Cerpen Tentang Maya Oleh Khairul Rizky



 Cerpen Tentang Maya 

Oleh Khairul Rizky

"Maaf, sepertinya cerpen ini tidak bisa terbit, Maya!" ucap redaktur, dalam ruang  sekretariat organisasi media massa di bawah naungan sebuah universitas negeri. 

"Yah, kenapa, Kak?" tanya Maya dari balik meja. Wajahnya kecewa. 

"Begini ya, Maya," jelas Si Redaktur. "Tema Mahakarya ini media yang besar. Basisnya bukan cuma di kampus kita, tapi sudah mencakup luar kampus, bahkan provinsi dan  nasional. Semua orang tahu kita, dan apapun yang terbit di sini pasti viral; dibahas di sosial  media. Tidak bisa menerbitkan cerpen sembarangan dong!" 

"Tapi 'kan saya sudah sering menerbitkan puisi di sini, Kak? Kenapa cerpen ini tidak  lolos, ya? Bagus loh ceritanya ini," ujar Maya bersikeras. 

"Maya, saya tidak bilang cerpen kamu jelek loh. Tapi ingat, media massa itu  bergantung pada audiensi, tentang apa yang orang sukai. Puisi-puisi galau kamu yang biasa  itu bagus kok. Selalu rame dan menarik followers. Nah, kamu yakin cerpen kamu ini bakal  rame nanti? Kalau tidak gimana? Mau letak di mana reputasi Tema Mahakarya?" 

"Tenang, Kak!" jawab Maya. "Cerpen saya ini beda dari yang lain, mengangkat tema  budaya Melayu dan sastra di dalamnya. Tentang bagaimana budaya kita mulai tergerus zaman. Pesan yang disampaikan juga jelas." 

"Iya, Maya, saya sudah baca," jawab Si Redaktur. "Nama tokohnya siapa tadi? Alina?  Ini cerita pengalaman kamu bukan, ya? Kurang personal nih, kurang dapet feel-nya.  Ceritanya mengambil plot anak sekolah yang mencoba membuat pertunjukkan Zapin Api,  tapi ditolak banyak kalangan dan membawanya ke banyak petualangan di Bengkalis. Sarat akan unsur budaya. Maya, siapa yang mau baca, hey?" 

"Kok gitu sih, Kak?" Maya tertunduk lesu. 

“Kurang bumbu ni, monoton plotnya. Coba kembangin lagi, mungkin bisa saya  pertimbangkan,” ujar Si Redaktur. 

“Kak, ini sudah pas kok, saya yakin.”

"Saya tidak bisa terima cerpen ini, Maya. Bikin cerpen tu yang asik gitu loh, cerita cinta  atau patah hati. Nah, itu orang-orang suka. Pasti relate mereka. Kalau gak yang kasmaran  lucu-lucu, ya yang mellow gitu. Masa kamu tidak mengerti sih selera pasar?” 

“Halah, kemarin cerpen temen aku, si Erza juga kakak tolak. Padahal cerita patah hati  tuh. Aku tau kok, Kak!” ujar Maya. 

“Erza? Oh, yang ‘Patah Tumbuh’ itu?” ujar Si Redaktur. “Itu mah kepanjangan. Sama  kayak kamu, penuh banget sama unsur budaya dan lokal. Iya sih cerita patah hati, tapi kurang  aja di ending-nya. Terlalu maksa menyisipkan unsur budaya ke cerita galau anak muda. Mana  panjang banget lagi.” 

“Masa saya harus tulis ulang sih, Kak. Ini udah bagus loh idenya.” Maya tampak  frustrasi. 

“Ayo dong, May. Kamu pasti bisa kok, saya percaya sama kamu. Bisa ya? Atau minta  tolong sama pacar kamu itu coba, si Aris. Dia jago tuh cerpen-cerpen begini!" 

"Udah putus!" jawab Maya singkat. Wajahnya berubah seketika. 

"Loh? Iya? Kok bisa?" tanya Si Redaktur penasaran. 

"Urusan personal, kakak gak perlu tau!" tegas Maya. 

"Nah!" Si Redaktur menjentikkan jari. "Itu, urusan personal. Kamu bikin cerpen dari  cerita cinta kalian saja, tentang bagaimana akhirnya kalian putus. Buat sepersonal mungkin.  Pasti rame, saya jamin langsung saya terbitkan kalo itu. Pasti orang-orang akan suka.  Dramatis, tragis, dan menyayat hati." 

