Oleh Sefti Apriliah
Malam ini sangat berisik. Sayup Rintik air mulai terdengar memilukan, hembusan angin membuat pepohonan tak berhenti bergoyang. Seluet kilatan langit yang bersahutan, juga menambahkan kesan menyeramkan. Angkasa seakan menunjukkan amarahnya yang terpendam. Malam ini aku sedang membaca novel kesayangan ku, fokusku teralihkan pada langit yang gelap itu, "Apakah langit itu sedang marah"? ujarku. Ku ambil secarik lembar putih kosong, ku kotori si putih itu dengan goresan tinta dari tangan yang gemetar. Suasana yang berisik seakan membuat siapapun tak boleh tenang. Amarah yang terpendam seakan dikeluarkan tanpa ampunan. ‘Aku memiliki lisan namun tak siapapun bersedia mendengar, lelah yang tak tersampaikan hanya bisa ku ukir dalam deretan aksara, nirvana yang katanya hak setiap insan ternyata hanya sebatas fatamorgana, Belenggu cakrawala seakan tak membiarkan ku untuk terbang bebas’.
Amarah sang angkasa sudah pergi, tergantikan dengan sinar Bagaskara yang hangat dan tenang. Langkah ringkih yang kupaksa untuk terus menapak jalan panjang nan berdebu. Suasana mulai riuh, semua fokus pada dunianya masing-masing. Sebuah pemandangan menarik perhatian ku, terlihat sosok lelaki ringkih dengan wajah yang penuh dengan pahatan dan goresan, ukiran yang menandakan bahwa ia sudah menjalani waktu yang lama pada hamparan fana ini. Ku hampiri tubuh yang tak lagi tegak itu, butiran butiran kecil di dahi dah wajahnya seakaan mengisyaratkan betapa lelah dirinya. Beban di bahu nya seakan ingin menjatuhkan tubuh yang mulai terbungkuk itu. Kutuntun tubuhnya untuk sekedar melepas letih di bawah pohon beringin dengan dahan kekar yang terlihat kokoh.
"Berapa harga tahu gejrot ini pak?” tanyaku.
"Delapan ribu nak.”
Suasana hening menyelimuti kami beberapa saat, karena ia mulai sibuk dengan dagangan nya, dengan sedikit resah ku beranikan diri untuk bertanya padanya.
"dimana anak istri bapak?" ujarku tak tertahan.
Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan ku. Aku tertegun merasa tidak enak hati karena takut pertanyaanku menyinggungnya.
“ Mereka sudah pergi dari tempat fana ini menuju kehidupan yang abadi, nak.”
" Rindu itu ketika kita kehilangan sesuatu, namun tak tahu bagaimana cara menemuinya." Lanjutnya. Percakapan itu mengakhiri pertemuan kita saat itu juga.
Hari ini aku mengunjungi pekan seni dipusat kota. Aku bertemu dengan seorang gadis remaja yang ku perkiraan masih sepantaran diriku, sedang bergelut dengan kanvasnya.
"Hai siapa namamu? tanyaku untuk sekadar berkenalan dengannya. Melihat kehadiran ku, netranya hanya menatap sekilas kearahku. Dengan tatapan penuh asa iya melanjutkan aktivitas nya tanpa memperdulikan kehadiranku.
"Sombong sekali‶ ujarku nyaris tak terdengar.
Kupandangi setiap titik cat yang ia goreskan.
"lukisan macam apa ini!" monolog ku dalam hati.
Hanya coretan garis- garis tak beraturan yang lebih mirip dengan coretan tak jelas, ditambah lagi pemilihan warna yang cenderung gelap menambah kesan menyeramkan pada lukisan itu. Saat aku mulai beranjak untuk meninggalkan gadis itu, seorang wanita yang ku perkiraan berusia 40 tahunan menghampiriku, seakan tau dengan isi pikiranku ia tersenyum kepadaku dan membawaku sedikit menjauh dari tempat itu.
"Hal yang paling menyedihkan itu adalah ketika kamu menjadi figuran dalam kisah hidupmu sendiri."
Aku tercengang mendengar penuturan wanita tersebut. Aku yang hendak membuka mulutku, untuk bertanya lebih lanjut tentang maksud pertanyaannya memilih untuk diam ketika wanita tersebut melanjutkan perkataannya.
"Jangan hakimi seorang hanya karena pengelihatan dan perspektifmu yang belum tentu benar, semua hal bisa terjadi nak, gadis yang kau hampiri tadi adalah seorang tunawicara."
Ku ucapkan terima kasih pada wanita yang telah membuatku sadar akan kesalahanku. Ku hampiri gadis kanvas yang masih belum beranjak dari tempatnya.
"Hei, apakah kau tau siapa itu manusia pecundang?" ujarku padanya. Dirinya sedikit tersentak dengan kehadiran dan pertanyaanku yang tiba tiba itu.
"Si pecundang adalah ia yang tau bahwa dirinya salah namun enggan untuk mengakui kesalahannya. Maka Izinkan aku untuk menunjukkan bahwa aku bukan manusia pecundang. Maaf." ujarku pada akhirnya.
Ia kembali menatapku, lalu kemudian mengangguk dengan tersenyum tulus padaku.
Hal terindah yang tak dapat dimengerti oleh semua orang adalah perasaan. Karena tak semua orang bisa berbicara, tak semua orang bisa menunjukkan emosi nya, tak semua orang punya kesempatan untuk menunjukkan lelah nya. Tetapi semua orang punya perasaan. Setiap insan memiliki kisahnya sendiri, hanya karena tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Hamparan fana penuh tipu daya ini pada dasarnya adalah proses kita untuk menuju sebuah keabadian sesungguhnya. Proses itulah yang menurut saya adalah seni dan keindahan. Karena setiap proses dari perjalanan yang kita lalui adalah sebuah karya seni nyata yang ditulis langsung oleh sang maha kuasa, dengan kita sebagai pemeran utama.
0 Komentar