguh pemandangan berharga. Berbeda dengan tempat tinggalku yang mana anak-anak di sana lebih mementingkan diri sendiri. Kontras kehidupan.
Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki rekan relawanku pergi. Di dampingi salah seorang pria paruh baya yang merupakan penduduk asli Desa Kanor Raga. Beliau banyak bercerita, namun sejatinya aku tidak terlalu mendengarkannya. Aku lebih berfokus pada tanda tanya yang ada di dalam kepalaku.
Pertanyaan mengenai, hal paling berpengaruh apa yang membuat sikap anak-anak Desa Kanor Raga berbeda dari tempat lainnya?
•••
Seharian ini aku dan rekan relawanku melakukan perkenalan diri ke penduduk desa. Seperti yang diharapkan, mereka menyambut kami dengan baik. Penuh suka cita dan kehangatan tiada tara sebab mereka tahu bahwa kedatangan kami adalah untuk membawa secercah kehidupan yang baik di desa ini.
Hingga malam pun. Suara jangkrik bersahut-sahutan dan lingkup ketenangan menghampiri fisik yang cukup lelah. Aku berniat melakukan rutinitas perawatan wajah pada saat malam hari, namun hal tersebut tidak jadi dilakukan
sebab salah satu rekanku yang bernama Lia, tiba-tiba saja datang menghampiri dengan ekspresi antusias terpatri di wajahnya.
Lia bilang, "Lid, ayo kita keluar. Kita di ajak sama Pak Kepala Desa buat lihat pertunjukan dongeng."
Sontak keningku berkerut, "dongeng?"
Lia mengangguk. Dia kemudian menarik tanganku tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Baiklah, aku tahu ini terdengar menyenangkan. Tapi, Dongeng? Pertunjukkan? Apa hal itu semacam tontonan pelestarian budaya seperti pertunjukan lainnya?
Aku dibuat bingung dengan segala bentuk pertanyaan yang berada di dalam kepalaku. Pertama, karena rasa keingintahuan mengenai penyebab anak-anak desa yang sangat sopan santun. Lalu kedua, karena pertunjukkan dongeng secara langsung yang sama sekali belum pernah kulihat sebelum-sebelumnya.
Cukup memusingkan. Tapi ya sudahlah, lebih baikku ikuti saja. Melangkahkan kaki menyusul rekan-rekan relawan yang lain. Membawaku pada sebuah tempat yang sangat terang dengan begitu banyak anak-anak duduk bersila rapi di atas terpal.
"Itu Pak Wiryo. Salah satu tokoh penting Desa Kanor Raga. Beliau yang selama ini selalu membuat pertunjukkan dongeng untuk anak-anak desa." Pak Kepala Desa menjelaskan secara singkat kepada kami. Lalu kemudian dia menambahkan lagi, "banyak anak-anak di desa kami yang belum pandai membaca, apalagi mendengarkan dongeng-dongeng rakyat. Maka dari itu, sejak dulu Desa Kanor Raga memiliki tradisi dan budaya untuk mempertontonkan pertunjukkan dongeng walau seminggu sekali. Jadi walau pun mereka buta huruf, setidaknya anak-anak bisa mendapatkan nilai amanat dari cerita dongeng yang di sampaikan Pak Wiryo."
Amanat? Amanat apa?
Aku terlalu bingung untuk memikirkan hal itu. Tetapi setelah mendengarkan perkataan Pak Kepala Desa yang begitu panjang, aku sontak menaruh penuh semua perhatianku pada sosok kakek tua yang berada paling depan barisan duduk bersila anak-anak.
Dia kakek tua yang mengenakan baju kaus putih dan sarung sederhana. Dengan sebuah peci sebagai hiasan di kepalanya.
Awalnya tidak ada yang aneh. Di sana Pak Wiryo bercerita layaknya seorang pendongeng profesional yang sering muncul dilayar kaca. Anak-anak menyaksikannya dengan penasaran. Penuh kekaguman, bahkan tak jarang dari mereka memberi ekspresi antusias seolah sedang mendalami cerita dongeng yang sedang di sampaikan.
Ringkasan cerita Pak Wiryo hanya mengenai seorang pemuda sakti yang memiliki begitu banyak harta kekayaan berlimpah. Pemuda bernama Birawa. Yang terkenal sangat sopan santun kepada semua orang di sekitarnya.
Birawa meraih kesuksesan yang telak. Masyarakat mengaguminya seperti seorang pahlawan. Memiliki berbagai nama julukan yang membuat Birawa begitu hebat—bahkan walau dia hanya sekedar tokoh dongeng Pak Wiryo semata. Namun di sini bagian anehnya. Cerita langsung usai. Pak Wiryo tersenyum dan mengatakan hal lain pada anak-anak yang masih ingin mendengarkan lanjutan ceritanya. Pak Wiryo bilang, "untuk cerita kesaktian Birawa, sampai di sini saja. Kalau kalian mau mendengarkannya lagi, kalian harus menjadi Birawa dulu."
Keningku berkerut. Apa maksud Pak Wiryo anak-anak harus memiliki kekayaan harta berlimpah? Memiliki kekuatan yang sakti?
Pertanyaan itu langsung ditepis oleh ucapan Pak Wiryo yang langsung melanjutkannya dengan kalimat, "kalian harus terus bersikap sopan dan santun kepada orang-orang di sekitar kalian. Tidak boleh saling memusuhi, tapi harus saling?"
"MENGASIHI!!!" Anak-anak menjawabnya dengan serentak.
Ah, jadi begitu rupanya. Amanat cerita atau nilai positif yang harus di miliki anak-anak desa agar mereka bisa mendengarkan kembali kisah Birawa yang tertunda, adalah sopan santun terhadap sesama.
Aku memikirkan berbagai hal di dalam kepalaku. Ini seperti benang merah yang saling berkaitan. Nama desa, sikap sopan santun anak-anak, dan cerita Birawa. Mereka berkesinambungan serta terikat satu sama lain.
Setelah menyusun semua teka-teki kebingungan di dalam benak, aku pun segera menoleh dan berbicara pada Pak Kepala Desa. "Karena itu nama Desa Kanor Raga di ambil ya Pak? Anak-anak di desa sangat sopan santun sejalan dengan arti kata Anor Raga?"
Pak Kepala Desa tersenyum. Dia mengangguk dan mengiyakan. "Betul. Itu adalah sebuah tradisi dan budaya yang kami jalankan sampai saat ini. Di tambah dengan kehadiran kalian, yang nanti akan mengajari mereka tentang membaca, saya yakin akan ada perubahan yang lebih baik untuk ke depannya."
Aku menganggukkan kepala. Menerima dengan baik pujian Pak Kepala Desa yang menimbulkan perasaan bangga. Membuatku berpikir bahwa keputusan untuk menjadi seorang relawan desa adalah pilihan yang tepat. Dan aku turut merasa senang untuk hal itu.
Jadi, baiklah. Ini akan menjadi petualangan yang seru. Aku sudah mendengar tentang banyak hal di desa ini. Apalagi fakta mengenai besarnya pengaruh sebuah cerita dongeng terhadap kelanjutan tradisi dan budaya sopan santun yang masih terjaga.
0 Komentar