"Kak—" 

"Ayolah, Maya!" potong Si Redaktur. "Kamu mau jadi penulis cerpen yang dikenal,  'kan? Kamu gak mau terus-terusan jadi penulis puisi galau, 'kan? Ini saatnya, itu ide cerpen  yang bagus. Saya jamin, banyak yang bahas dan bukan tidak mungkin memperbesar nama  Tema Mahakarya di kancah nasional." 

"Tapi saya maunya cerpen tentang budaya ini, Kak." Maya masih bersikeras. "Ini  benar-benar penting untuk generasi muda. Tema tentang pelestarian budaya ini, terutama  budaya kita orang Melayu."

"Iya, tapi generasi muda mana peduli. Mereka cuma suka cinta-cintaan. Saya mengerti  visi kamu, tapi kita realistis sajalah. Cerpen budaya itu tidak akan rame. Lebih baik tulis  cerpen patah hati kamu itu. Mau ya?" 

Maya diam. Ia menarik naskah cerpen di atas meja yang tadi dibaca oleh Si Redaktur.  Ia kemudian berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ruangan. 

"Kalau begitu saya pamit," ucapnya. 

"Jangan lupa cerpen patah hatinya, ya!" ujar Si Redaktur. 

*** 

Maya Adinda, adalah mahasiswa semester tiga Jurusan Sastra, sebuah universitas  negeri. Ia akrab dengan dunia literasi dan sering menulis karya sastra. Malang untuknya,  karya tulisnya jarang berhasil terbit. Tulisannya sering ditolak di media tempat ia mengirim.  Hal ini membuatnya terus berkecil hati, sebab itu satu-satunya cara gadis ini bangga pada diri  sendiri. Secara akademis, ia tak terlalu beruntung. Dari masa sekolah, ia tidak pernah juara  kelas. Malah dikenal guru dengan citra yang kurang baik. Dalam dirinya tersimpan luka dan  duka mendalam yang kerap membuatnya kehilangan arah dan semangat hidup. Di masa  kuliah, ia mencoba mengubah arah diri menjadi lebih baik. Tetapi, ia harus menghadapi  kegagalan demi kegagalan. Kekecewaan demi kekecewaan. 

"Maya harus apa, yah?" tanya gadis muda itu, pada nisan ayahnya suatu sore. 

"Maya gagal lagi, ayah!" ucapnya lagi. "Maya selalu gagal dalam segala hal. Maya  gagal jadi anak yang membanggakan ayah. Dari kecil, Maya cuma jadi beban. Tidak bisa  membanggakan siapa-siapa. Tidak bisa dapat nilai bagus, selalu bermasalah di sekolah,  keluar masuk BK. Tidak ada orang yang mau bertahan sama Maya. Sejak ayah pergi, yah,  Maya jadi anak kecil yang hilang arah. Maya tidak bisa menjadi harapan. Maya malah  mengecewakan Bunda dengan semua harapan. Bukannya jadi anak baik, Maya malah  melakukan banyak hal buruk dan memalukan. Sekarang, Maya sudah sadar. Tidak mau jadi  anak nakal lagi, mau berubah jadi baik. Tapi gagal, yah. Maya cuma mau menerbitkan cerpen  yang mengangkat tema budaya dan melestarikan sastra pun gagal. Maafkan Maya, Ayah!" 

Ia menumpahkan tangis sambil memeluk nisan itu. 

"Kata siapa, Nak?" tanya sebuah suara yang amat dikenali Maya. Demi mendengar itu,  ia mengangkat kepala dan matanya seperti mau meloncat keluar dari rongganya. Sosok sang 

ayah tiba-tiba muncul di hadapannya, dengan senyum paling teduh yang pernah ia lihat.  Sontak Maya tak dapat membendung air matanya yang semakin deras. Kerinduan seperti  menghantam dadanya. Ia tak mengerti apa yang terjadi, tapi tak mampu lagi memikirkannya. 

