Bujang Tempuling Harum Syair Oleh Ade Puspita Ningsih
Bujang Tempuling Harum Syair
Oleh Ade Puspita Ningsih
Telah ditempa sekian ribu gelombang, hingga pada suatu pendar purnama, ia mendapati sesosok ganjil tengah mendulang jerebu dan mengantarnya pada purnama yang merendah di kaki bukit. Bujang membidik di balik terjal karang. Padahal ancamannya jelas : Sekali salah mengatur napas, kematianlah taruhannya.
Fajar tak begitu tampak teduh, ada sebentuk harum yang terhidu sedari malam. Juntaian kain panjang menyibak air bebatuan, juga angin malam itu yang membelai apik tiap helai rambutnya. Tapi tetap saja orang laut seperti Bujang tidak pernah mendapat tempat untuk sekadar bertegur dengan mereka. Dimana ada harum kasturi disitulah belasan pasang mata menjeramah liar keadaan sekitar.
Menyingsing sang surya mencipta bayang tegak sempurna. Tubuh kekar Bujang bertarung dengan peti-peti berisi bahan dagangan. Dermaga yang mencipta riuh seolah jadi pemandangan biasa bagi Bujang, karena disitu juga Ia melepas lapar dan dahaga. Hidup sebatang kara sudah mendarah daging dalam gempal tubuhnya. Bila Ia ingin hidup menghidupi dirinya, Ia harus bertahan hidup untuk menyambung hidupnya. Begitulah petuah alam yang Ia resapi dari tiap jengkal tanah yang Ia tapaki.
"Jangan tergesa-gesa tuan, kau bisa menjatuhkan barang-barangku nanti." Suara lembut dari tangga dermaga menelisik indra pendengaran Bujang. Oh yang benar saja, si darah biru menaiki kapal milik saudagar?
"Aku tidak akan menjatuhkannya Nona."
"Kau tahu, di dalam peti kayu itu adalah hidupku."
"Roh maksud Nona?" Bujang berpura-pura polos.
"Bisa dibilang begitu, karena ada nadiku pula didalamnya."
"Aku semakin bingung dengan ucapanmu Nona, apa boleh peti kayu ini tidak ku bawa turun saja?"
"Bawa turun!"
Apa sebenernya isi peti kecil yang lusuh itu, mengapa darah biru jelita itu seperti mendewakannya. Bujang yang kala itu tidak terlalu mempedulikan Nona pemilik harum kasturi itu. Ia bergelagat penuh curiga dengan isi peti itu. Namun, dari tangga dermaga Nona Kasturi itu membuyarkan rasa penasaran Bujang dengan pekikan.
"Tuan yang saya hormati, bisakah tuan membawa barang-barang saya itu dengan langkah yang lebih cepat lagi?"
Bujang tersentak, batinnya menggerutu.
Dari kejauhan, air laut tampak tenang dengan sesekali ombak kecil menyentuh bibir dermaga. Namun, ada kepulan asap legam membumbung ke angkasa. Lonceng menara dermaga dibunyikan berkali-berkali dengan sangat kencang. Sang Nona Kasturi cemas dan berteriak-teriak.
"Ayah, Ibu...., tidak mereka ada disana."
"Nona, apa yang ingin kau lakukan."
"Aku akan berenang kesana, Ayah dan Ibuku di kapal itu." Suara Nona Kasturi itu merintih dan tercekat.
"Jangan Nona, itu berbahaya!"
Tidak perlu menghitung sepersekian detik, tubuh wanita darah biru itu berdebam di atas pasir. Kapal yang membawa Ayah dan Ibunya terbakar di tengah laut, penduduk berbondong-bondong menyaksikan dan beberapa meraung-raung berharap Pemimpin mereka bisa selamat. Nona Kasturi memang sengaja ikut kapal saudagar kala itu, Ia ingin lebih berbaur lagi dengan penduduk. Namun, sayang beribu sayang pisahnya kapal menjadi pemisah pula Ia dengan orang tuanya.
"Dimana Ayah dan Ibuku?"
Ia telah pejam begitu lama, hingga tak sadar bahwa jenazah Ayah dan Ibunya telah berada tepat dihadapannya. Luka mencabik dada Nona Kasturi itu.
Penduduk turut terpukul atas kepergian sultan dan permaisurinya. ***
"Tidak akan ada yang bersyair lagi untukku."
"Putri bawa bersabar putri, saya yakin putri boleh kuat."
"Dayang, kau tahu saat ini aku benar-benar hilang asa."
"Jangan Putri, kasian juga dengan Ayah dan Ibu Putri."
"Jika ada yang bisa kembali bersyair untukku seperti Ibu, mungkin lukaku sedikit terobati."
"Apakah Putri ingat dengan lelaki yang membantu menurunkan peti kayu Putri yang pernah Putri ceritakan kepada saya?"
"Ya, aku ingat."
"Saya dengar Ia memiliki suara yang amat merdu."
"Tidak mungkin Dayang, dia hanya orang laut yang biasa mencari ikan. Mustahil sekali."
"Jika Putri tidak percaya, saya akan mengundangnya besok."
***
Bujang di undang ke Istana, Ia sebenarnya tidak terlalu lihai bersyair, Ia hanya teringat alunan nada-nada syair dari Ibunya dahulu. Setiap Ia pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan tempuling yang sedari kecil menemaninya dan setiap pulang dari laut tersebut Ibunya selalu langsung memasak ikan tangkapan Bujang seraya bersyair nan merdu.
"Apa benar kau bisa bersyair Bujang?"
"Tidak terlalu Nona, saya hanya merekam nada-nada syair dari Ibu saya dulu."
"Jangan panggil aku Nona, namaku Putri Kasturi, tidak mungkin kau tidak tahu namaku."
Sebenarnya Bujang tahu nama Nona dihadapannya itu, namun menurutnya Nona jelita itu ternyata sedikit congkak.
"Mulailah bersyair Bujang, aku ingin mendengarnya."
"Ampun Putri Kasturi, saya terlebih dahulu meminta maaf jika nanti ternyata tidak sesuai harapan Putri."
Bujang menarik napas panjang mengambil jeda kemudian memulai bait pertama syair selendang delima.
Salam bermula indah terangkai
Hamba susun serak terungkai
Irama syair indah terbingkai
Selendang delima sungguh aduhai.
Putri Kasturi terkesima mendengar suara Bujang, dan tanpa sadar Putri pun menitikkan air mata. Tidak ada yang lebih membuatnya jatuh hati selain syair dari Ibunya, ternyata pagi ini sang Putri bisa mendengar kembali syair nan merdu itu.
"Begitu indah suaramu Bujang, aku meminta mulai hari ini kau menjadi pengawal ku dan dapat bersyair untukku kala aku bersedih dan rindu ibukku."
Bujang tak dapat menolak, karena dengan syair ini Ia bisa turut mengenang ibunya pula. Kedua anak manusia ini sama-sama kehilangan orang tua. Namun, budaya yang mereka cintai kini menjadi titian untuk mengenang kembali orang tua mereka.
Putri menyerahkan beberapa buku syair dan hikayat dari sebuah peti kayu. Ternyata yang dimaksud roh dan nadi oleh Putri Kasturi di dalam peti kayu itu adalah buku-buku syair dan hikayat lama yang Ia simpan begitu rapi. Bujang amat terhormat mendapat amanah itu.
Komentar
Posting Komentar