"Kata siapa kamu gagal?" tanya Sang Ayah lagi. "Kamu itu sedang melewati proses  belajar. Belajar itu adalah perjalanan dari bodoh menuju pintar. Semua hal buruk yang terjadi  di masa lalu kamu, itu karena kamu belum sadar, bukan karena kamu anak yang gagal. Toh  kamu mau berubah, 'kan?" 

"Tapi Maya belum pintar, yah!" Maya berucap sambil tersedu. 

"Memang," jawab Sang Ayah dengan penuh lemah lembut. "Kamu belum pintar,  makanya jangan pernah berhenti belajar. Tapi dari bodoh, perjalananmu sudah sampai ke titik  sadar. Semua hal buruk yang kamu lakukan, kamu alami, kamu rasakan, itu proses yang  ditetapkan Tuhan, Nak. Kamu akan mengerti nanti kamu sedang disiapkan Tuhan jadi apa.  Sabar, ya. Kamu itu kuat. Jangan sok tau tentang perasaan bunda, apalagi ayah. Kami bangga  sama kamu kok. Ayah bangga sama Maya, apapun yang terjadi." 

Maya kehabisan kata-kata dan kehabisan suara dalam isak tangis yang makin sesak di  dadanya. Ia menangis lama sekali, tersedu sedan sehabis-habis napas. Tanpa ia sadari, ada  sosok laki-laki di sampingnya. Menautkan lengan memberi rangkulan yang menenangkan.  Laki-laki itu sudah di sana sejak awal, tapi Maya tak sadar sama sekali. 

"Aris?" ucap Maya dalam kejut, ketika ia akhirnya mengetahui. Setelah reda isak tangisnya yang tak terkira berapa lama. Bayangan sang ayah telah hilang tanpa sempat  didekapnya. 

"Yang kuat, ya, May. Aku masih di sini kok!" ujar Aris. 

"Kenapa? Kenapa kamu kembali lagi?” tanya Maya. “Aku sudah bilang … kita putus.  Kamu sudah tahu semua tentang masa lalu aku, 'kan? Aku tidak sempurna untuk kamu.  Kamu berhak untuk punya pacar yang baik, tidak problematik seperti aku. Aku tak mau,  bersamaku membuat ketenangan hidupmu jadi rusak. Kamu itu laki-laki baik. Sedikit pun  kamu tidak pernah menyakiti atau membuat aku kecewa. Tapi, aku cuma akan memberatkan  hidupmu, Ris." 

"Kamu bukan anak yang gagal, May. Seburuk apapun masa lalu kamu, tidak  menentukan masa depan kamu. Aku harus bilang berapa kali?"

"Aku belum siap untuk memulai hubungan lagi," ujar Maya. Ia tampak akan kembali menangis. 

"Aku tidak minta itu kok," jawab Aris tenang. "Aku tahu perjuangan yang kamu lewati  menghadapi diri sendiri. Aku mau temani kamu. Sebagai apapun. Sebagai asisten penulis  cerpen kamu juga tidak masalah." 

"Ris—" 

"May," potong Aris. "Aku sayang sama kamu." 

Maya diam. 

"Aku juga akan selalu bangga sama apapun usaha yang kamu lakukan. Oh ya, aku ada  ide cerpen yang bagus untuk diterbitkan di Tema Mahakarya. Aku percaya, pasti diterima." 

"Tapi, Ris—" 

"May, kita bukan balikan kok. Jadi partner kerja deh, mau ya. Kamu mau cerpenmu terbit, 'kan?" 

Maya mengangguk, akhirnya. “Terima kasih, Ris.” 

Aris mengelus bahu Maya, menguatkannya. 

*** 

"Nah, ini … ini bagus nih!" ujar Si Redaktur. "Cerpen tentang kisah kalian berdua,  ‘kan? Tokohnya Aris dan Maya. Wahh. Tentang cinta, karir, dan keluarga. Personal dengan  konflik batin yang dalam. Pasti orang-orang suka, pasti rame ini." 

Maya tersenyum, bersama Aris di sebelahnya. Meja redaksi, suatu sore di ruang  sekretariat Tema Mahakarya. 

"Eh, bentar-bentar, ini ada tokoh ‘Si Redaktur’. Ini saya, ya?" tanya Si Redaktur  keheranan membaca naskah di mejanya. 

Maya dan Aris tersenyum saling pandang. Naskah di meja itu berjudul, Cerpen Tentang  Maya.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba